Oleh S.P. Tumanggor
Tiga belas ribuan nusa dan seribu seratusan suku bangsa pastilah tak mudah digalang jadi satu. Namun, nyatanya, per-satu-an itu terjadi juga di negeri yang bernama Indonesia ini. Warga Nusantara, “anak seribu pulau,” rela memadukan diri sebagai satu bangsa. Dan wujud kerelaan itu, yakni bangsa Indonesia, menjulang dalam untaian tahun sejak dulu hingga kini—dengan tonggak-tonggak istimewa 1908, 1928, 19451—sebagai suatu pencapaian agung.
Ya, warga Nusantara memang punya banyak pencapaian agung. Beberapa di antaranya sudah mashur di dunia, misalnya teknologi perahu cadik yang memungkinkan penjelajahan bahari mahaluas, batik dan ikat yang tiada taranya, candi megah Borobudur, kerajaan-kerajaan raya: Sriwijaya, Majapahit, Aceh, Gowa, Ternate, Merina (di Madagaskar), dll. Tapi satu pencapaian agung yang jarang diingat dunia (ataupun kita sendiri sebagai warga Nusantara!) adalah pendirian bangsa Indonesia.
“Bahu-membahu,” tulis Suwardi Suryaningrat2 di awal abad ke-20, “berdirilah orang Sumatra, orang Minahasa, orang Ambon, orang Jawa dan semua golongan-golongan Indonesia lainnya yang terjajah itu siap sedialah untuk memperjuangkan keselamatan kita bersama.” Lewat “bahu-membahu” itu dibangunlah, dalam tuturan Suwardi, “negara Hindiawi, di mana akan termasuk semua orang yang mengaku tanah kelahiran Hindiawi ini sebagai tanah airnya, dan semua orang asing yang rela untuk dinaturalisasi sebagai orang Indonesia.”3
Dan “bahu-membahu” itu disaksikan sejarah secara elok sekali. “Orang Sumatra, orang Minahasa, orang Ambon, orang Jawa” memang bersatu hati mengunjuk daya-karya hebat demi tegaknya Indonesia di dunia. Sosok-sosok perwakilannya dapat kita jajarkan di sini: Muhammad Hatta, orang Sumatera, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia; L.N. Palar, orang Minahasa, habis-habisan memperjuangkan kedaulatan Indonesia di sidang-sidang PBB pasca 1945; A.J. Patty, orang Ambon, mendirikan Sarekat Ambon dan memboyong organisasi itu ke dalam ide nasionalis Indonesia; Sukarno dan W.R. Supratman, orang Jawa, masing-masing menggagas Pancasila dan menggubah lagu Indonesia Raya.
“Golongan-golongan Indonesia lainnya,” yakni suku-suku lain, sama sekali tidak ketinggalan. Tjilik Riwut, orang Dayak, memimpin upacara sumpah setia warga Kalimantan kepada Indonesia di Yogyakarta tahun 1946. I Gusti Ngurah Rai, orang Bali, berpuputan—berlaga sampai mati—bersama pasukannya melawan laskar Belanda di Desa Marga. Muhammad Toha, orang Sunda, berkorban nyawa demi meledakkan gudang mesiu Belanda di selatan Kota Bandung.
Saridjah Niung,4 orang Makassar, menggubah lagu-lagu kebangsaan yang hingga kini jadi kesayangan rakyat Indonesia. Herman Johannes, orang Rote, membangun laboratorium persenjataan yang menunjang tentara Indonesia dalam perang mempertahankan kemerdekaan. Silas Papare, orang Papua, dibui Belanda lantaran membentuk Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII).
Dan “orang asing yang rela dinaturalisasi” pun tampil dalam jajaran itu. A.R. Baswedan, orang Arab, berseru agar warga keturunan Arab di Nusantara memandang Indonesia sebagai tanah air dan turut berjuang demi kemerdekaannya. Lie Tjeng Tjoan,5 orang Tionghoa, menakhodai kapal menembus barikade Belanda di laut untuk membarter hasil bumi Nusantara dengan senjata bagi para pejuang Indonesia.
Itu orang dari suku-suku yang berbeda! Itu orang dari latar budaya dan agama yang berlainan! Ajaibnya, semua bahu-membahu bagi bangsa yang hingga kini mashur dengan nama Indonesia—suatu pencapaian agung!
Jelas pencapaian agung itu hanya bisa awet jika orang Indonesia dari beragam suku, budaya, dan agama di Nusantara tetap “bahu-membahu … memperjuangkan keselamatan kita bersama.” Di sini istilah “bahu-membahu” adalah kuncinya. Dalam bahasa Melayu/Indonesia, istilah itu berarti “bersebelah-sebelahan,”6 yakni bahu orang yang satu bersebelah-sebelahan dengan bahu orang yang lain, dan ini tak lain dari simbol keseharkatan dan kesederajatan!
Jadi, pencapaian agung keindonesiaan akan tetap teguh selama warga Nusantara yang mendirikannya tetap saling menghargai dan bekerja sama sebagai orang-orang seharkat dan sederajat—“bahu-membahu”—tanpa mempersoalkan latar yang berbeda. Ketidakseharkatan adalah ibarat orang yang satu malah menginjak bahu orang yang lain, dan ini resep manjur untuk meruntuhkan pencapaian agung itu.
Kita tentu tidak mengharapkannya. Kita berharap keindonesiaan direstui Tuhan tahan lama dan berdampak raya dalam tawarikh umat manusia. Karenanya, biarlah orang Nusantara selalu ingat bahwa hanya lewat bahu-membahu, jadilah Indonesia.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Masing-masing merujuk kepada tahun tercetusnya Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
2 Beken pula dengan nama “Ki Hajar Dewantara.”
3 Perkataan Suwardi Suryaningrat dikutip dari Waruno Mahdi. Irian Jaya dan “Melanesia Merdeka.” <http://w3.rz-berlin.mpg.de/~wm/PAP/IrJa-n-OPM.html >.
4 Lebih beken dengan nama “Ibu Sud.”
5 Lebih beken dengan nama John Lie.
6 Lihat lema “bahu” dalam St. Mohammad Zain. Kamus Moderen Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Grafica, tanpa tahun, hal. 68.