Bebas Beragama—Bukan Bebas dari Agama

Oleh Lasma Panjaitan

Semasa SMA, saya dan kawan-kawan sekelas punya kebiasaan saling mengunjungi di hari besar keagamaan.1 Di hari Lebaran, saya akan berkunjung ke rumah teman-teman yang beragama Islam. Sebaliknya, di hari Natal teman-teman Muslimlah yang berkunjung ke rumah saya.

Di masa-masa itu kami belajar untuk menghargai orang lain meskipun berbeda agama. Kami dapat hidup berdampingan secara damai dengan teman yang berbeda keyakinan. Kami pun bebas mengekspresikan bentuk kepercayaan masing-masing.

Cerita saya itu hanyalah sekeping bentuk kebebasan beragama yang kita nikmati di Indonesia. Saya kira model kebebasan beragama ala Indonesia baik dan layak dicontoh bangsa-bangsa lain. Model ini lain dengan model kebebasan beragama yang diwacanakan secara global hari-hari ini.

Salah satu pihak yang gencar mewacanakan perihal kebebasan beragama adalah negara-negara maju seperti negara-negara Eropa. Namun, jika kita simak baik-baik, kebijakan negara-negara tersebut malah mengarahkan masyarakat untuk hidup bebas dari agama.

Beberapa negara Eropa menerapkan aturan yang melarang pemakaian simbol agama. Sebagai contoh, Perancis melarang penggunaan burka2 di tempat umum.3 Seorang anggota tim juri pengadilan Kota Bobigny, Perancis, dipecat dari pekerjaannya karena berjilbab. Dominique Perben, menteri kehakiman Perancis, melarang perempuan berjilbab berada di gedung pengadilan. Alasannya karena ia tidak dapat menerima simbol keagamaan di ruang pengadilan. Pelarangan yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Belanda dan Belgia.4

Larangan memakai simbol agama tidak hanya diberlakukan bagi kaum Muslim. Di Inggris, misalnya, umat Kristen dilarang menggunakan simbol salib di tempat kerja. Nadia Eweida, seorang pemeluk Kristen Pantekosta dari Twickenham, di barat daya London, dirumahkan oleh perusahaannya, British Airways, pada tahun 2006 setelah menolak mencopot kalung salibnya. Shirley Chapli, seorang perawat di Devon, dipindahkan ke bagian tata usaha oleh RS Kerajaan Devon and Exeter NHS karena alasan serupa.5

Sebagian orang mungkin akan berkata, “Ya sudah, tidak apa. Itu hanya sekadar simbol.” Namun, ada baiknya kita mencermati kebijakan-kebijakan “aneh” di negara-negara Barat tersebut. Melarang menggunakan simbol agama ialah cara halus untuk menyingkirkan agama dari tengah masyarakat. Jika sudah tak punya agama sebagai rem moral, akan jadi apa masyarakat?

Selain itu, secara akal sehat, tindakan negara-negara Barat tadi berlawanan dengan ide yang mereka suarakan sendiri. Mereka menggembar-gemborkan ide kebebasan beragama, namun mereka membuat kebijakan-kebijakan yang mengekang hidup beragama sehingga masyarakat malah jadi bebas dari agama.

Andre Feillard, peneliti Perancis yang menulis buku NU vis a vis Negara, menyatakan bahwa larangan memakai simbol agama bernilai positif untuk menghindari perbedaan sikap dan perilaku di antara para murid. Menurut Feillard, aturan itu akan membuat murid tidak memandang jahat temannya yang berlainan agama.6 Saya pikir pendapat itu menggelikan.

Cara pandang kita terhadap orang (beragama) lain, benci atau hormat, ditentukan oleh nilai-nilai yang ditanamkan kepada kita. Saya pernah menjadi siswa sekolah negeri, dan tidak pernah sekalipun memandang jahat teman yang menggunakan jilbab. Tidak pula muncul perasaan benci karena cara berdoa mereka berbeda dengan cara saya. Mengapa? Karena lingkungan keluarga dan sekolah mendidik saya untuk menghormati orang lain sekalipun agamanya berbeda.

Ya, kebebasan beragama seharusnya tidak berarti bebas dari agama, termasuk dari simbol-simbol agama. Kita di Indonesia sudah dan masih memahami hal ini dengan baik.

Sebagai contoh, tidak ada larangan di Indonesia untuk menggunakan jilbab atau kalung salib di area publik. Simbol aktivitas keagamaan juga bebas dipergunakan dalam batas-batas kepatutan. Di Bandung kita dapat menemukan kotak-kotak amal diletakkan di depan pintu masuk ruang-ruang publik. Di Denpasar kita bisa mendapati tempat-tempat sesajen di berbagai sudut kota. Di Marauke kita akan melihat patung Yesus setinggi 12 meter berdiri di kompleks bandara Mopah. Dan masih banyak lagi wujud kebebasan beragama yang bisa kita temukan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Saya kira model kebebasan beragama ala Indonesia ini sangat perlu kita pertahankan. Melaluinya kita dapat menunjukkan kepada dunia bahwa kebebasan beragama sama sekali bukan berarti bebas dari agama.

.

Lasma adalah seorang pegiat Lembaga Bantuan Hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Sebelum pindah ke Kota Bandung untuk kuliah, saya bersekolah di salah satu SMA negeri di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Sekolah saya mewajibkan siswa perempuan untuk mengenakan jilbab. Namun kewajiban tersebut hanya berlaku bagi siswa perempuan yang beragama Islam.

2 Burka adalah sejenis pakaian perempuan Muslim yang membungkus seluruh tubuhnya. Lihat “Burqa” dalam situs Wikipedia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Burqa >.

3 “Pakai Burka dan Cadar di Perancis Kena Denda” dalam situs tribunnews.com. <http://m.tribunnews.com/2011/04/11/pakai-burka-dan-cadar-di-perancis-kena-denda >.

4 “Wanita di Italia Didenda Kenakan Burka” dalam situs bbc.co.uk. <http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2010/05/100504_italyveil.shtml >.

5 “Vonis Kasus Diskriminasi Warga Kristen” dalam situs bbc.co.uk. <http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2013/01/130115_warga_kristen_inggris_diskriminasi.shtml >.

6 “Prancis Minta Umat Islam Indonesia Pahami Larangan Berjilbab” dalam situs tempo.co. <http://www.tempo.co/read/news/2004/02/05/05539306/Prancis-Minta-Umat-Islam-Indonesia-Pahami-Larangan-Berjilbab >.

2 thoughts on “Bebas Beragama—Bukan Bebas dari Agama

  1. vnyx

    Sungguh, itulah yang menyebabkan saya betah, rindu, dan bangga menjadi seorang Indonesia. [Tulisan yang bagus], dan jangan kita biarkan ada provokator-provokator yang memecah belah bangsa ini.

    Reply
    1. Lasma Panjaitan

      Salam kenal vnyx! 🙂 Terimakasih sudah membaca tulisanku dan juga memberikan komentar. Iya benar, aku setuju, jangan sampai kita dengan gampang terpengaruh pemikiran-pemikiran (yang belum tentu sesuai dengan ke-Indonesia-an). Tentu saja untuk mewujudkannya kita bisa mulai dengan mengenal bangsa kita sendiri. 🙂

      Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *