Oleh Lasma Panjaitan
Di kota asal saya, Bukittinggi, banyak pemuda-pemudi sudah biasa ber-“lu-gue.” Ada juga yang menyebut orang tua dengan “nyokap-bokap” atau menggunakan kosakata lain dari bahasa gaul ala Jakarta. Padahal Bukittingi adalah kota di Sumatera Barat yang letaknya jauh dari Jakarta—dari Pulau Jawa.
Tren berbahasa gaul ala Pulau Jawa (baca: Jakarta) ini tersebar ke seluruh Indonesia dengan tunjangan tayangan (layar kaca dan layar lebar) dan tulisan. Banyak sinetron, filem, dan novel Indonesia—semua diproduksi di Pulau Jawa—menggunakan bahasa gaul ala Jakarta sebagai bahasa pengantar. Ini, bagi saya, mengisyaratkan keterpusatan Indonesia di Pulau Jawa—bahkan dalam hal bahasa sekalipun!
Alhasil bahasa gaul ala Jakarta disiarkan secara lebih gencar dan lebih populer daripada bahasa Indonesia. Di ranah umum bisa dikatakan bahwa bahasa gaul ala Pulau Jawa menggusur bahasa nasional merangkap bahasa persatuan kita.
Penggusuran ini bukanlah persoalan kecil. Dominannya bahasa gaul ala Jakarta dapat “melumpuhkan” kemampuan bangsa untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Selain itu, bangsa pun jadi memunggungi ikrar yang diucapkannya sendiri di tahun 1928: “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Ikrar 1928 itu sekarang telah dilupakan. Kita, putra dan putri Indonesia terkini, tidak lagi menjunjung bahasa Indonesia. Kita memilih menjunjung bahasa gaul ala Jakarta. Masyarakat Indonesia secara luas, khususnya yang tinggal di luar Pulau Jawa, bisa jadi bingung dan bertanya-tanya: Sebenarnya bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia atau bahasa gaul ala Pulau Jawa? Kita ini orang Indonesia atau orang Jakarta?
Selain itu, dominannya bahasa gaul ala Jakarta seolah-olah menempatkan bahasa daerah Jakarta lebih utama dari bahasa-bahasa daerah lain. Padahal bahasa Minang, bahasa Makassar, bahasa Papua, dsb. sama kedudukannya dengan bahasa daerah Jakarta. Semuanya sama-sama bahasa daerah.
Tentu kita tidak ingin kebingungan berbahasa terus terjadi. Untuk itu kita perlu mengingat baik-baik kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang penggunaannya harus diutamakan, termasuk di dunia pertelevisian dan media.
Jadi, kita perlu membenahi pertelevisian kita. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai pengantar utama siaran harus kembali digalakkan. Bukankah aturan hukum kita sendiri menyebutkan, “Bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran harus Bahasa Indonesia yang baik dan benar”?1 Tidak disebutkan bahwa “bahasa pengantar utama” adalah bahasa daerah tertentu atau bahasa gaul.
Namun, bukan berarti penggunaan bahasa daerah tidak boleh sama sekali. Bahasa Jakarta dan bahasa daerah lainnya sah-sah saja dimunculkan di televisi. Apalagi ada aturan hukum yang berbunyi, “Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam penyelenggaraan program siaran muatan lokal, dan apabila diperlukan, untuk mendukung mata acara tertentu.”2 Tetapi lagi-lagi ikrar 1928 adalah acuan kita. Kita harus memastikan bahasa daerah tidak menggeser kedudukan bahasa Indonesia.
Hal serupa perlu kita terapkan juga di dunia perfileman dan penulisan populer kita. Prinsip bahasa Indonesia sebagai pengantar utama harus jadi pakem. Bahasa gaul ala Pulau Jawa mungkin boleh-boleh saja digunakan dalam tayangan atau tulisan. Namun kita harus selalu mencamkan: kapan kita menjunjung bahasa persatuan—sesuai dengan ikrar kita—kalau mayoritas tayangan dan tulisan populer tidak memakai bahasa Indonesia?
Bahasa persatuan, bahasa Indonesia, harus kembali kita junjung dan kita masyarakatkan. Cobalah bayangkan kalau dalam suatu pertemuan pemuda seindonesia setiap orang menggunakan bahasa daerah atau bahasa pergaulannya masing-masing. Orang Ambon ber-beta–ale, orang Minang ber-denai–waang, orang Minahasa ber-kita-ngana, orang Sunda ber-abdi–anjeun, dan orang Papua ber-sa–ko. Ruwet, bukan?
Namun keruwetan terurai ketika setiap orang ber-“saya-kamu” dalam berkomunikasi—ketika setiap orang menggunakan bahasa Indonesia. Mereka tidak ber-“lu-gue” karena mereka bukan putra-putri Jakarta semua tetapi putra-putri Indonesia yang “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” bukan bahasa gaul ala Pulau Jawa.
.
Lasma adalah seorang pegiat Lembaga Bantuan Hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Pasal 37 Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
2 Pasal 38 Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.