Nyanyian Bumi, Keluhan Bumi

Oleh S.P. Tumanggor

Bagaimana dengan segala damai/Yang mengharuskanmu menjaminkan putra tunggalmu/Pernahkah engkau berhenti untuk memperhatikan/Semua anak yang mati karena perang/Pernahkah engkau berhenti untuk memperhatikan/Bumi yang menangis ini, pantai yang meratap ini/Aaaah uuuuh1

Demikianlah rintih pilu Michael Jackson dalam nyanyian nelangsa yang digubahnya sendiri, Earth Song. Ramuan unsur musik blus, gospel, dan opera sungguh mengentalkan nada balada nyanyian itu. Sewaktu dirilis pada tahun 1995, Earth Song lekas beken di mancanegara. Di Inggris, pada tahun yang sama, nyanyian itu menjadi singel Natal nomor satu.2

Apakah Earth Song lagu Natal? Bukan. Namun, disadari atau tidak, muatannya berkaitan erat dengan Natal. Mula-mula, istilah-istilah seperti “damai” dan “putra tunggal,” sebagaimana terungkap dalam kutipan di atas, adalah istilah-istilah langganan Natal. Jackson memakainya untuk mempertanyakan damai yang dijanjikan Allah (“engkau”) kepada manusia lewat tindakan menjaminkan Putra Tunggal-Nya.

Putra Tunggal Allah, dalam pandangan kristiani, adalah Yesus Kristus alias Isa Almasih. Ia disebut demikian bukan dalam arti biologis, tapi karena Ia adalah Firman/Kalam Allah yang menjadi manusia dan lahir di Betlehem—peristiwa yang disebut “Natal.” Alkitab menerangkan bahwa Allah mengutus (“menjaminkan”) Kristus untuk mendamaikan dunia dengan Allah (2 Kor. 5:18). Dan dunia harus didamaikan dengan Allah karena manusia, yang dikuasakan Allah atas dunia, telah memilih jalan dosa sehingga mendatangkan kerusakan atas dirinya sendiri dan dunianya.

Ya, dosa manusia bukan cuma merugikan dirinya sendiri tapi juga dunianya. Di sinilah kita dapati keeratan lebih lanjut antara Earth Song dengan Natal. Dunia-rusak-akibat-dosa-manusia itulah yang menyebabkan “anak mati karena perang,” “bumi menangis,” dan “pantai meratap.” Jackson bahkan mempertanyakan lebih luas lagi: “Bagaimana dengan lautan/… Bagaimana dengan nilai alam/… Bagaimana dengan hewan-hewan/… Bagaimana dengan ikan paus yang menangis/… Bagaimana dengan jejalur hutan/… Bagaimana dengan anak-anak yang sekarat.”3

Semuanya dipertanyakan dalam kenestapaan! Sadar atau tidak, Jackson sebetulnya sedang menyuarakan gagasan Alkitab yang disuratkan Rasul Paulus demikian: “Kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin” (Rom. 8:22). Itu terjadi “karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan … oleh kehendak Dia … tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Rom. 8:20-21).

Bahasa Alkitab itu unik, dan ruang ini terlalu sempit untuk menguraikan maknanya. Tapi cukuplah dikatakan secara garis besar bahwa akibat dosa manusia, segala ciptaan/makhluk ditentukan Allah untuk mengalami kesia-siaan dan kebinasaan. Namun, Allah juga memberi pengharapan dengan menjaminkan Kristus, yang sudah datang dalam peristiwa Natal dan yang akan datang kembali di akhir zaman. Kelak, ketika Ia datang kembali, barulah Allah akan memerdekakan purna segala ciptaan/makhluk dari kesia-siaan dan kebinasaan. Kelak, ketika tawarikh bumi usai, barulah ada damai sejati.

Maka Natal selalu berbicara tentang damai untuk kini dan nanti. Kini, bumi masih harus bergelut dengan segala petaka dan sengsara, seluruh ciptaan masih harus mengeluh dan merasa sakit bersalin, nyanyian pedih-prihatin seperti Earth Song masih harus mengalun dan mengingatkan kita akan kenyataan pahit permasalahan dunia. Ini realitas yang harus kita terima dengan legawa tapi tanpa pesimisme.

Mengapa tanpa pesimisme? Karena kabar baik bahwa damai sejati suatu saat nanti akan dipusakai bumi menyemangati kita untuk giat memperjuangkan tegaknya kedamaian, keadilan, dan kebenaran dalam masa hidup kita sekarang—jadi, bukan sekadar berpasrah dan melipat tangan saja. Juang ini, meski tak pernah sempurna, menjadi kesaksian bahwa damai yang dirindukan bumi memang nyata, bukan fatamorgana atau halusinasi.

Sebagai penghuni bumi, pengikut Kristus yang sejati akan terus mengidentikkan diri dengan keluhan bumi. Natal, di pikirannya, bukan melulu bicara soal kedamaian pribadi tapi juga kedamaian dunia. Dan, dalam rahmat Allah, ia akan bergiat untuk turut menanggulangi keluhan bumi sambil menanti saat segala “aaah uuuh” dalam Earth Song berganti menjadi sorak sukacita di “langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran” (2 Ptr. 3:3).

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Teks aslinya berbunyi: “What about all the peace/That you pledge your only son/ Did you ever stop to notice/All the children dead from war/Did you ever stop to notice/This crying earth, this weeping shore/Aaaah oooh.” Teks seluruhnya bisa dilihat, misalnya, di situs Metrolyrics. <http://www.metrolyrics.com/earth-song-lyrics-michael-jackson.html>.

2 Lihat “Earth Song” dalam Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Earth_Song>.

3 Teks aslinya berbunyi: “What about the seas/What about nature’s worth/What about animals/What about crying whales/What about forest trails/What about children dying.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *