Salam sejahtera di bulan dua 2014, Sidang Pembaca!
Dari dulu hingga kini mimbar gereja sangat berpengaruh pada hidup dan kinerja umat Kristen. Ini tak mengherankan, sebab mimbar adalah sarana gereja untuk mendidik umat dalam ide-ide alkitabiah yang merupakan landasan bagi segala kiprah dan karya umat. Kalau mimbar mengamalkan fungsinya dengan baik, umat Kristen pun akan berfungsi dengan baik di dunia demi kemuliaan Allah.
Bulan ini, lewat empat tulisan, Komunitas Ubi (Kombi) membahas bagaimana mimbar gereja dapat dan harus menjalankan fungsinya sebaik-baiknya sehingga menjadi “mimbar manfaat”—mimbar yang melimpahkan manfaat besar bagi umat. Seluruh bahasan melibatkan pengamatan kritis terhadap tren atau kecenderungan yang tampak pada berbagai mimbar gereja saat ini. Tujuan dan sasarannya semata-mata agar umat Kristen dapat berfungsi baik di tengah masyarakat, bangsa, dan dunia.
Meninjau apa yang bisa disebut “mimbar dangkal,” Lasma Panjaitan memaparkan bahwa pengajaran kristiani yang tidak mendalam dari mimbar gereja akan berdampak kepada pendangkalan makna ide-ide Alkitab serta ketahanan/ketangguhan hidup jemaat. Mimbar dangkal harus diuruk menjadi mimbar manfaat dengan mendalamkan isi pengajaran kritiani dan dengan tidak mementingkan kulit lebih daripada isi khotbah.
Menjenguk apa yang bisa dijuluki “mimbar beku,” Febroni Purba menguraikan bahwa pengajaran kristiani yang “dingin,” yang cenderung formal dan abstrak, dari mimbar gereja akan membuat kebenaran alkitabiah sukar dicerna jemaat, bahkan tidak menjawab permasalahan hidup jemaat. Mimbar beku harus dicairkan menjadi mimbar manfaat dengan menghadirkan pengajaran kristiani yang jelas bagi otak sekaligus menyentuh hati.
Menengok apa yang bisa dinamai “mimbar doktrinal,” Viona Wijaya membeberkan bahwa pengajaran kristiani yang cenderung menekankan doktrin kristiani belaka dapat menghasilkan jemaat yang melek teori tapi rabun terapan teori. Mimbar doktrinal harus dibenahi menjadi mimbar manfaat dengan menyajikan kajian tentang penjabaran doktrin-doktrin kristiani pada konteks waktu dan ruang hidup jemaat.
Menimbang titah alkitabiah agar umat Kristen berkarya di berbagai bidang kehidupan di dunia, S.P. Tumanggor menyingkapkan bahwa rohaniwan belaka terbatas dalam memperlengkapi umat untuk menggenapi titah tersebut. Karenanya, orang awam yang “cakap” perlu diberi kesempatan naik mimbar dan berbagi wawasan alkitabiah kepada jemaat—fenomena yang sebetulnya tidak asing dalam sejarah kekristenan.
Kombi rindu menyaksikan segala mimbar gereja penuh daya dan memberdayakan umat untuk hidup baik dan berkarya baik di berbagai lapangan kehidupan yang punya kekhasan dan tantangannya masing-masing. Sehubungan dengan kerinduan itu, seluruh tulisan ini boleh dipandang sebagai suara kasih untuk mimbar dari kursi-kursi jemaat yang selama ini selalu mendengar suara dari mimbar.
Selamat ber-Ubi.
Penjenang Kombi