Berlimpah Afiat, Bukan Berlimpah Obat

Oleh S.P. Tumanggor

Satu penyakit yang sama, ketika ditangani dua dokter yang berbeda di rumah sakit yang sama, rupanya bisa mendapatkan obat yang berbeda—baik dalam hal merek dan jumlah. Itu saya alami sendiri. Dokter pertama meresepkan obat bermerek X dalam jumlah besar sehingga bersisa banyak sekali. Beberapa bulan kemudian, ketika saya terkena penyakit yang sama persis, dokter kedua meresepkan obat bermerek Y dalam jumlah separuh X sehingga bersisa sedikit. Dua-duanya berhasil menyembuhkan penyakit saya dalam waktu relatif singkat.

Obat memang senantiasa penting bagi keafiatan/kesehatan masyarakat dan bangsa. Maka sebagai yang berwenang meresepkan obat, dokter boleh dibilang memegang keafiatan bangsa di tangannya. Keahlian sebagai penyembuh seharusnya mengarahkan dokter untuk meresepkan obat terbaik—tidak mesti termurah—dalam jumlah memadai. Sialnya, ada oknum-oknum dokter yang meresepkan obat secara berlimpah atau obat yang lebih mahal dari obat sejenis atau bahkan yang tak diperlukan. Alhasil, bukannya berlimpah afiat, masyarakat jadi berlimpah obat, selain terbebani biaya obat.

Itu bisa terjadi akibat main mata antara perusahaan obat dengan oknum dokter. Main mata ini melibatkan “suap obat”: perusahaan obat memberi oknum dokter berbagai hadiah—uang, mobil, wisata, dsb.—asalkan oknum dokter meresepkan obat-obat dari perusahaan itu.

Saya pertama kali mendengar perihal tersebut dari seorang teman masa SMA yang menjadi wiraniaga perusahaan obat. Kami kebetulan berjumpa di ruang tunggu dokter di rumah sakit. Waktu itu saya hendak berobat dan dia hendak memasarkan obat kepada dokter. Lumayan panjang ceritanya tentang main mata perusahaan obat dan oknum dokter. Oknum dokter tertentu, katanya, bertanya kepadanya saat ia memasarkan obat, “Anda bisa memberi apa kepada saya?”

Selanjutnya, saya juga mendengar perihal tersebut dari media massa. Majalah TEMPO sudah dua kali menerbitkan laporan penyidikan mengenainya, mula-mula di tahun 2001 dan berikutnya di tahun 2015—dengan “hasil yang mirip pula.”1 Laporan tahun 2015 menampilkan artikel-artikel dengan judul, antara lain, “2.125 Dokter Diduga Terima Suap Obat Rp 131 M, Suap Obat” dan “Dokter Terima Mobil Yaris hingga Camry.”2

Main mata itu diakui ada oleh Zaenal Abidin, ketua pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ia berkata, “Saya tidak bisa menutup kemungkinan adanya persekongkolan itu karena MKEK [Majelis Kehormatan Etika Kedokteran] kadang-kadang menegur dokter yang melakukannya.”3 Di tahun 2007, Kartono Mohammad, mantan ketua umum IDI, menyatakan bahwa “[p]erselingkuhan produsen obat dengan dokter memang sulit dibuktikan. Namun bukan tidak bisa diraba, misalnya dari jumlah dan jenis obat yang diresepkan seorang dokter.”4

Di mata kita, masyarakat umum, sekongkol dan selingkuh itu tentulah tidak etis. Kita sudah mempercayakan keafiatan kita kepada para dokter bangsa kita dan berharap mereka akan berbuat sebaik mungkin untuk melayani kita dengan kecakapan/keilmuan yang tidak kita miliki. Oknum dokter yang main mata seperti itu jelas mengkhianati kepercayaan dan harapan kita.

Bagi kita, afiat adalah yang utama. Jika dokter, berdasarkan pertimbangan/perkiraan sebijak-bijaknya atas kondisi kita, meresepkan obat dengan harga yang lebih mahal atau jumlah yang kemudian bersisa banyak, tentu kita bisa menerima. Tapi kita sukar menerima jika bukan itu dasarnya, melainkan suap obat.

Kita sangat mendukung pemerintah, IDI, dan perusahaan obat yang menetapkan berbagai aturan atau kode etik untuk mencegah main mata antara perusahaan obat dan oknum dokter. Kita berharap agar pihak-pihak yang bersangkutan mengamalkan semua itu. Kita paham bahwa dokter dan perusahaan obat penting bagi masyarakat, bagi keafiatan bangsa. Maka kita mengimbau mereka untuk selalu berpihak kepada masyarakat/bangsa.

Itu seperti dikatakan seorang dokter senior Indonesia, “[P]enggunaan obat secara rasional sesuai dengan prinsip profesi keberpihakkan [sic] kepada masyarakat luas (altruisme). Maukah industri farmasi di Indonesia meningkatkan kemampuannya sehingga lebih mampu bersaing? Maukah kalangan kedokteran menghapus berbagai previlege [sic] yang mungkin ada selama ini sebagai efek samping persaingan pemasaran obat yang tidak sehat? Nampaknya jawabannya hanya satu yaitu: harus mau.”5

Ya, saya yakin kita semua mau berlimpah afiat, bukan berlimpah obat.

.

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 “Suap Dokter = 40% Harga Obat, Tiga Hal yang Mengejutkan” dalam situs TEMPO. <https://indonesiana.tempo.co/read/53241/2015/11/02/gendursudarsono/suap-dokter-40-harga-obat-tiga-hal-yang-mengejutkan>.

2 Kedua artikel bisa diakses di situs TEMPO, masing-masing di <https://m.tempo.co/read/news/2015/11/02/173715195/eksklusif-2-125-dokter-diduga-terima-suap-obat-rp-131-m> dan <http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/03/173715547/eksklusif-suap-obat-dokter-terima-mobil-yaris-hingga-camry>.

3 “Apa Saja Sanksi untuk Dokter Penerima Suap Obat?” dalam situs TEMPO. <http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/02/173715130/eksklusif-apa-saja-sanksi-untuk-dokter-penerima-suap-obat>.

4 Dikutip dari Muchammad Ichsan. “Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi” dalam situs Hukum Online. <http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18808/mengakhiri-kolusi-dokter-dan-perusahaan-farmasi->.

5 Samsuridjal Djauzi. “Hubungan Industri Farmasi dan Dokter” dalam blog Samsuridjal Djauzi Diary. <http://samsuridjal.wordpress.com/2007/01/25/hubungan-industri-farmasi-dan-dokter/>. Dokter Djauzi adalah guru besar di Universitas Indonesia (UI) serta pakar bidang alergi dan imunologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *