Berwisata Medis di Indonesia (Saja)

Oleh  Ivan Sihombing

Seorang yang dekat dengan saya, sebut saja Dea, bercerita tentang pengalamannya berpelesir ke Kuching, Malaysia, di awal tahun 2016. Malaysia, tuturnya kepada saya, terlihat rapi dan bersih serta warganya sangat tertib berlalu lintas. Tapi tujuan utamanya pergi ke sana bukanlah untuk menikmati indahnya negeri jiran, melainkan untuk membawa ayahnya berobat. Dea, seperti ratusan ribu wisatawan medis asal Indonesia lainnya,1 lebih memilih mencari keafiatan/kesehatan ke luar negeri.

Industri wisata medis memang berkembang pesat di dunia, khususnya lagi di Asia Tenggara—di negara-negara seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Setiap tahun orang Indonesia diperkirakan menghabiskan 11,5 milyar dolar AS untuk berwisata medis ke luar negeri, kebanyakan ke Malaysia.2 Sungguh patut disayangkan bahwa Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara, malah menjadi penyumbang pasien belaka alih-alih menjadi tujuan wisata kesehatan.

Tentulah terdapat beragam alasan orang Indonesia pergi ke luar negeri demi tubuh yang afiat. Bagi Dea, yang tinggal di Kalimantan Barat, kondisi fisik sang ayah tidak memungkinkan beliau dibawa ke Jakarta dengan pesawat terbang, sehingga jalur darat ke Kuching menjadi pilihan terbaik. Bagi yang lain, keramahan dokter atau kelengkapan fasilitas mungkin membuat jasa medis negeri tetangga lebih terpercaya.

Gencarnya promosi agen-agen penyedia jasa wisata medis juga tentu menarik para calon pasien. Di berbagai kota Indonesia mereka makin sering hadir belakangan ini untuk menawarkan kemudahan dan kenyamanan berwisata medis. Calon wisatawan tinggal membayar dan berfokus kepada penyembuhan penyakitnya saja. Segala proses, dari kepergian hingga kepulangan, sudah diatur.

Hal itu tentulah semakin mendorong orang Indonesia, terutama yang mampu, untuk memilih wisata medis di luar negeri dibandingkan menggunakan sistem pelayanan keafiatan di negeri sendiri. Akibatnya, dana para pasien yang mampu, yang seharusnya dapat dipakai untuk meningkatkan fasilitas dan pelayanan kesehatan di Indonesia, lari ke luar negeri. Hal ini memperberat beban pemerintah dalam menyediakan jaminan keafiatan bagi masyarakat miskin.

Masalah wisata medis dan lebih percayanya orang Indonesia kepada dokter dan rumah sakit luar negeri memberikan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah Indonesia dan juga bagi saya dan rekan-rekan sesama dokter di Indonesia. Saya kira beberapa hal penting perlu dilakukan sehubungan dengannya.

Mula-mula, pemerintah harus menyediakan fasilitas kesehatan bermutu yang merupakan hak warga negara. Indonesia perlu lebih banyak rumah sakit bertaraf internasional, selain 20 rumah sakit internasional yang sudah lebih dahulu tersedia,3 sehingga pasien tidak perlu jauh-jauh mengejar afiat ke luar negeri. Rumah-rumah sakit semacam itu tentu dapat pula menarik minat bangsa lain berwisata medis di Indonesia.

Selanjutnya, kemudahan mengakses fasilitas kesehatan harus dipastikan sehingga semua pasien dari Sabang hingga Merauke, bahkan dari mancanegara, mudah mendapat informasi mengenainya ataupun mencapainya. Bagi rakyat Indonesia, jaminan layanan medis bermutu harus diatur sedemikian rupa agar tidak terbatas pada mereka yang berkantong tebal saja.

Seiring dengan semua itu, para dokter Indonesia harus terus belajar dan memperbaharui ilmu agar tidak ketinggalan jaman dan semakin dipercaya di negeri sendiri. Alhasil, selain cakap mengemban tugas penting mengafiatkan bangsa, para dokter Indonesia pun akan cakap menarik minat bangsa sendiri—bahkan bangsa-bangsa lain—untuk berwisata medis di Indonesia saja.

Pada akhirnya, kalau kita harus pergi jauh-jauh ke luar negeri, biarlah itu untuk berpelesir ke objek-objek wisatanya saja. Tidak perlulah kita sampai harus menginap di rumah sakitnya. Cukup nikmati pemandangan dan masakannya saja, meski saya yakin bahwa pemandangan dan makanan di Kepulauan Indonesia yang luas ini tidak pernah kalah bagus atau enak dari negeri manapun.

.

Ivan Sihombing adalah seorang dokter yang bermukim di Pontianak, Kalimantan Barat.

.

Catatan

1 Logan Connor. “Region’s medical tourism boom fuelled by Southeast Asians” dalam situs Focus ASEAN.  <http://sea-globe.com/southeast-asians-drive-medical-tourism/>.

2 Lihat Stephen Lock. “Medical Tourism in Southeast Asia: Indonesia’s Opportunity Cost” dalam situs Edelman.<http://www.edelman.id/medical-tourism-in-southeast-asia-indonesias-opportunity-cost/>.

3 Daftar ke-20 rumah sakit itu dapat dilihat, antara lain, dalam “Medical Tourism: 20 Rumah Sakit Ini Raih Akreditasi Internasional” dalam situs Bisnis. <http://industri.bisnis.com/read/20150427/12/427079/medical-tourism-20-rumah-sakit-ini-raih-akreditasi-internasional>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *