Oleh Bunga Siagian
“Kami, Gereja X [nama disamarkan], berjuang untuk keadilan, bekerja bagi kedamaian, dan menjadi perpanjangan tangan bagi mereka yang membutuhkan.” Demikianlah bunyi semboyan misi dari sebuah gereja yang saya hadiri ibadahnya beberapa waktu lalu. Membaca semboyan itu saya tertegun sekejap dan merasa “aneh.” Ini misi yang langka ditemukan di berbagai gereja/persekutuan Kristen yang pernah saya kunjungi seusia hidup! Tapi saya bersyukur karena Gereja X ingat akan peran penting Gereja: menyampaikan suara kenabian.
Suara kenabian adalah pernyataan kehendak Allah agar hal-hal yang baik dan benar ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Disebut “suara kenabian” karena di masa lalu para nabilah yang sering menyatakan kehendak Allah itu kepada masyarakat. Jelas bahwa “kehendak Allah” tidak hanya berbicara tentang hubungan kita dengan Allah, tetapi juga dengan sesama manusia.1 Oleh sebab itu, para penyampai suara kenabian tidak bisa hanya memahami ide-ide Kitab Suci, tetapi harus juga memahami geliat masyarakat.
Hari ini, kalaupun tidak hilang, suara kenabian langka digaungkan di banyak gereja dan persekutuan Kristen. Isu-isu penegakan keadilan di bidang sosial, hukum, politik, dan ekonomi jarang sekali mendapat tempat dalam khotbah-khotbah kristiani. Seolah-olah tempat semua isu itu, kalaupun diingat, hanyalah dalam doa syafaat! Sungguh langka gereja/persekutuan Kristen yang, seperti Gereja X, menjadikan perjuangan keadilan sebagai (salah satu) misinya.
Padahal fenomena-fenomena yang bertentangan dengan keadilan dan kebenaran masih banyak terjadi di sekitar kita. Masyarakat lemah masih kerap ditindas: buruh bekerja tanpa diupah, Pekerja Rumah Tangga (PRT) dianiaya bahkan dibunuh, pekerja dijerat ke dalam proses peradilan pidana lewat rekayasa fakta apabila sikap kritisnya dipandang mengancam kepentingan pengusaha/pemodal.
Penindasan terhadap kaum lemah memang menjadi masalah laten dalam setiap masyarakat—di segala abad dan tempat. Di tengah masyarakat Yehuda, sekitar abad ke-6 SM, Nabi Zakharia pun pernah menghadapi masalah yang sama. Ia bereaksi dengan menyampaikan kehendak Allah, yakni suara kenabian.
“Laksanakanlah hukum yang benar,” serunya, “dan tunjukkanlah kesetiaan dan kasih sayang kepada masing-masing. Janganlah menindas janda dan anak yatim, orang asing, dan orang miskin, dan janganlah merancangkan kejahatan dalam hatimu terhadap masing-masing” (Zak. 7:9-10).
Seruan Zakharia menunjukkan bahwa penindasan harus ditanggulangi dengan penegakan keadilan dan tindakan kasih yang nyata. Kedua hal ini, keadilan dan kasih, harus selalu seiring dan harus selalu diperjuangkan kehadirannya di tengah masyarakat.
Bercermin kepada Zakharia, saya kira sudah waktunya gereja-gereja masa kini kembali serius dengan misi suara kenabian berupa perjuangan keadilan dan kasih di tengah masyarakat. Itu dapat dimulai dengan memperkaya pemahaman jemaat tentang hak asasi manusia—berdasarkan ide-ide Alkitab—yang mencakup hak atas pendidikan, pekerjaan, keamanan (tidak disiksa), dll. Pemahaman ini harus diiringi dengan tindakan nyata seperti membiayai sekolah anak yang tidak mampu, menyediakan lapangan kerja, dsb.
Suara kenabian tidak boleh langka lagi digaungkan di banyak gereja dan persekutuan Kristen. Isu-isu penegakan keadilan di bidang sosial, hukum, politik, dan ekonomi harus mendapat tempat dalam khotbah-khotbah kristiani—bukan dalam doa syafaat belaka! Umat Kristen wajib memperlengkapi diri dengan wawasan tentang hal-hal kemasyarakatan dan berusaha sebaik-baiknya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di lapangan hidup masing-masing.
Dengan begitu, Gereja akan bersumbangsih besar kepada masyarakat. Misi yang (tadinya) langka akan menjadi misi yang lumrah/lazim bagi umat Kristen. Betapa saya rindu mendengar ikrar “kami akan berjuang untuk keadilan” tidak hanya dikumandangkan oleh Gereja X, tetapi juga oleh semua gereja/persekutuan Kristen.
.
Bunga Siagian adalah seorang pengacara publik yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Ini sesuai dengan amanat teragung dalam pengajaran Kristus: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:37-39).