Salam sejahtera di bulan sepuluh 2016, Sidang Pembaca!
Sejak diikrarkan sebagai bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda 1928, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa kebangsaan kita selama hampir sembilan dasawarsa. Kedudukannya sebagai bahasa nasional teguh hingga saat ini (walau bukan tanpa gangguan dan tantangan), dan bahasa Indonesia tetap selaras dengan bahasa-bahasa asli lain di Nusantara—seperti yang diniatkan dari semula oleh para peletak dasar keindonesiaan.
Kedudukan itu istimewa di lintasan sejarah, sebab di negeri-negeri lain ada bahasa persatuan yang ditegakkan dengan cara memberedel bahasa-bahasa setempat lain. Kisah pemberedelan itu menjadi sorotan khusus Komunitas Ubi (Kombi) dalam peringatan Sumpah Pemuda kali ini. Lima peladang menceritakannya dalam lima tulisan sembari menghubungkannya dengan komitmen kita untuk “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Bahasa nasional bisa menjadi seperti cat tembok atau lukisan. Ia bisa menutupi semua bahasa lain bagai warna cat tembok menutupi warna-warna lain di bawahnya atau ia bisa diperkaya oleh beragam warna bagai lukisan terindah. Victor Samuel mengulas perbandingan itu sambil menuturkan kisah pemberedelan bahasa Amazigh di Libia.
Sekolah memiliki tugas penting dalam pelestarian bahasa nasional. Bukan hanya memastikan pelajar “bisa” berbicara dan menulis dalam bahasa nasional, sekolah juga harus memastikan pelajar mampu melakukannya dengan baik dan benar. Hotgantina Sinaga mengungkapkan tugas sekolah itu sambil menuturkan kisah pemberedelan bahasa Wels di Britania.
Pejabat negara patut menjadi suri teladan dalam menggunakan bahasa nasional. Mereka harus mengilhami rakyat, yang mereka pimpin, untuk berani berbahasa nasional lantaran bangga akan jatidiri nasional mereka. Efraim Sitinjak membahas keteladan itu sambil menuturkan kisah pemberedelan bahasa Kurdi di Turki.
Gereja perlu berperan aktif dalam melestarikan bahasa nasional. Ini tidak terlepas dari pesan Alkitab, buku pedoman Gereja, tentang keragaman budaya dan bahasa yang memang diniatkan Sang Pencipta. S.P. Tumanggor mengemukakan peran Gereja itu sambil menuturkan kisah pemberedelan bahasa-bahasa Indian di Amerika Utara.
Hidup mati bahasa nasional dapat menentukan hidup mati bangsa. Jika bahasa nasional dimatikan, maka jatidiri dan budaya (tradisi, memori, cara berpikir dan berekspresi) bangsa pun dapat ikut mati bersamanya. Bunga Siagian mengupas soal hidup mati itu sambil menuturkan kisah pemberedelan bahasa Bask di Spanyol.
Satu hal yang menonjol pula dalam tulisan kelima peladang adalah sikap abai orang Indonesia terhadap bahasa nasionalnya sendiri. Ini mengenaskan. Bukan anasir luar tapi anasir dalamlah—kita sendiri—yang menggganggu kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan. Jadi, karena bahasa Indonesia sudah diikrarkan bangsa kita sebagai bahasa persatuan, mari kita membaharui komitmen untuk serius “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Selamat ber-Ubi.
Penyunting Kombi