Keterpecahan Kita: Duniawi, Bukan Rohani

Oleh S.P. Tumanggor

Salah satu ayat Alkitab yang mungkin amat dihindari untuk dikhotbahkan di gereja-gereja adalah 1 Korintus 3:4. Ditulis untuk Gereja Korintus pada pertengahan abad pertama Masehi, ayat itu menggeledekkan teguran Rasul Paulus kepada jemaat Korintus yang terpecah dalam golongan-golongan: “Jika yang seorang berkata: ‘Aku dari golongan Paulus,’ dan yang lain berkata: ‘Aku dari golongan Apolos,’ bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi yang bukan rohani?”

Bisa kita bayangkan ayat itu dihindari gereja-gereja karena dua alasan besar. Pertama, gereja-gereja (jamak) ada sebagai hasil keterpecahan Gereja (tunggal) dalam golongan-golongan/denominasi-denominasi. Mengkhotbahkan ayat itu akan seperti menggampar muka sendiri. Kedua, cap “manusia duniawi yang bukan rohani” (akibat keterpecahan) sangatlah menyengat. Setiap rohaniwan dan jemaat Kristen tentu lebih suka dicap sebagai manusia rohani yang bukan duniawi.

Tapi alangkah baiknya jika kita jujur terhadap teguran Alkitab. Sejarah keterpecahan Gereja memang lebih banyak beraroma duniawi daripada rohani. Seperti di Gereja Korintus, iri hati dan perselisihan (1 Kor. 3:3) kerap memicunya—diperkuat pula oleh sikap egois, ogah bertenggang rasa, dan hampa kerendahan hati. Fanatisme/kultus ketokohan (“golongan Paulus,” “golongan Apolos”) pun mengiringinya. Semua amat “duniawi” dan masih sangat nyata hari ini.

Paulus gusar atas keterpecahan Gereja karena ia memperjuangkan ideal keesaan Gereja. Ideal itu dicetuskan Kepala Gereja sendiri, yakni Yesus Kristus, yang telah berkata tentang para pengikut-Nya, “Bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh. 17:20-21). Pertanyaannya: apakah kita, orang Kristen (yang enggan disebut “duniawi”), memperjuangkan ideal itu juga?

Ya, demi ideal keesaan Gereja, umat Kristen sudah menggagas kegiatan antardenominasi serta perkumpulan gereja-gereja di tingkat bangsa dan dunia (walau tak pernah berhasil menghimpun segenap golongan Kristen). Semua itu mungkin baik-baik saja, tapi belum menyentuh inti masalah di balik ujaran Paulus: “Aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu” (1 Kor. 1:10).

Kegiatan antardenominasi dan perkumpulan gereja-gereja tetaplah menunjukkan “ada perpecahan” (dalam wujud denominasi-denominasi dan gereja-gereja). Artinya, semua itu belum mewujudkan hasrat Kristus “supaya mereka semua menjadi satu.” Tapi kita pun maklum bahwa melebur semua organisasi gereja/denominasi balik ke satu Gereja bukanlah pendekatan yang realistis. Keruwetan sejarah dan kehendak bebas manusia (yang diizinkan Allah untuk memilih bersatu atau terpecah) memustahilkannya.

Jika pendekatan organisasi tidak realistis, barangkali yang (paling) realistis adalah pendekatan hati. Dalam pendekatan ini kita menyadari dan mencamkan di hati apa kata Alkitab tentang keterpecahan Gereja lalu menghayati makna hakiki “Kristen” sebagai pengikut Kristus semata—atau “Kristen doang.”1 Penghayatan itu mewujudkan gagasan Gereja yang esa di hati, dan dari hati gagasan itu meluap kepada sikap dan tindakan. Ini lebih beraroma rohani daripada duniawi.

Dengan hati Kristen doang, kita akan mengutamakan pribadi Yesus Kristus, bukan tokoh-tokoh Kristen: Paulus, Apolos, Kefas, Luther, Kalvin, Wesley, dll. Kita tetap mengapresiasi tokoh-tokoh baik itu, tapi tidak mengultuskan mereka (lagi), seturut perkataan Paulus: “Janganlah ada orang yang memegahkan dirinya atas manusia, sebab segala sesuatu adalah milikmu: baik Paulus, Apolos, maupun Kefas, …. Tetapi kamu adalah milik Kristus” (1 Kor. 3:21-23).

Karena mengutamakan Kristus semata, hati Kristen doang merasa bersaudara seiman dengan setiap orang Kristen—dari latar denominasi/gereja apa pun—yang sama-sama memegang kepercayaan ortodoks alkitabiah tentang jatidiri Kristus dan bertekad tunduk kepada kewenangan Alkitab. Dengan begitu, runtuhlah sekat-sekat golongan, setidaknya dalam pikiran, dan tergalanglah kesatuan/keesaan Gereja dengan pondasi di tataran hati, bukan di tataran organisasi.

Jelas itu lebih ramah realitas. Setiap kita mungkin akan tetap berkecimpung dalam denominasi/gereja masing-masing sampai mati, tapi hati Kristen doang kita tak pernah lagi terkungkung dalam sekatnya. Kita jadi menghidupi hasrat Kristus tentang “menjadi satu” dan kompak bergiat sebagai saluran berkat bagi dunia.

Itu, sepertinya, menjadikan kita manusia rohani yang bukan duniawi.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Lihat kajian lebih lanjut tentang ide “Kristen doang” dalam Sam Tumanggor. Di Bumi Seperti di Surga #1. Bandung: satu-satu, 2015, bab 12-14.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *