Oleh Victor Sihombing
Rumah punya makna penting bagi kita. Sejauh apa pun langkah kaki kita meninggalkannya, selalu terlintas kerinduan untuk pulang kepadanya. Di dalam rumahlah kita hidup apa adanya dan menjadi diri kita sendiri. Rumah adalah tempat kita menemukan jatidiri kita.
Bagi umat Kristen, gereja—baik dalam pengertian tempat ibadah maupun kumpulan orang Kristen (“Tubuh Kristus”)—adalah rumah. Di rumah itu kehangatan perjumpaan dengan Tuhan dan saudara-saudara seiman selalu dirindukan. Di rumah itu pulalah kita, orang Kristen Nusantara, semestinya bisa berbangga menjadi diri sendiri di dalam Kristus. Maka gereja seharusnya menjadi tempat hidup dan berkembangnya kekristenan bercorak Nusantara.
Kekristenan bercorak Nusantara itu bisa ditampilkan dalam bangunan gereja. Satu contohnya adalah gereja Katolik yang bernama Gereja Hati Kudus Yesus di Dusun Palasari, Kabupaten Jembrana, Bali. Gereja yang didirikan pada tahun 1956 ini menggunakan arsitektur khas Bali. Pintu masuknya berbentuk Gapura Candi Bentar dan pelatarannya sangat luas. Atapnya bertingkat-tingkat mengikuti pola Meru dan ornamen Bali menghiasi sekujur bangunannya, berpadu manis dengan lambang-lambang kristiani.1
Mengagumkan! Budaya Bali bisa berdiri selaras dengan kekristenan. Tentulah Gereja Hati Kudus Yesus menjadi rumah yang nyaman untuk umat Kristen Bali. Bruder Ign. AMD Vrieze, SVD, rohaniwan berkebangsaan Belanda yang merancangnya, mengerti bahwa Tuhan tidak antikebudayaan. Toh Tuhanlah yang memberi manusia daya pikir, sehingga manusia dapat menciptakan kebudayaan. Tuhan pasti menghargai bila produk-produk budaya setempat digunakan untuk menolong manusia lebih mengerti dan menghayati hubungannya dengan Tuhan.
Alkitab juga punya contoh-contoh tentang penggunaan produk-produk budaya setempat secara serupa. Ketika Tuhan mengadakan perjanjian dengan Abraham (Kej. 15:7-21, namanya masih Abram saat itu), perapian dan suluh yang melambangkan hadirat-Nya bergerak melewati jajaran daging hewan yang telah dipotong dua oleh Abraham. Ini adalah tata cara meneguhkan perjanjian ala bangsa Kasdim yang tidak asing lagi bagi Abraham.2 Saat melakukannya, selaku orang Kasdim ia pasti merasa seperti “sedang berada di rumah sendiri.”
Puluhan tahun kemudian, untuk mengokohkan perjanjian itu, Tuhan menyuruh agar Abraham dan keturunannya disunat (Kej. 17). Ritual ini, yang telah dikenal pula oleh bangsa-bangsa lain di Asia Barat, dipakai Tuhan dengan makna baru: menandai keterikatan dalam perjanjian dengan-Nya.3 Jadi, sejak ribuan tahun lalu, umat Tuhan telah menggunakan produk budaya setempat sebagai bagian dari penghayatan iman. Agama pun menjadi rumah bagi kebudayaan.
Di Indonesia, kebudayaan Nusantara seharusnya mendapatkan rumah tempat bernaung di dalam gereja. Sayangnya, itu nyaris tidak terjadi. Pemanfaatan budaya Nusantara seperti pada Gereja Hati Kudus Yesus adalah jarang. Kebanyakan gereja kita rupanya lebih suka menjadi rumah bagi kebudayaan asing, khususnya Barat. Banyaknya gedung gereja yang bergaya Eropa dan liturginya yang ala Barat bersaksi kuat tentang hal ini.
Sepatutnya gereja di Indonesia membiasakan diri menggunakan budaya Nusantara untuk menghayati iman Kristen. Lihatlah Dusun Palasari saat Natal tiba. Di sana kemeriahan Natal ditandai dengan kesibukan umat Kristen bergotong royong mendirikan penjor. Kaum pria menghadiri misa Natal dengan mengenakan udeng dan kamen, sedangkan kaum wanita datang dengan kebaya dan lilitan selendang di pinggang.4 Ah, indahnya kekristenan bila di daerah-daerah lain di Indonesia ditemukan pula hal-hal seperti ini. Kita akan sangat merasa “sedang berada di rumah sendiri.”
Mari kita jadikan gereja sebagai rumah bagi kekristenan Nusantara. Keberadaan Gereja Hati Kudus Yesus sebagai rumah bagi kekristenan Bali seharusnya mengilhami kita. Sambil tetap mewaspadai bahaya sinkretisme yang malah merusak gereja, mari kita upayakan agar produk-produk budaya Nusantara yang selaras dengan kekristenan mendapat tempat bernaung di gereja. Kita ingin melihat kekristenan yang elok dengan warna-warni ragam kebudayaan Nusantara!
Tepatlah kalimat dari seorang penulis Kristen ini: “Bukankah tak pantas kita berujar bahwa agama kita mengajarkan Allah cinta segala bangsa jika ternyata dibabatnya, bukan dirawatnya, keunikan bangsa-bangsa?”5 Jika kita memang mencintai bangsa kita, jati diri kita, maka kita akan merawat keunikannya dan memastikannya menyemarakkan gereja. Ke rumah itulah langkah kita akan selalu merindu pulang.
.
Victor Sihombing adalah seorang karyawan perusahaan konstruksi fasilitas industri yang bermukim di Depok, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Lihat “Gereja dan Rancangannya” dalam blog Gereja Katolik Palasari Bali. <https://gerejapalasari.wordpress.com/rancangan-gerej/>.
2 C.F. Keil dan F.Delitzsch. Biblical Commentary on The Old Testament, Volume 1, The Pentateuch/terjemahan Inggris oleh James Martin, Edinburgh: T&T Clark, 1866, hal. 214.
3 John H. Walton, Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas. The IVP Bible Background Commentary: Old Testament. Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2000, hal. 29-50.
4 “Melongok Natal berbalut nuansa Hindu” dalam situs Antaranews. <http://www.antaranews.com/berita/411386/melongok-natal-berbalut-nuansa-hindu>. Penjor adalah tiang bambu panjang yang dihias dari pangkal sampai ujung. Udeng adalah kain ikat kepala pria. Kamen adalah kain (bawahan) khas Bali.
5 Samuel Tumanggor. Tuhan Gunung atau Tuhan Alam Semesta?: Wawasan Nasrani tentang Daulat Allah atas Semesta. Jakarta: Literatur Perkantas, 2011, hal. 139.