Oleh S.P. Tumanggor
Mendengar vonis “masuk neraka” dari Tuhan, wajah Saleh dan rekan-rekannya memucat. Mereka ini telah menghadap Tuhan untuk beradu argumen seputar keputusan-Nya memasukkan mereka ke neraka. Mereka merasa tidak layak menghuni tempat jahanam itu karena selama hidup di dunia mereka taat beribadah. Sialnya argumen-argumen mereka patah di hadapan Tuhan yang mahatahu. Dan Tuhan tetap mengusir mereka ke neraka—bahkan ke kerak neraka!1
Tak berani berkata-kata lagi kepada Tuhan, Saleh pun bertanya kepada malaikat yang menghalau mereka ke neraka: “Salahkah, menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?” “Tidak,” jawab malaikat. “Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. … Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”2
Cuplikan adegan di atas terambil dari cerpen beken A.A. Navis, “Robohnya Surau Kami.” Terbit pertama kali di tahun 1955, cerpen itu menjadi karya tersohor Navis yang menunjukkan ketajamannya sebagai juru kritik sosial. Hingga kini “Robohnya Surau Kami” tetap menggelitik pembaca lewat imajinasi yang hebat dan pembelajaran yang mendalam.
Navis memang menggubah cerpennya dalam atmosfer Islam (seperti yang langsung nyata dari kata “surau”), tapi umat beragama lain, termasuk umat Kristen, sangat bisa menemukan titik kesesuaian dengan ide-idenya. Kita tahu bahwa gagasan tentang orang taat bersembahyang yang diusir dari hadirat Tuhan digaungkan pula oleh Alkitab.
Kita mendapatinya dalam sabda Kristus di Matius 7:21-23: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah daripada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”
Itu sangat mirip dengan yang dialami Saleh dan rekan-rekannya. Mereka mengandalkan kegiatan rohani yang memang mereka lakukan di bumi (tak mungkinlah mereka berani berbohong di hadapan Tuhan), tapi mereka dihalau ke neraka. Orang-orang dalam sabda Kristus pun memang bernubuat, mengusir setan, dan mengadakan mukjizat di bumi (tak mungkin juga mereka berani berbohong di hari terakhir itu), tapi mereka diusir dari hadirat Tuhan. Mengapa demikian?
Perkataan malaikat kepada Saleh, “kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang,” menjernihkan duduk perkaranya. Motif di balik kegiatan rohani amat penting di mata Tuhan. Takut masuk neraka, sebagaimana diterangkan malaikat, merupakan wujud egoisme. Saleh beribadah, tapi untuk kepentingannya sendiri. Dia abaikan orang lain dan, karenanya, Tuhan juga, yang telah menyuruh manusia memperhatikan sesamanya.
Sama pula, sabda Kristus di atas mengisyaratkan bahwa orang Kristen bisa saja melakukan banyak kegiatan rohani dalam nama-Nya tapi dengan motivasi keliru. Mereka bisa bernubuat atau berdoa, mengusir setan atau berdakwah, membuat mukjizat atau berstudi Alkitab, tapi dengan tujuan mencari untung, mengejar pujian, atau menyelamatkan diri dari api neraka. Kesejahteraan sesama jauh dari pikiran egoistis mereka.3
Ini menyentil semua orang yang taat bersembahyang namun tak punya perhatian bagi orang lain, masyarakat, bangsa, dan dunia. Sembahyang tidaklah salah, seperti kata malaikat kepada Saleh, tapi tiadanya dampak sembahyang itu bagi sesama/masyarakat pastilah salah. Dan pementingan diri—egoisme—adalah akar dari tiadanya dampak ini.
Takut masuk neraka dan hal-hal keliru lainnya jelas tak layak melandasi ibadah. Ide cerpen Navis senapas dengan ide alkitabiah yang menegaskan bahwa ibadah sejati selalu bertautan dengan Tuhan dan sesama. Ini pelajaran mas bagi setiap gereja dan perkumpulan Kristen yang gemar menekankan hubungan vertikal dengan Tuhan tapi tidak/kurang gemar menekankan hubungan horizontal dengan sesama dan dunia.
Di hari terakhir, semoga kita tidak termasuk orang-orang yang rajin berseru “Tuhan, Tuhan” tapi mendengar Tuhan menyahut, “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah daripada-Ku!”
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 A.A. Navis. Robohnya Surau Kami. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, hal. 9-12.
2 A.A. Navis, hal. 9-12
3 Bandingkan pula dengan sabda Kristus tentang penghakiman terakhir, di mana Tuhan akan memisahkan manusia berdasarkan perbuatan mereka terhadap sesama (Mat. 25:31-46). Di situ pun digambarkan percakapan antara orang-orang dan Tuhan.