Mitos “Tak Usah Berbuat Apa-apa karena Dunia Memang akan Makin Buruk”

Oleh Viona Wijaya

Masalah di dunia makin hari terasa makin berat. Berita-berita terkini menyiarkan kekhawatiran dan ketakutan ke seantero negeri: kejahatan dan kekerasan di mana-mana, korupsi dan kemiskinan merajalela, sementara keadilan tak kunjung ditegakkan. Bencana alam menggoncang berbagai tempat karena ulah manusia yang tak bertanggung jawab mengelola lingkungan. Konflik internasional juga tak kurang membuat hati kita berdebar-debar.

Semua itu adalah fakta. Makin hari dunia memang tampak makin buruk saja. Dan mungkin kita sudah sering mendengar orang-orang berumur berkata, “Rasanya di zaman kami dulu tidak pernah terjadi hal-hal seburuk ini.” Masalah sepertinya tidak kunjung berkurang tapi malah bertambah!

Menyikapi fakta-fakta itu, banyak orang Kristen malah bersikap pasrah dan tak memiliki hasrat untuk mengubah keadaan. Mereka berpandangan bahwa Alkitab memang sudah menubuatkan makin buruknya kondisi dunia menjelang kedatangan Yesus yang kedua kali.1 Jadi, menurut mereka, kita tidak usah repot-repot melakukan apa pun untuk memperbaiki keadaan.

Maka terbentuklah mitos yang hingga hari ini dipercayai banyak orang Kristen: kita tak usah berbuat apa-apa karena keadaan dunia memang akan makin buruk—semuanya sudah dinubuatkan Alkitab.

Akibat mitos itu, banyak orang Kristen menarik diri dari masyarakat dan menjadi eksklusif.2 Terpisah dari “dunia yang kotor,” mereka percaya bahwa kesalehan mereka akan tetap terjaga sehingga mereka selalu dalam keadaan siap menyambut kedatangan Yesus kapan saja. Ketika melihat kondisi masyarakat memburuk, beberapa dari mereka bahkan “girang” karena merasa bahwa itu tanda kedatangan Kristus makin dekat.Sebagai contoh,kaum fundamentalis Kristen AS mendukung penggunaan teknologi nuklir untuk membasmi atau menghancurkan sebab, dalam pandangan mereka, perang nuklir justru akan memenuhi nubuat Alkitab tentang perang besar di akhir zaman.3

Kondisi dunia yang makin buruk memang sesuai dengan nubuat Alkitab. Tapi Alkitab tidak pernah meresepkan bahwa, karena itu, orang Kristen harus berdiam diri saja. Beberapa bagian Firman Tuhan justru menentang anggapan bahwa berperan dalam memperbaiki kerusakan dunia adalah tak penting dan tak perlu.

Jika betul memperbaiki kerusakan dunia tak penting, mengapa Yesus, sewaktu di dunia, “berjalan berkeliling sambil berbuat baik”? 5 Ia memberi teladan kepada murid-murid-Nya untuk memerangi “penyakit masyarakat” dengan menyembuhkan orang sakit, memberi makan orang lapar, memberi contoh cara mengadili yang baik—bukan mengajarkan hal-hal “rohani” belaka.

Jika betul memperbaiki kerusakan dunia tak perlu, mengapa Kristus berkata, “Kamulah garam dan terang dunia”4 dan “Aku mengutusmu seperti domba ke tengah serigala”?6 Keduanya mengungkapkan bahwa umat Kristen diutus ke dunia yang penuh kejahatan (“serigala”) sebagai agen-agen perubahan: “garam” yang memberi rasa dan “terang” yang membawa pencerahan.

Selain itu, kalau kita percaya Yesus bisa datang kapan saja, bukankah justru kita harus giat berkarya di dunia supaya dapat memberi pertanggungjawaban atas “talenta” yang dipercayakan-Nya kepada kita? Tidakkah sikap berdiam atau mengisolir diri adalah ibarat mengubur talenta (kemampuan dan kesempatan berharga) seperti yang dilakukan hamba jahat dalam perumpamaan Yesus?7

Jelaslah kini bahwa menarik diri dari masyarakat dan membiarkan dunia larut dalam kerusakan adalah keliru. Tindakan ini malah menghambat dan menjegal orang Kristen dalam berkarya bagi bangsa dan dunia.

Mengikuti teladan Yesus, orang Kristen seharusnya “berjalan keliling” membawa “kabar baik” di tengah berbagai kabar buruk yang menghantui dunia. Kabar-kabar baik harus tersiarkan lewat hidup dan karya kita di tengah masyarakat. Wujudnya bisa berupa kebijakan yang menyejahterakan rakyat, penegakan keadilan bagi yang tertindas, pengelolaan alam yang bertanggungjawab, dsb.

Bukankah kita hanya bisa menjadi terang di tempat gelap dan garam di tempat tawar? Maka bumi yang penuh masalah justru menjadi tempat paling ideal untuk kita menggenapi peran “garam” dan “terang” itu. Toh di surga kelak tak ada lagi kegelapan dan kehambaran.

Karena itu, sekalipun keadaan dunia akan memburuk menjelang kedatangan Kristus, janganlah kita diam berpangku tangan saja. Janganlah kita mengubur talenta kita! Sebaliknya, kita harus kaya karya di tengah bangsa dan dunia. Bawalah pembaharuan, hadirkanlah “Kerajaan Allah,” dengan talenta yang sudah Tuhan berikan kepada kita. Itu akan menyukakan hati Dia yang akan datang kembali dan yang tidak menyukai  mitos “tak usah berbuat apa-apa karena dunia akan makin buruk.”

.

Viona Wijaya adalah seorang karyawan swasta yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1   Lihat Matius 24:6-12.

2 Randall Balmer. “Apocalypticism in American Culture” dalam situs National Humanities Centre. <http://nationalhumanitiescenter.org/tserve/twenty/tkeyinfo/apocal.htm >.

3 Richard T. Hughes. “Why Conservative Christians So Often Fail the Common Good (Part 2)” dalam situs HuffingtonPost. <http://www.huffingtonpost.com/richard-t-hughes/why-conservative-christia_b_500004.html>. Hughes, seorang pakar dan pengajar bidang agama asal AS, memberi contoh lain mengenai sikap acuh tak acuh orang Kristen terhadap masalah publik lantaran mitos “tak usah berbuat apa-apa karena dunia memang akan makin buruk.” Suatu kali, ketika ia mendiskusikan bahaya pemanasan global dengan mahasiswa-mahasiswanya, seorang dari mereka berkata, “Kalaupun itu benar, mengapa orang Kristen harus memusingkannya? Allah akan mengangkat orang Kristen dari bumi bagaimanapun juga, dan membiarkan orang-orang yang tidak mengenal Allah berurusan dengan pemanasan global.”

4   Lihat Matius 5:13-16.

5   Lihat Kisah Para Rasul 10:38.

6  Lihat Matius 10:16.

7 Lihat Matius 25:14-30.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *