Terpukau Kemajuan Belanda, Merindu Kebaikan Indonesia

Oleh Viona Wijaya

Dulu, jika ditanya negara mana yang paling ingin saya kunjungi, saya akan menjawab negara-negara di Eropa. Mereka dikenal sebagai negara maju dengan peradaban jempolan—sangat bertolak belakang dengan negara kita yang terkenal semerawut dan bobrok.

Impian tersebut terkabul kala saya diterima mengikuti sebuah program pertukaran pemuda ke Belanda. Saya tinggal sekitar lima minggu di sana dan satu minggu terakhir saya habiskan untuk berkeliling ke negara-negara lain bersama seorang kawan dari Indonesia.

Saya ingat hari ketika pesawat kami mendarat di bandara Schiphol, Belanda. Saya langsung terpukau: segala sesuatu berjalan dengan tertib. Saya dijemput oleh pihak penyelenggara dan kami melintasi kota-kota yang tertata rapi dan bersih bukan main.

Selama lima minggu saya berkeliling dari kota ke kota. Kesan saya tak berubah: bersih, rapi, dan tertib. Di minggu pertama, di tengah kenyamanan yang membuai, diam-diam terbersit di benak saya pikiran ini: “Sepertinya asyik ya kalau bisa tinggal di sini terus.”

Tapi minggu-minggu berikutnya membuat pikiran tersebut pudar. Di minggu kedua, saya mulai rindu tanah air. Lidah saya mulai protes karena dijejali roti setiap hari. Tubuh saya mulai protes terhadap cuaca hujan dan berangin yang mendominasi hari-hari di Belanda. Saya juga kangen berceloteh dalam bahasa Indonesia.

Di minggu ketiga dan seterusnya, setiap kali saya melihat, mendengar, dan mengamati hal-hal baik1 yang dikecap masyarakat di sana, saya tak dapat tidak teringat akan Indonesia.

Ketika saya tak pernah melintasi jalan yang berlubang di Belanda, saya teringat kepada jalanan Bandung, kota asal saya, yang penuh lubang. Saya juga teringat kepada berita-berita yang saya baca di surat kabar Indonesia mengenai minimnya ketersediaan akses jalan, terutama di daerah-daerah luar Pulau Jawa.

Ketika keluarga Belanda yang mengurus saya berkata enteng, “Kami tidak pernah kuatir akan banjir. Kami punya banyak ahli yang memikirkan hal itu,” saya teringat kepada sebagian masyarakat Indonesia yang sering kali tidak bisa tidur nyenyak karena takut bencana ini dan itu: longsor, gempa, banjir.

Ketika orang-orang Belanda yang saya temui mengatakan bahwa mereka menikmati pelayanan publik yang baik dari pemerintah sebagai timbal balik tingginya pajak yang mereka bayar, saya teringat kepada berita korupsi di sana sini yang setiap hari menghiasi layar kaca di tanah air.

Di minggu-minggu terakhir, rasa nyaman saya sudah digantikan sepenuhnya oleh rasa rindu tanah air. Saya rindu keluarga, makanan, iklim tropis, dan bahasa ibu. Tapi di atas semua itu, anehnya, saya justru rindu tanah air karena segala kesemerawutan dan segudang masalah yang sedang bergolak di Indonesia.

Setiap kali saya mengingat kondisi Indonesia, hati saya sesak. Salah seorang kawan menasihati saya, “Jangan terlalu serius [memikirkan bangsa]. Kamu masih muda. Bersenang-senanglah!” Tetapi saya ingin pulang, ingin berbuat sesuatu supaya rakyat Indonesia pun (suatu hari nanti) bisa menikmati hal-hal baik seperti yang dinikmati masyarakat Eropa—bahkan lebih baik lagi. Saya tak bisa mengingkari keterpanggilan tersebut—meski saya tahu apalah arti satu manusia (seperti saya ini) di tengah 237 juta lebih manusia Indonesia.2

Dan saya pikir keterpanggilan untuk membenahi negeri bukan hanya mengusik diri saya. Itu pasti bergaung dalam hati sanubari setiap manusia Indonesia, entah dengan keras ataupun lirih. Ketika terpanggil, setiap orang memiliki tempat juangnya masing-masing.

Banyak orang mungkin seperti saya, memilih berjuang sambil menjejak bumi Indonesia (dan makan makanan khas Indonesia, menikmati cuaca tropis, dsb.). Orang lain mungkin mampu menahan rasa rindu terhadap tanah air dan tetap mengharumkan nama Indonesia meski berada di luar negeri.

Di manapun kita berada, yang terpenting adalah kita selalu menjauhkan sikap abai-negeri karena terbuai kenyamanan—apalagi karena perasaan tak menjadi bagian dari bangsa Indonesia! Ya, di manapun kita berada, biarlah tanah air tetap dekat di hati. Biarlah mengusahakan kebaikannya tetap lekat di kiprah dan juang kita.

.

Viona Wijaya adalah seorang guru yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Saya tak menafikan bahwa dalam hal gaya hidup, masyarakat Eropa/Belanda banyak melanggar batas. Distrik Lampu Merah (Red Light District dalam bahasa Inggris atau De Wallen dalam bahasa Belanda), misalnya, merupakan kawasan pelacuran tersohor di Belanda yang menjajakan perempuan di etalase bak barang. Pelacur dipandang masyarakat sebagai profesi biasa. Anak-anak muda umur 16-18 tahun pun memandang seks pranikah sebagai hal yang lumrah. Selain itu, minim sekali jumlah orang Belanda yang masih mengaku ber-Tuhan, apalagi yang beribadah secara teratur. Ini semua tentu tidak termasuk hal-hal baik yang saya idamkan bisa terwujud  di Indonesia.

2 Jumlah penduduk Indonesia per tahun 2010 dalam situs Badan Pusat Statistik. <http://www/bps.go.id >.

2 thoughts on “Terpukau Kemajuan Belanda, Merindu Kebaikan Indonesia

  1. Renata Amelia

    Aku yakin sih sebenarnya banyak orang yang memikirkan kemajuan Indonesia. Indonesia tak pernah kekurangan orang pintar, pasalnya mereka (mungkin) malas kembali ke Indonesia karena di sini mereka tak dapat berkarya. Entah itu terpentok dengan sarana maupun dana.

    Semoga tak lagi orang-orang tak berhatinurani itu berkorupsi agar dana bisa disalurkan ke bidang yang tepat demi pembangunan negara. 🙂

    Reply
  2. vnyx

    [Saya punya teman yang setelah lulus tak akan pernah kembali ke Indonesia. Ini sangat menyedihkan saya. Dia pikir Indonesia tak punya sesuatu yang baik dan berharga untuk dibanggakan. Bangsa ini jadi busuk karena banyak orang cerdas pergi mencari masa depan yang lebih baik. Bisa jadi keegoisan adalah musuh terbesar bangsa kita.]

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *