Menemukan “Bunyi” Khas

Oleh S.P. Tumanggor

Tangga nada hanya beranak dua belas not, tapi rupanya itu cukup untuk membiakkan berbagai jenis musik orisinal—tradisional ataupun moderen—yang kita kenal di dunia. Saya, satu dari bermilyar penyuka musik, selalu takjub akan fakta itu dan akan kekreatifan para jenius pencetus jenis-jenis musik. Di masa kini, orang Barat secara khusus mencuar dalam kekreatifan dan keorisinalan bermusik. Sebaliknya, kita, orang Indonesia, lebih sering menjadi peniru hasil kinerja mereka, bukan peniru kinerja mereka. Ini patut disayangkan.

Keorisinalan, bagaimanapun, berfaedah untuk banyak hal. Menggagas, merintis, lalu memperjuangkan terwujudnya sesuatu yang orisinal menempa mental besi dalam dada kita. Itu memanusiakan kita, dalam arti: membuat kita mengerahkan (potensi) kemanusiaan kita. Itu mengundang takzim atau sanjungan, sebab tiruan belaka, non-orisinal, hanya akan dipandang sebelah mata atau dicibir. Dan musik moderen Barat adalah wujud keorisinalan yang mudah kita simak. Salah satu jenisnya, musik cadas alias musik rok, bisa saya ungkit sebagai bukti.

Masuk masa remaja di tahun 1980-an, saya terpapar kepada beragam genre musik rok yang diramu para pemusik Barat, khususnya grup-grup musik Barat. Saya tidak harus gemar kepada setiap mereka, setiap lagak dan lagu mereka, tapi saya harus unjuk salut untuk keorisinalan mereka. Dengan modal not-not dan alat-alat musik yang sama, mereka bisa menemukan “bunyi” berbeda dan khas yang kemudian menjadi genre-genre rok. Bahkan dalam genre rok yang sama pun mereka bisa membangun keunikan “bunyi” masing-masing.

Maka Duran-duran menemukan “bunyi” khas yang membentuk genre new wave sedang U2 menemukan “bunyi” khas yang membentuk genre post-punk. Bon Jovi membuat “bunyi” hard rock sedang Metallica membuat “bunyi” thrash metal—satu di antara sekian banyak anakan dari genre heavy metal. Keempatnya sekadar sampel dari banyak grup rok Barat yang saya saksikan berjaya secara orisinal di tahun 1980-an.

Sebelum mereka tentu saja ada Bill Haley and His Comets dengan “bunyi” rockabilly-nya, The Rolling Stones dengan “bunyi” blues rock-nya, Chicago dengan “bunyi” brass rock-nya, Jefferson Airplane dengan “bunyi” psychedelic rock-nya, Procol Harum dengan “bunyi” art rock-nya, Ramones dengan “bunyi” punk rock-nya, dll. Tiap-tiap grup mengolah “bahan” rock and roll (cikal bakal rok) untuk menemukan “bunyi” genre rok yang khas. Kreatif dan orisinal!

Melintas ke tahun 1990-an, telinga saya menangkap “bebunyian” rok baru: “bunyi” alternative rock ala Red Hot Chili Pepper, “bunyi” grunge ala Nirvana, “bunyi” britpop ala Oasis, “bunyi” pop punk ala The Offspring, “bunyi” alternative metal ala Korn, dll. Ternyata banyak “bunyi” khas yang masih bisa ditemukan!

Dan di abad ke-21 ini saya terkesima oleh “bunyi” gothic rock dari Evanescence, “bunyi” nu metal dari Linkin Park, “bunyi” post-grunge dari Switchfoot, “bunyi” indie rock dari American Authors, dll. Tak habis-habisnya “bebunyian” rok yang ditemukan oleh para pemusik Barat!

Hasrat dan gairah keorisinalan pastinya memicu segala penemuan itu. Meski mencaruk ilmu dari pemusik-pemusik terdahulu, grup-grup rok Barat yang mendunia itu berpacu dalam inovasi dan berpantang menjadi imitasi. Hal serupa mudah kita amati pula di lingkungan jenis musik moderen Barat lain, misalnya country atau rap.

Di Indonesia, musik rok sudah dikenal dan digandrungi sejak akhir tahun 1960-an—tak lama setelah kelahirannya di dunia Barat. Namun hari ini, setengah abad kemudian, dengan begitu banyak pemusik kita yang menekuninya, kita masih harus menanti temuan-temuan “bunyi” khas rok dari Indonesia. Banyak pemusik kita cenderung membebek saja kepada setiap genre rok baru dari Barat. Padahal modal dua belas not dan alat-alat musik kita sama!

Mudah-mudahan keorisinalan di ranah musik mulai diseriusi oleh bangsa Indonesia—dan di segala ranah lain juga. Kerja sama dan wawasan keorisinalan dari pemerintah, produser musik, dan pemusik sudah menjadi keharusan, demi reputasi bangsa. Dan dengan leluhur yang mampu menggubah “bebunyian” khas musik Melayu, Sunda, Jawa, Dayak, Bugis, Ambon, Papua, dll., saya kira orang Indonesia seharusnya tak sulit menemukan “bunyi” khas di kekinian.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *