Oleh S.P. Tumanggor
Satu sabda Alkitab yang amat sangat relevan bagi kemahasiswaan ialah Amsal 1:7a: “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan.” Sabda ini menggambarkan bagaimana ketakwaan dan kesalehan seharusnya menjadi titik pangkal penguasaan dan kecintaan akan ilmu. Dengan kata lain, orang yang relijius seharusnya juga bijaksana dan berwawasan luas. Terlebih lagi kalau dia mahasiswa, bakal sarjana.
Maka mahasiswa Kristen yang mendalami Alkitab mestinya menjadi orang takwa-cendekia. Atau, dari sisi sebaliknya, kegiatan Pendalaman Alkitab (PA) mestinya mengarahkan mahasiswa Kristen menjadi orang takwa-cendekia. PA harus membentuk mahasiswa jadi insan saleh yang seumur hidup suka belajar dan rendah hati karena sadar bahwa pengetahuan itu luas sekali dan segi-seginya banyak sekali. Seperti padi dalam peribahasa Indonesia, kian berisi (banyak ilmu), ia kian merunduk (rendah hati).
Kedua sikap itu jelas penting untuk membangun negeri—hal yang merupakan tugas pokok mahasiswa/sarjana. Dengan kesukaan belajar, ia akan terus menambah pengetahuan dan terbuka kepada ide-ide baru, penyempurnaan teknik, atau perbaikan teori. Dengan kerendahan hati, ia tak akan takabur memperalat pengetahuan demi pemuasan diri, tapi akan membaktikan karya bagi kemuliaan Allah, sumber segala pengetahuan, dan bagi kebaikan sesama.
Sungguh mulia dan alkitabiah bukan kegiatan PA yang menghasilkan mahasiswa/sarjana Kristen seperti itu?
Sayangnya, kegiatan PA mahasiswa terkadang tidak memiliki wawasan tentang pentingnya kedua sikap tadi sehingga gagal menempakan keduanya. Akibatnya, mahasiswa yang ber-PA malah bisa menunjukkan sikap puas belajar, bukan suka belajar, dan sikap jemawa, bukan rendah hati.
Ia bisa puas dengan ide-ide yang diperolehnya dari kegiatan PA, tanpa berusaha meluaskan pemahaman dengan membaca lebih banyak buku dan lebih banyak bagian Alkitab, baik untuk memastikan kebenaran ide-ide itu, untuk mengembangkannya, ataupun untuk melapangkan cakrawala pikiran. Ia bisa sangat sulit menerima ide-ide baru, khususnya kalau ide-ide baru itu mengoreksi ide yang sudah dipegangnya.
Ia juga bisa jemawa dengan ide-ide yang diperolehnya dari kegiatan PA, mengira diri sudah berilmu (Alkitab) tinggi lewat PA selama tiga empat tahun (yang lazimnya hanya membahas hal-hal dasar dalam kekristenan). Ia bisa mengotot dengan ide yang dipegangnya, menghakimi atau mencap sesat orang Kristen lain yang tidak seide (dalam hal-hal yang tidak bersifat prinsip), atau berlagak paling tahu tentang Alkitab.
Sikap yang demikian sudah pasti tidak memajukan pribadi, sesama, Gereja, dan bangsa. Puas belajar dan jemawa sama sekali jauh dari ideal kemahasiswaan/kesarjanaan—dan jauh dari ide-ide tentang kecendekiaan yang diungkapkan Alkitab. PA sejati, kegiatan mendalami buku suci yang menandaskan “takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan,” sekali-kali tak akan meredupkan cinta kepada ilmu, tapi akan mengobarkannya.
Maka kegiatan PA mahasiswa mestinya membukakan secara alkitabiah makna pengetahuan bagi mahasiswa Kristen serta menjelaskan hubungan antara penguasaan dan kecintaan akan pengetahuan dengan tugas dan panggilan kemahasiswaan/kesarjanaan. Dalam kegiatan PA, ide-ide harus disampaikan bukan dengan gaya “pokoknya begini” tapi dengan memungkinkan pergumulan intelektual yang selayaknya bagi mahasiswa. Dan ide-ide Alkitab tentang keberdosaan manusia, keselamatan dalam Kristus, hidup kudus sebagai ciptaan baru mesti diajarkan dan ditunjukkan kait-mengaitnya dengan ide-ide Alkitab tentang rupa-rupa bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, seni, dsb.) yang relevan dengan kemahasiswaan.
PA haruslah mengajari mahasiswa meneladani tokoh-tokoh Alkitab seperti Salomo dan Paulus bukan dari sisi kerelijiusan saja, tapi dari sisi kecendekiaan pula. Salomo gemar memperluas ilmu dengan menyimak karya-karya orang lain, termasuk orang non-Israel. Maka tulisan-tulisan Agur dan Lemuel, orang-orang Masa, bisa terhimpun dalam Kitab Amsal (pasal 30 dan 31).1 Paulus gemar memperluas ilmu dengan membaca banyak tulisan, termasuk tulisan orang non-Israel. Maka ia bisa mengutip perkataan Aratus, pujangga Yunani, Menander, dramawan Yunani, dan Epimenides, filsuf Yunani (masing-masing di Kis. 17:28; 1 Kor. 15:33; Tit. 1:12).2
Ya, Salomo dan Paulus menunjukkan bahwa “takut akan TUHAN” memang “permulaan pengetahuan.” Maka dapat disimpulkan bahwa PA yang tidak menjadikan mahasiswa Kristen saleh-bertakwa sekaligus cinta-bergairah terhadap pengetahuan adalah PA mahasiswa yang gagal—gagal memenuhi ideal kemahasiswaan/kesarjanaan dan ideal kekristenan.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Masa adalah nama suku/bangsa keturunan Ismael di Arabia (lihat Kej. 25:14).
2 Lihat Samuel Tumanggor. Tuhan Gunung atau Tuhan Alam Semesta: Wawasan Nasrani tentang Daulat Allah atas Semesta. Jakarta: Literatur Perkantas, 2011, hal. 95-96, 127-128.
Bagus sekali Bang, seolah menggali kembali konsep PA.
Kejemawaan bahkan hingga sampai pada proses berpikir yang menyempit (tetapi tidak disadari), dan ini akan sangat susah dihilangkan.
“Akibatnya, mahasiswa yang ber-PA malah bisa menunjukkan sikap puas belajar, bukan suka belajar, dan sikap jemawa, bukan rendah hati.” Ini pastinya akan dilakukan bagi org yang berpikir “telah belajar di PA” = telah dan paling mengetahui segalanya (tentang yang benar/salah) –> tidak perlu lagi belajar dari orang lain/enggan membuka diri terhadap sudut pandang lain.
Terima kasih banyak telah berbagi pemikiran 🙂
Salam,
Sandy.