Orang Tionghoa Jadi PNS: Kok Bisa? Kok Mau?

Oleh Viona Wijaya

Orang Tionghoa jadi pegawai negeri sipil (PNS)? Ide ini hampir tak pernah mendapat tanggapan biasa-biasa di bumi Indonesia. Jika tanggapan kebanyakan orang disurvei dan dimasukkan dalam acara kuis “Famili Seratus,” saya rasa dua tanggapan yang muncul sebagai hasil survei tertinggi adalah “kok bisa?” dan “kok mau?”

Dua komentar itu bisa dilontarkan oleh orang non-Tionghoa ataupun orang Tionghoa sendiri. Keduanya menyiratkan bahwa menjadi abdi negara masih merupakan hal yang langka dan aneh bagi orang Tionghoa Indonesia pada umumnya. Saya pikir ada dua hal besar yang menyebabkan reaksi keheranan itu.

Pertama, sampai saat ini orang Tionghoa Indonesia masih sering dicap kurang peduli dengan persoalan bangsa dan hanya sibuk dengan urusan kaum sendiri. Cap tersebut ada benarnya,1 tetapi perlu juga kita pahami bahwa ada berbagai faktor yang membentuknya. Salah satunya adalah pembatasan peran orang Tionghoa dalam pemerintahan oleh rezim Orde Baru.

Di masa Orde Baru, orang Tionghoa dipersulit untuk menjadi PNS. Meski perilaku diskriminatif itu sangat ditentang di era Reformasi, pikiran masyarakat sudah terlanjur terbentuk: orang Tionghoa bukan kaum yang mau atau mampu menjadi PNS. Inilah yang membuat celetukan keheranan meluncur dari mulut banyak orang saat melihat orang Tionghoa jadi PNS, “Kok bisa?”

Kedua, selama ini orang Tionghoa Indonesia telah sering dikambinghitamkan ketika terjadi konflik-konflik di tanah air. Mereka dijadikan sasaran amukan dan kekerasan, dan hal ini menimbulkan kerugian dan luka mendalam di pihak mereka. Bagi mereka, menjamin keselamatan sendiri menjadi sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Maka banyak orang Tionghoa mendorong anak-anaknya masuk dalam rantai hidup ini: sekolah di Indonesia maksimal sampai SMA, kuliah di luar negeri, cari kerja di luar negeri, tinggal di luar negeri, tidak usah kembali ke Indonesia. Karena alasan keamanan juga anak-anak Tionghoa diimbau untuk menjauh dari soal-soal sosial-politik Indonesia. Mengingat semua itu, tak aneh jika orang Tionghoa yang menjadi PNS akan dikomentari, “Kok mau?”

Memang menjadi PNS bukanlah hal mudah bagi orang Tionghoa. Mereka harus berhadapan dengan berbagai “keberatan” dari kaum sendiri maupun dari masyarakat luas. Tetapi tanpa kemunculan abdi-abdi negara bermata sipit dan berkulit kuning, keberatan-keberatan yang salah kaprah itu akan sangat sulit diruntuhkan.

Sesungguhnya kehadiran kaum Tionghoa, yang dikenal gigih dan ulet, sebagai abdi negara dapat menjadi keuntungan besar bagi bangsa. Selama ini masyarakat kerap mengeluh bahwa PNS kurang disiplin dan kurang cekatan. Kegigihan dan keuletan kaum Tionghoa dapat membawa angin segar bagi perbaikan kinerja PNS di tanah air. Kehadiran mereka juga dapat meneguhkan keberadaan kaum Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Di sini saya teringat akan sebuah pidato Sukarno di hadapan Kongres Baperki. Ia mengumpamakan bangsa Indonesia sebagai lipan yang memiliki banyak kaki. “Peranakan Cina” adalah salah satu kaki dari bangsa Indonesia, setara dengan suku Jawa, Sunda, Dayak, Sumba, Bali, dll.2 Karenanya, sudah saatnya orang Tionghoa, mengiringi orang dari suku-suku lain, mengambil tempat sebagai abdi negara demi kemajuan bangsa.

Zaman sudah berubah. Sikap diskriminatif era Orde Baru terhadap orang Tionghoa sudah dihapuskan. Kita memang tak boleh melupakan sejarah, tapi menurut saya memerangkap generasi baru Tionghoa Indonesia dalam ketakutan dan rasa tertolak generasi lama bukanlah hal bijak.

Mengubah rasa takut dan tertolak ini pastinya tak mudah. Diperlukan peran orang tua, lembaga keagamaan (khususnya gereja dan kelenteng), dan komunitas orang Tionghoa untuk menanamkan cara pandang baru bagi generasi muda Tionghoa yang mendorong mereka berani tampil sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Ini saatnya orang Tionghoa bangkit mengukir sejarah baru bagi Indonesia: ikut membangun negeri lewat sektor pemerintahan.3 Semoga tiba harinya ketika orang Tionghoa begitu lazim menjadi abdi negara sehingga segala “kok bisa?” dan “kok mau?” sirna-lenyap dengan sendirinya.

.

Viona Wijaya adalah seorang calon pegawai negeri sipil yang bermukim di DKI Jakarta.

.

Catatan

1   Saya menyebut cap tersebut “ada benarnya” karena memang ada orang Tionghoa yang seperti itu. Tetapi tentu saja tidak semua orang Tionghoa seperti itu (dan orang “pribumi” pun ada saja yang tidak/kurang peduli dengan bangsa Indonesia). Sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia tak sulit kita temukan orang-orang Tionghoa yang tak ragu akan identitasnya sebagai orang Indonesia dan memberi sumbangsih besar bagi kemajuan bangsa.

2    Leo Suryadinata. “Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme” dalam Antropologi Indonesia vol. XXVII, No. 71, Agustus 2003, hal. 6. Bisa dilihat di <http://anthropology.fisip.ui.ac.id/httpdocs/jurnal/2003/71/full/03ls71.pdf>.

3 Saat ini kita dapat melihat beberapa orang Tionghoa berkiprah di pemerintahan, misalnya Basuki Tjahaja Purnama (Wakil Gubernur Jakarta), Mari Elka Pangestu (Menteri Pariwisata dan Menteri Ekonomi Kreatif), dan Sidarto Danusubroto (Ketua MPR RI). Saya rindu melihat lebih banyak lagi sosok seperti mereka berkarya dan menginspirasi di tengah bangsa Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *