Bahasa Persatuan: Lukisan atau Cat Tembok?

Oleh Victor Samuel

Negara-negara di dunia memiliki bahasa persatuan. Tetapi cara bahasa persatuan itu diterapkan dalam kehidupan berbangsa bisa seperti lukisan atau seperti cat tembok. Kita bisa melihat contohnya dalam kasus Negara Indonesia—negara kita—dan Negara Libya.

Pada tahun 1969, Muammar Gaddafi menumbangkan monarki Libya dan menetapkan dalam konstitusi negara: “Bahasa Arab adalah bahasa resmi [Libya].”1 Beberapa tahun kemudian ia memaklumkan Revolusi Budaya lalu menerbitkan al-Kitāb al-Aḫḍar (“Buku Hijau”) yang berisi, antara lain, agenda pengaraban Libya. Dalam rangka itu, ia memberangus bahasa orang Amazigh atau Berber, penduduk asli yang telah hidup ribuan tahun di Libya sebelum orang Arab datang dan menjadi penduduk dominan.3

Di Indonesia, kita mendapati kebalikannya. Konstitusi negara kita menetapkan “Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia” tetapi juga “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.”4 Ini melanjutkan semangat kaum muda di tahun 1928 yang mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tanpa menindas bahasa suku manapun.

Dalam kasus Libya, bahasa persatuan bagaikan cat tembok yang dikenakan di sekujur bangunan negara. Dalam kasus Indonesia, bahasa persatuan bagaikan lukisan yang dipajang demi keindahan bangunan negara. Keduanya bertolak belakang dalam beberapa hal.

Pertama, bahasa persatuan model cat tembok dipaksakan, sedangkan bahasa persatuan model lukisan diusung secara sukarela. Cat tembok biasanya diharuskan ada oleh pendiri bangunan, sedangkan lukisan biasanya dihadirkan tanpa paksaan untuk mempercantik bangunan.

Gaddafi menyiksa bahkan membunuh pendukung budaya Amazigh untuk memaksakan revolusi budayanya. Sebaliknya, Sumpah Pemuda memusyawarahkan dan menyepakati penggunaan Bahasa Indonesia secara sukarela. Semangat sukarela ini berkobar sampai negara Indonesia berdiri dan terus berlanjut hingga kini.

Tanpa paksaan, bahasa Indonesia justru diterima dan dipakai orang dari segala suku di negeri kita. Maukah kita, orang Indonesia masa kini, melanjutkan kesukarelaan hebat itu dalam menggunakan bahasa Indonesia?

Kedua, bahasa persatuan model cat tembok menghapuskan bahasa lain, tetapi bahasa persatuan model lukisan menghargai bahasa lain. Cat tembok umumnya berwarna tunggal dan meniadakan warna apa pun yang ada sebelumnya pada dinding. Sebaliknya, lukisan dihidupkan dan diperkaya oleh warna-warni goresan cat yang terkecil sekalipun.

Gaddafi menumpas segala bentuk pelestarian bahasa Amazigh. Literatur berbahasa Amazigh dimusnahkan. Orang tua Amazigh bahkan dilarang menamai anaknya dengan nama khas Amazigh.5 Sebaliknya, Sumpah Pemuda secara tersirat mengakui adanya banyak bahasa di Indonesia. Dan setiap bahasa itu, yang tersedikit penuturnya sekalipun, berharga. Sebab itulah ikrar ketiga Sumpah Pemuda bukan berbunyi “berbahasa satu, bahasa Indonesia,” melainkan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Keterbukaan itu berlanjut: negara justru mengurikulumkan pelajaran bahasa daerah. Masyarakat dibebaskan, bahkan didorong, untuk berekspresi dengan bahasa daerah. Belum kagumkah kita dengan “kebesaran hati” bahasa Indonesia?

Ketiga, bahasa persatuan model cat tembok besar kemungkinan bertahan sementara, tetapi bahasa persatuan model lukisan besar kemungkinan bertahan lama. Sebersih apa pun kita mengecat tembok, lambat laun ia akan kotor sehingga perlu dicat lagi. Sebaliknya, makin berumur lukisan yang agung, makin tinggi nilainya!

Revolusi budaya Gaddafi akhirnya tamat seiring kekuasaannya tumbang pada tahun 2011. Suku Amazigh berperan penting dalam penggulingan rezim sang diktator. Muncul pulalah gerakan untuk membangkitkan kembali bahasa Amazigh.6 Sebaliknya, bahasa Indonesia tetap lestari sebagai bahasa persatuan dan “rukun” dengan bahasa-bahasa daerah karena dijunjung dengan niat agung yang mengedepankan kesukarelaan dan keterbukaan, bukan keterpaksaan dan keseragaman sempit. Bukankah kelestarian yang mahal ini sudah sepantasnya kita rayakan?

Sederet keagungan bahasa Indonesia tersebut seharusnya membuat kita makin mencintainya dan membanggakannya lebih dari bahasa asing. Sekolah-sekolah janganlah hanya menggalakkan “English Day” tetapi giatkanlah juga “Hari Hanya Berbahasa Indonesia.” Pemimpin-pemimpin instansi dan perusahaan seharusnya memberi teladan dalam pengutamaan bahasa Indonesia. Media cetak dan elektronik seharusnya mencontohkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik-benar sekaligus luwes-menarik.

Berbanggalah kita, bangsa Indonesia, sebab Sumpah Pemuda telah mewariskan kepada kita bahasa Indonesia—sebuah lukisan agung yang bernilai tinggi, bukan cat tembok!

.

Victor Samuel adalah seorang insinyur di bidang energi yang bermukim di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Berber Nesmenser. “Berberism” dalam situs Temehu. <https://www.temehu.com/imazighen/berberism.htm>.

2 Edwin Lane. “After Gaddafi, Libya’s Amazigh demand recognition” dalam situs BBC. <http://www.bbc.com/news/world-africa-16289543>.

3 Ishra Solieman. “Denied Existence: Libyan-Berbers under Gaddafi and hope for the current revolution” dalam situs Muftah. <http://muftah.org/denied-existence-libyan-berbers-under-gaddafi-and-hope-for-the-current-revolution/#.V766Hfl97IU>.

4 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36 dan Pasal 32 ayat 2 pada Perubahan Keempat.

5 Edwin Lane, “After Gaddafi, Libya’s Amazigh demand recognition.”

6 Karlos Zurutuza. “The Amazigh of Libya revive their previously banned language” dalam situs Middle East Eye. <http://www.middleeasteye.net/in-depth/features/amazigh-libya-revive-their-previously-banned-language-1206307999>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *