Oleh Hendy Yang
Suku Batak di Sumatera Utara adalah satu dari beberapa suku Nusantara yang memiliki aksara sendiri. Aksara Batak, atau biasa disebut juga “Surat Batak,” masuk rumpun aksara Brahmik, yang berasal dari India.1 Secara umum, orang Batak di masa lalu hanya menggunakan aksara Batak untuk menuliskan tiga hal: ilmu kedukunan (hadatuon), surat (misalnya surat ancaman), dan ratapan. Semua itu masih bisa kita lihat hari ini dalam kitab-kitab kuna Batak (pustaha).2
Tiga perempat dari seluruh pustaha (yang masih ada di dunia) membahas hal-hal yang berkaitan dengan hadatuon. Yang berhak menuliskannya adalah para dukun (datu). Pustaha selebihnya, yang berupa surat ancaman atau ratapan, bisa ditulis oleh raja atau orang biasa. Tulisan-tulisan ini mengungkapkan kekesalan kepada pihak lain yang menyakiti atau mengeluhkan nasib malang, misalnya kecurian.3 Jadi, pada zaman dahulu orang Batak telah rajin menulis ilmu agama/“teologi” dan “surat pembaca”—suatu teladan yang baik kita tiru!
Fakta bahwa surat ancaman dan ratapan bisa disusun oleh orang biasa menunjukkan bahwa dahulu kebiasaan menulis (dan membaca) tersebar melampaui kalangan elite (datu dan raja) kepada masyarakat luas. Fakta ini tentunya harus menggelitik kita di masa kini yang memiliki terlalu banyak bantuan kemudahan dalam menulis—laptop dan perangkat lunak seperti Ms. Word. Sudahkah kita dokumenkan pemikiran dan perasaan kita dalam bentuk tulisan?
Sayangnya, pustaha dengan aksara Bataknya mengalami kejadian mengenaskan. Karena 75% merupakan tulisan datu-datu, para penginjil Eropa yang berdakwah di Tanah Batak memandangnya sebagai wujud kekafiran belaka. Maka, bersama para pendeta dan orang Kristen setempat, mereka memusnahkan pustaha-pustaha. Di perempat pertama abad ke-20, pustaha makin ditinggalkan seiring dengan masuknya kekristenan.4
Inilah satu contoh kasus di mana agama baru dari luar negeri tidak bersinergi dengan budaya dan kepercayaan setempat. Seandainya para penginjil Eropa dan pendeta pribumi di masa lalu berupaya keras memadukan kekristenan dengan hikmat/kebenaran umum dari kepercayaan setempat (yakni hal-hal yang tidak bertentangan dengan iman Kristen), tentulah agama Kristen akan lebih terdaratkan pada budaya Batak. Agama Kristen dan budaya Batak akan saling menguatkan—bukan saling menggesek atau jalan sendiri-sendiri.
Akibat kurangnya sinergi antara iman Kristen dan budaya Batak, banyak orang Batak yang menjadi Kristen serta-merta meninggalkan aksara Batak. Tambahan lagi, orang Batak merangkap sebagai bangsa Indonesia—bangsa yang telah memilih menggunakan aksara Latin sebagai aksara persatuan. Alhasil makin susutlah generasi muda Batak yang melek aksara Batak.
Upaya pembelajaran aksara Batak di sekolah dasar dan menengah patut diapresiasi. Namun, pembelajaran itu tampaknya baru sampai tingkat “cukup tahu saja.” Masih harus dipikirkan cara-cara praktis untuk menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Dalam kehidupan sehari-hari, kata-kata beraksara Batak bisa saja dijadikan cantuman tambahan untuk kata-kata beraksara Latin, misalnya pada pelang nama jalan, pelang petunjuk di tempat-tempat umum/wisata, atau dalam undangan pernikahan orang Batak. Upaya ini akan memunculkan kebanggaan sekaligus menegaskan identitas orang Batak.
Selain itu, pelestarian aksara Batak di masa kini tentu saja harus melibatkan teknologi canggih. Dr. Uli Kozok, peneliti budaya, bahasa, dan sastra Batak, pernah membuat perangkat lunak untuk menuliskan aksara Batak di komputer.5 Upayanya tentu saja dapat dikembangkan dengan membuat aplikasi-aplikasi ponsel pintar—seiring dengan meningkatnya kepopuleran ponsel pintar. Contohnya adalah aplikasi yang memampukan penulisan aksara Batak untuk mengirimkan pesan singkat. Ini tentu saja akan membantu memudahkan pembelajaran aksara Batak sekaligus dapat menjadi tren baru bagi anak muda.
Orang Batak sudah dikenal di seluruh Nusantara lantaran segala kekhasannya: logat, gaya bicara, raut muka, profesi, ke“fanatik”an terhadap adat dan marga. Namun, aksara Batak belum juga bisa masuk dalam daftar kekhasan yang sudah dikenal itu. Ini tentu saja sangat disayangkan dan menjadi tantangan seru yang harus dijawab generasi Batak masa kini.
.
Hendy adalah seorang alumnus jurusan teknik mesin yang tinggal di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 “Surat Batak” dalam blog Surat Batak. <http://suratbatak.wordpress.com/sejarah/>.
2 Uli Kozok. Surat Batak. Jakarta: Penerbit Gramedia, 2009, hal. 16.
3 Uli Kozok, hal. 16-17.
4 Uli Kozok, hal. 19-20.
5 “Keterkaitan Uli Kozok dengan Sastra Batak” dalam Kompas terbitan 22.01.2008.