Oleh Stefani Krista
“Sekarang, Bung, sekarang! Malam ini juga kita kobarkan revolusi,” kata Chaerul Saleh kepada Bung Karno. Sukarni pun tak mau kalah. “Kita harus segera merebut kekuasaan!” ujarnya penuh semangat. “Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami!” seru yang lain bersahut-sahutan.1
Enam puluh sembilan tahun lalu, sejarah memberitahu kita, golongan muda mendesak Bung Karno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sikap mereka berkebalikan dengan sikap golongan tua yang memandang perlu pembicaraan terlebih dahulu dengan pemerintah Jepang. Golongan tua menganggap Indonesia tak bisa merdeka tanpa kerja sama dengan Jepang. Karena tak juga disetujui golongan tua―termasuk Bung Karno dan Bung Hatta―golongan muda melakukan hal yang “ekstrem,” yaitu menculik kedua tokoh tersebut ke Rengasdengklok.2
Menculik, kita maklum, bukanlah tindakan yang biasa dipandang wajar atau benar dari segi manapun. Menculik selalu cenderung dinilai salah. Namun, karena tindakan yang “tidak wajar” dan “salah” itu―tindakan yang “ekstrem” itu—kemerdekaan Indonesia akhirnya bisa diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kisah tersebut, yang sudah tercatat dengan tinta emas dalam sejarah Indonesia, sangat menarik. Golongan muda menunjukkan jiwa merdeka yang luar biasa dengan mengabaikan pemerintah Jepang—padahal bangsa kita sudah terbiasa takut karena lama dijajah. Jiwa merdeka membuat mereka berani menculik Sukarno-Hatta. Memang “ekstrem,” namun tujuannya mulia.
Ya, jiwa merdeka bisa kita pahami sebagai jiwa yang berani berbuat “ekstrem.” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu pengertian “ekstrem” adalah “sangat keras dan teguh.” Itulah yang terlihat dalam tindakan para pejuang kemerdekaan. Mereka mengusahakan hal mulia, kemerdekaan Republik Indonesia, dengan “sangat keras dan teguh.” Tak heran mereka disebut “ekstremis” oleh Belanda!
Dewasa ini, para “ekstremis” macam itu, jiwa-jiwa merdeka yang berani berbuat “ekstrem” demi tujuan mulia, sudah jarang kita temui. Bangsa kita sudah begitu terbiasa dengan kungkungan “apa yang sudah ada” saja, meskipun apa yang sudah ada itu (sistem, tata cara, mental, dll.) mungkin tidak sesuai dengan zaman dan menghambat kemajuan bangsa. Kita malas memikirkan, malas mengerjakan upaya-upaya pembaharuan demi kejayaan bangsa.
Syukurlah, masih ada sosok-sosok Indonesia masa kini yang tidak seperti itu. Dahlan Iskan salah satunya. Menteri BUMN ini berniat mengembangkan mobil listrik di Indonesia. Namun, karena niatnya disambut “adem ayem” saja oleh negara, ia menjadikan pengembangan mobil tersebut “masalah pribadi.” Ia menyerahkan seluruh gajinya untuk membiayai kinerja pencipta mobil listrik itu.2 Ketika banyak pejabat malah terlibat korupsi yang merusak bangsa, Dahlan menjadi “ekstremis” yang memikirkan keluhuran bangsa.
Sosok lainnya adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Wakil gubernur DKI Jakarta ini tak ragu-ragu menggebrak meja rapat kala berhadapan dengan ketidakberesan.3 Tak biasa kita mendengar seorang pejabat pemerintahan berlaku sekeras itu. Namun, Ahok menjadi “ekstremis” demi perbaikan bangsa.
Kedua “ekstremis” di atas dan para “ekstremis” di masa kemerdekaan Indonesia menunjukkan bahwa jiwa merdeka sanggup menghasilkan hal-hal besar bagi bangsa. Teladan mereka patut kita tiru—tentu dengan pertimbangan matang. Artinya, kita tidak akan sembarang berbuat “ekstrem” saja. Kita akan memastikan tindakan “ekstrem” kita bertujuan mulia dan tidak sekali-kali merugikan orang lain.
Enam puluh sembilan tahun lalu, golongan muda menjadi para “ekstremis” yang berapi-api berjuang untuk tanah air. Mereka sampai menculik Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok demi proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Tak beda dengan dulu, hari ini pun Indonesia masih membutuhkan para “ekstremis” yang berani berbuat “ekstrem” demi keluhuran bangsa.
Jiwa merdeka, jangan biarkan kenangan Rengasdengklok pudar. Mari bangkit pula sebagai “ekstremis-ekstremis” yang berjuang bagi kebaikan tanah air. Salam merdeka!
Catatan
1 Lihat Dadan Wildan. “Membuka Catatan Sejarah: Detik-Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945” dalam situs Sekretariat Negara Republik Indonesia. <http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=19>.
2 Lihat Dadan Wildan. “Membuka Catatan Sejarah: Detik-Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945.”
3 Lihat Ilyas Istianur Praditya. “Dahlan Iskan Serahkan Seluruh Gajinya ke Pencipta Mobil Listrik” dalam situs Liputan 6. <http://m.liputan6.com/bisnis/read/2035557/dahlan-iskan-serahkan-seluruh-gajinya-ke-pencipta-mobil-listrik>.
4 Lihat, misalnya, Andi Muttya Keteng. “Alasan Ahok Marah Gebrak Meja Rapat” dalam situs Liputan 6. <http://m.liputan6.com/news/read/2047840/alasan-ahok-marah-gebrak-meja-rapat>.