Oleh S.P. Tumanggor
Dari dunia maritim, yang sangat diakrabi orang Nusantara masa silam, kita memperoleh kata-kata mutiara “sekali layar terkembang, pantang surut kembali.” Kata-kata itu mencerminkan jiwa petualang-pemberani orang Nusantara yang bertekad melapangkan pengalaman dengan mengarungi lautan dan berpantang pulang kampung sebelum menggapai sukses. Sebagian orang Nusantara bahkan berlayar, sukses berkiprah di negeri-negeri asing, dan tidak balik lagi ke negeri asal.
Para perantau Nusantara itu hebat. Sambil berdiaspora, sambil menyebar jauh dari tanah leluhur, mereka membangun peradaban di negeri-negeri yang mereka datangi. Ini teladan besar bagi kita, anak-anak Nusantara terkini, walau kita mungkin akan tetap hidup di negeri sendiri sampai akhir hayat. Di sini, di tanah air Indonesia tercinta, kita pun harus seperti mereka dalam hal percaya diri dan berbuat banyak demi membangun peradaban.
Diaspora orang Nusantara telah mewarnai, bahkan membentuk, sejarah peradaban negeri-negeri asing dalam bidang cakupan yang luas: dari agama, pemerintahan, hingga seni-budaya. Tinggal di seribu pulau, orang Nusantara tidak memandang laut sebagai pagar tapi sebagai jalan raya menuju ranah-ranah baru, tempat nasib bisa diadu dan peradaban bisa dibangun. Maka berkawal angin dan ombak, mereka melanglang buana dalam pelayaran-pelayaran gemilang.
Semilenium lalu orang Nusantara berlayar jauh ke barat, ke Madagaskar. Datang dalam beberapa gelombang, mereka memutuskan untuk menjadikan pulau besar di kaki Benua Afrika itu sebagai tanah air yang baru. Di situ mereka mendirikan kerajaan-kerajaan, antara lain Kerajaan Tsitambala (abad ke-17), Kerajaan Sakalava (abad ke-16), dan Kerajaan Merina (abad ke-15) yang pada abad ke-19 telah berhasil menguasai seluruh Madagaskar.1
Dari Sumatra, orang Nusantara berlayar ke timur laut, ke wilayah kepulauan yang kini menyusun negara Filipina. Di Pulau Cebu, Sri Lumay, bangsawan keturunan Tamil-Melayu, mendirikan Kerajaan Cebu pada abad ke-13.2 Di Pulau Jolo, Raja Baguinda, bangsawan Minangkabau, mendirikan Kesultanan Sulu pada abad ke-14 yang “berhasil menyatukan kelompok-kelompok kecil masyarakat Islam di sejumlah pulau yang berserakan di Filipina”—banyak di antaranya berasal dari Nusantara.3
Semenanjung Malaya, jiran dekat Nusantara, tentu saja tak ketinggalan disambangi. Orang Minangkabau dari Sumatra serta orang Bugis dan Makassar dari Sulawesi berlayar ke sana lalu menetap dan terlibat dalam pembangunan peradabannya. Negeri Sembilan, sekarang salah satu negara bagian Malaysia, bermula dari sembilan kampung yang didirikan orang Minangkabau pada abad ke-14. Sampai hari ini citarasa Minangkabau masih kentara di situ lewat model bangunan, masakan, dan tari-tarian.4
Orang Bugis dan Makassar yang datang ke Malaya pada abad ke-17 menyumbangkan banyak tokoh penting bagi Tanah Melayu, khususnya di bidang kenegaraan. Tak heran sembilan raja yang ada di Malaysia hari ini pada umumnya keturunan Bugis.6 Perdana-perdana menteri Malaysia seperti Najib Razak dan ayahnya yang legendaris, Tun Abdul Razak, adalah keturunan Makassar.7
Kita tak bisa tidak terpukau di depan gelora diaspora Nusantara itu. Paling tidak kita jadi sadar bahwa insan Nusantara sebetulnya bisa begitu tangguh dan berkinerja bagus dalam hal sepenting membangun peradaban. Hari ini kita tak boleh menjadi kebalikan mereka. Kemauan kita, wawasan dan penguasaan iptek kita, etos kerja kita haruslah besar, luas, dan tinggi pula, sebab peradaban luhur tak mungkin dibangun tanpa semua itu.
Biarpun tidak berdiaspora, biarpun berdiam di negeri sendiri, kita harus menghidupi mental “sekali layar terkembang, pantang surut kembali,” yakni mental yang menolak terbuai oleh rasa nyaman (sehingga kurang berjuang) lantaran tinggal di tengah kaum keluarga/bangsa sendiri dan kampung halaman/negara sendiri. Dengan mental perantau itu kita dobrak kebuntuan bahwa setelah sekian lama Indonesia merdeka, peradaban kita di berbagai bidang kehidupan masih saja jauh dari keluhuran.
Kisah diaspora orang Nusantara, sama seperti kisah dinamika sosial bangsa-bangsa lainnya, memang bukan kisah yang sempurna. Ada kebajikan dan keburukan di dalamnya, ada kegagalan dan keberhasilan. Tapi secara keseluruhan kisah mereka melecut kita dengan ilham yang khas, bahwa selaku sanak orang-orang yang berlayar membangun peradaban, kita harus malu jika tidak menjadi pembangun peradaban juga.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 “Africa’s Age of Conflict” dalam situs The African History. <http://www.theafricanhistory.com/Africa_Age_of_Conflict.html>. Kerajaan Merina kemudian dihapuskan oleh bangsa Perancis, yang menjajah Madagaskar.
2 Karl Quirino. “The Rajahnate of Cebu” dalam blog The Bulwagan Foundation. <https://thebulwaganfoundation.wordpress.com/2010/09/01/the-rajahnate-of-cebu/>.
3 “Islam Masuk ke Filipina Sebelum Kedatangan Penjajah Spanyol” dalam situs Republika. <http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/15/09/01/ntzodd313-islam-masuk-ke-filipina-sebelum-kedatangan-penjajah-spanyol>.
4 Tan Hee Hui. “Negeri Sembilan: Land of quiet grace” dalam situs Jakarta Post. <http://m.thejakartapost.com/news/2009/12/29/negeri-sembilan-land-quiet-grace.html>.
5 “Raja-raja di Malaysia Berdarah Bugis” dalam situs Antara. <http://www.antaranews.com/berita/67980/raja-raja-di-malaysia-berdarah-bugis>.
6 “PM Malaysia Masih Keturunan Raja Gowa, Sulsel” dalam situs Viva. <http://nasional.news.viva.co.id/news/read/57988-pm-malaysia-masih-keturanan-raja-gowa-sulsel>.