Perkuliahan Pencipta Pejuang

Oleh Victor Samuel

Melihat perjuangan para tokoh bangsa pendahulu kita, tentu kita berharap ada lebih banyak lagi pemuda-pemudi sekarang yang seperti mereka: cerdas berpikir dan berani bertindak demi kemajuan bangsa. Untuk itu, kita jangan lupa bahwa merekalah para mahasiswa Indonesia di masa awal; mereka pernah duduk di bangku-bangku kuliah. Jadi, kalau ingin “mengklon” mereka, kita perlu melihat cara perkuliahan zaman itu membentuk mereka.

Dalam banyak segi, sebenarnya perkuliahan zaman sekarang lebih baik karena telah mengalami berbagai perbaikan. Sekarang buku teks kuliah bisa diperoleh di mana-mana. Dengan internet, mahasiswa kini bebas mengarungi lautan informasi terkait bahan ajar. Penilaian ujian oleh dosen harus tepat waktu dan hasilnya dikembalikan supaya dapat diperiksa ulang oleh mahasiswa. Mahasiswa secara berkala diminta menilai dan memberi masukan terhadap kinerja dosen.

Dengan perkuliahan yang membaik ini, kita seharusnya bisa menggembleng lebih banyak mahasiswa dengan karakter pejuang seperti para mahasiswa awal. Namun, nyatanya, banyak sekali mahasiswa kini yang justru menjauh dari karakter tersebut.

Jelas kuliah bukanlah satu-satunya penyebab para mahasiswa awal menjadi pejuang. Hal-hal di luar lingkar akademis juga sangat berpengaruh, seperti ketergugahan ketika melihat bengisnya penjajahan dan menderitanya rakyat, kegiatan dalam organisasi kepemudaan, dan riuhnya pergolakan politik dunia. Kartini dan Natsir, misalnya, tidak pernah mengenyam pendidikan di universitas, namun pengaruh mereka tidak kalah hebat.1

Namun, perkuliahan zaman itu tetaplah merupakan babak bersejarah bagi kehidupan para mahasiswa awal—dan bagi Indonesia. Jika mereka tak berkuliah, tiada yang mampu mendirikan negara ini.2 Untuk mencetak penerus perjuangan mereka, ciri-ciri yang baik dari perkuliahan zaman itu harus kita teladani dan terapkan dalam perkuliahan masa kini.

Pertama-tama, penghargaan yang tinggi terhadap kuliah. Karena kebanyakan orang Eropa, dosen-dosen yang mengajar para mahasiswa awal menghargai jam kuliah. Mereka tidak datang terlambat apalagi mangkir tanpa pemberitahuan—kebiasaan banyak dosen masa kini. Ini memudahkan para mahasiswa awal Indonesia untuk bergerak dalam organisasi kepemudaan maupun politik—kegiatan yang juga penting dalam pembentukan karakter mereka.

Selain dosen, mahasiswa pun menghargai kuliah. Mereka melihat kuliah sebagai kesempatan emas untuk mengisi diri dengan ilmu sebanyak-banyaknya. Sebagai contoh, sewaktu menjadi mahasiswa, Mohammad Hatta banyak melansir tulisan mengenai perekonomian—ilmu yang dipelajarinya dalam kuliah—dikaitkan dengan situasi tanah air.3 Tentu tulisan-tulisannya yang bermutu tidak akan ada jika beliau tidak menghargai kuliah.

Kedua, pola pengajaran yang bermutu. Alih-alih memaksa mahasiswa menelan bulat-bulat setiap informasi dan rumus, dosen seharusnya menjadi lampu sorot, memberi penerangan jauh akan materi ajar, sehingga setiap mahasiswa terdorong dan diperlengkapi untuk berjalan maju dalam remang-remang kerumitan mata pelajaran.

Dalam otobiografinya, Hatta banyak menulis mengenai cara guru ataupun dosennya mengajar di kelas. Betapa terkesannya beliau akan pengajaran yang bermutu! Salah satu pengajar yang beliau soroti adalah guru sejarahnya. Ia membolehkan siswa-siswanya salah menyebut urutan tahun asalkan memahami hubungan kejadian dan semangat masa. Oleh pola pengajaran yang mendorong pemikiran kritis, bukan sekadar menghafal, Hatta mengaku hatinya terbakar untuk belajar sejarah.4

Ketiga, adanya ujian terhadap daya nalar mahasiswa. Melihat soal-soal ujian yang mirip ujian tahun-tahun sebelumnya, banyak mahasiswa kini lebih memilih untuk mempelajari soal ujian tahun sebelumnya dibanding menelisik bahan ajar utama. Akibatnya, indeks prestasi yang mereka peroleh adalah cerminan kemampuan mereka untuk menghafal cara pengerjaan soal, bukan kemampuan berpikir tajam dan mandiri.

Ini berbeda dengan sistem pendidikan ala Barat yang dicicipi para mahasiswa awal. Ujian yang diterima mereka—sebagian merupakan ujian lisan5—tidak hanya menuntut penghafalan metode, tetapi juga pemahaman yang mengakar dalam. Seperti halnya mikroskop, ujian yang baik tidak hanya mampu memindai pemahaman yang bersifat permukaan, seperti penggunaan rumus atau pengertian-pengertian dasar, tetapi juga mampu menerobos ke dalam ruang nalar mahasiswa.

Sejarah memperlihatkan bahwa peliknya permasalahan negeri hanya bisa dipecahkan oleh para pejuang yang cerdas dan cergas. Kini, angkatan pejuang harus kembali diciptakan oleh bangku-bangku kuliah!

.

Victor Samuel adalah seorang mahasiswa pascasarjana yang tinggal di Stockhol, Swedia.

.

Catatan

1 “Kartini” dalam situs id.Wikipedia.org, 11.06.2013. <https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini >. “Mohammad Natsir” dalam blog Biografi Tokoh, 23.08.2011. <http://biografi-umum.blogspot.com/2011/08/politisi-dan-dai-sejati.html >.

2 Richard Robison. “Culture, Politics, and Economy in the Political History of the New Order.” Indonesia, no. 31. Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program Publications, 1989, hal. 19-20. Dikutip oleh Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 62, catatan kaki no. 55. “Kaum terpelajar dan pujangga tua yang telah lama eksis dalam sejarah, seperti ulama skolastik… dianggap tidak memiliki kemampuan untuk menangani pemerintahan negara modern. Adapun kaum pedagang dan industrialis belum memiliki pengaruh signifikan atas dunia politik.”

3 Mohammad Hatta. Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi (Untuk Negeriku #1). Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011, hal. 168-169. “…aku tulislah sebuah karangan untuk majalah Hindia Poetra Nomor I yang akan terbit dengan judul… ‘Kedudukan ekonomi tani Indonesia yang menyewakan tanahnya.’ …Pengetahuan yang kuperoleh dari kuliah Prof. F. de Vries… beserta kuliah Lektor Gonggrijp… kupergunakan sebagai bahan untuk mengarang karangan itu. …Sekalipun pengetahuanku belum banyak tentang ekonomi, aku berusaha sedapat-dapatnya buah tanganku berdasarkan ilmiah.”

4 Mohammad Hatta, hal. 90. “…guru yang mengajarkan Sejarah Dagang… adalah Dr. Broersma. …Sejarah yang diajarkannya didiktekannya saban kali lebih banyak diutamakannya semangat masa dan keadaan masa, hubungan masalah yang satu dengan yang lain. Tahun-tahun kejadian tidak dipentingkannya. Keliru menyebut urutan tahun seperempat abad tidak apa, katanya, asal kamu orang mengetahui hubungan kejadian dan semangat masa. Baru pada Dr. Broersma itulah aku merasa benar-benar belajar sejarah dan pelajarannya membakar hatiku untuk mempelajari sejarah.”

5 Mohammad Hatta, hal. 197-198. Hatta yang cemerlang itu pun pernah gagal dalam sebuah ujian lisan sehingga beliau risau dan tidak berbuat apa-apa selama satu minggu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *