“Pohon Inovasi” Pengafiat Bangsa

Oleh Herdiana Situmorang

Kalau saya pikir-pikir, profesi dokter—seperti yang saya sandang—bisa diibaratkan dengan pohon. Keahlian dokter dalam mengenali, mencegah, dan mengobati penyakit adalah bak buah baik yang dihasilkan pohon. Begitu juga, yang mungkin lebih jarang dibicarakan, inovasi dokter. Keduanya merupakan modal penting para dokter untuk mengafiatkan/menyehatkan masyarakat, bangsa, dan dunia.

Sudah seharusnya dokter menjadi “pohon inovasi” di bidang gelutannya. Sejarah dunia mencatat sejumlah dokter yang inovasinya berfaedah besar hingga kini, misalnya Edward Jenner yang menemukan vaksin cacar air, Joseph Lister yang memperkenalkan penggunaan antiseptik, dan Shinobu Ishihara yang membuat alat uji buta warna.1 Sayangnya, inovasi kedokteran jarang muncul dari kalangan dokter Indonesia. Padahal itu sangat penting untuk menunjang keafiatan bangsa. Jadi, kalangan dokter Indonesia harus memacu kencang-kencang kinerja inovasi kedokteran.

Sebagai pohon inovasi, “akar” dokter harus menghunjam di tanah sedalam-dalamnya untuk mendapatkan air dan unsur hara. Artinya, dokter harus mampu menyerap berbagai ide/ilham dari bidangnya untuk dijadikan bahan penelitian inovatif. Saya lihat Indonesia kita ini kaya akan jenis kasus penyakit tropis dan keunikan perilaku yang mempengaruhi keafiatan masyarakat (misalnya mencari pengobatan alternatif atau tinggal beramai-ramai dalam satu rumah yang padat). Semuanya dapat menjadi sumber ide/ilham inovasi bagi para dokter Indonesia.

Selanjutnya, “daun” dokter harus menampung air dan unsur hara untuk melangsungkan fotosintesis (bersama karbondioksida dan cahaya matahari) sehingga energi dan oksigen dihasilkan. Artinya, dokter harus mampu memproses setiap ide/ilham segar yang ditangkapnya lewat penelitian yang serius, kreatif, dan sistematis untuk menghasilkan inovasi yang berguna. Di masa lalu, J.B. Sitanala—dokter Indonesia—mengolah ide/ilham dari kasus-kasus kusta di Indonesia dan membuat metode pengobatan kusta yang sama sekali berbeda dari kebanyakan praktik di dunia.2

Jelaslah bahwa inovasi metode ataupun barang berkaitan erat dengan penelitian. Dokter Indonesia harus suka meneliti dan suka menyiarkan hasil penelitiannya di majalah/jurnal kedokteran supaya dapat memberi ide/ilham kepada banyak orang, bahkan mengubah perilaku lama yang tidak afiat. Satu contoh dekat yang baik ditiru adalah dokter-dokter Singapura. Mereka rajin meneliti dan menyiarkan penelitiannya, seperti teknologi baru pendeteksi penyakit glaukoma, temuan gen penekan kangker ginjal, dan protokol pengobatan kangker kelenjar getah bening.3 Mereka menjadi mashur sebagai pohon inovasi.

Di dunia kedokteran Indonesia masa kini, pohon-pohon inovasi masih ada—meski tumbuhnya mungkin sporadis. Sebagai contoh, seorang dokter kandungan bersama tim bidan/perawat di Malang berhasil membuat bra perangsang hormon oksitosin yang dapat memperlancar kelahiran bayi.4 Ada pula dokter gigi di Yogyakarta yang menemukan cangkokan tulang yang identik dengan tulang manusia dan mempercepat pertumbuhan tulang.5 Pohon-pohon inovasi ini sungguh layak diacungi jempol!

Namun, seperti layaknya setiap pohon, pohon inovasi juga dapat gagal berbuah lantaran terserang “hama” berupa keengganan meneliti, kurangnya pendampingan oleh peneliti profesional, rendahnya teknologi pendukung penelitian, dan minimnya dana penelitian yang disediakan pemerintah.6 Semua hama ini nyata di Indonesia dan perlu diberantas supaya dokter-dokter kita, selaku pohon inovasi, lebih berdaya guna dalam mengafiatkan bangsa.

Untuk itu pemerintah kita perlu memastikan adanya dana penelitian kesehatan yang memadai, kemudahan akses terhadap penelitian, pendampingan oleh tenaga peneliti profesional, penghargaan hasil inovasi, dan perlindungan hak paten. Para dokter kita harus menggalakkan minat untuk meneliti. Fakultas-fakultas kedokteran kita perlu mendukung minat itu lewat, misalnya, penyelenggaraan pelatihan penelitian kedokteran atau kerja sama dengan fakultas kedokteran negara lain. Semua ini akan merawat pohon inovasi sehingga berbuah sedap bagi keafiatan bangsa.

Saya rindu melihat dokter-dokter Indonesia menjadi pohon inovasi yang tumbuh banyak-banyak di halaman Ibu Pertiwi. Melalui penelitian yang inovatif, buah mereka akan mengafiatkan khalayak ramai. Itulah “panen raya” yang dinantikan oleh bangsa Indonesia.

.

Herdiana Situmorang adalah seorang dokter yang bermukim di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Lihat, misalnya, Stefan Riedel. “Edward Jenner and The History of Smallpox and Vaccination” dalam situs National Institute of Health. <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1200696>; “Joseph Lister: Father of Modern Surgery” dalam situs  National Institute of Health. <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles/PMC346837>; “Color Blindness Test by Dr Shinobu Ishihara” dalam situs Colblindor. <http://www.color-blindness.com/2006/03/15/color-blindness-test-by-dr-shinobu-ishihara>.

2 Dua puluh empat tahun setelah metode pengobatan kusta J.B. Sitanala diperkenalkan, WHO dan UNICEF mengeluarkan protokol pengobatan kusta yang mirip dengannya. Lihat J.A.R. Miles. Public Health Progress in the Pacific: Geographical Background and Regional Development. Helmstedt: Geowissenschaftliche Gesellschaft, 1984, hal. 14-15.

3 Lihat “New Technologies to Detect Glaucoma” dalam situs The Straits Times <http://www.straitstimes.com/singapore/new-technologies-to-detect-glaucoma>; “Ahli Onkologi NCCS Memenangkan Penghargaan ASCO yang Bergengsi untuk Kedua Kalinya” dalam situs SingHealth <https://www.singhealth.com.sg/PatientCare/Overseas-Referral/bh/AboutUs/MediaReleases/Pages/20060614_NCCS.aspx>; Daryl Tan dkk. “Management of B- Cell Non-Hodgkin Lymphoma in Asia: Resource-Stratified Guidelines” dalam jurnal Lancet Oncology Vol. 14, No. 12, November 2013, hal. e548.

4 “Stiputs Bra untuk Perlancar Kelahiran Bayi” dalam harian Kompas terbitan 13.06.2016.

5 “11 Tahun Riset, Dosen UGM Temukan Tulang Buatan untuk Gigi” dalam situs Liputan 6. <http://tekno.liputan6.com/read/2524030/11-tahun-riset-dosen-ugm-temukan-tulang-buatan-untuk-gigi>.

6 “Indonesia Minim Anggaran Penelitian Kesehatan” dalam situs Berita Satu. <http://m.beritasatu.com/kesehatan/17772-indonesia-minim-anggaran-penelitian-kesehatan.html>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *