Idealis dan Berani Seperti Toyota

Oleh Stefani Krista

Toyota Rush. Itulah mobil yang saya tunggu setelah memesan taksi lewat sebuah aplikasi daring. Ini bukan pertama kali saya menjumpai taksi daring bermerek Toyota. Sebelumnya saya telah beberapa kali menaiki taksi daring Toyota Prius dan Toyota Avanza.1 Memang mudah dimaklumi mengapa mobil Toyota banyak digunakan orang Indonesia. Kita sudah percaya kepada merek dagang Jepang yang pertama-tama memasukkan mobil ke Indonesia itu.2

Keberhasilan Toyota merebut hati orang Indonesia—dan hati orang-orang lain di berbagai belahan dunia—tak lepas dari kisah Kiichiro Toyoda, perintis merek dagang itu. Sebagai anak dari pengusaha mesin tenun terkenal di Jepang, ia tak hidup berleha-leha. Idealisme mencipta mesin otomotif dan keberanian merintis usaha di bidang yang masih baru di Jepang saat itu menjadikan nama Toyota (lafal lain dari Toyoda) besar hingga kini. Dua sifat tersebut—idealis dan berani—sungguh patut kita tiru dalam merintis apa pun.

Kiichiro Toyoda lahir pada tahun 1894 di Aichi, Jepang. Untuk mengembangkan perusahaan ayahnya, ia mengambil jurusan teknik mesin di Universitas Tokyo. Setelah lulus, ia pergi ke Inggris dan bekerja di Platt Brothers and Company, perusahaan mesin tenun terkemuka. Ia juga sempat mempelajari teknik-teknik manufaktur di AS sebelum kembali ke Jepang.3

Di kisaran tahun 1920-1930-an, mobil-mobil AS dengan merek seperti Ford dan GM mulai masuk Jepang. Mendapati hal itu, muncullah idealisme dalam angan Toyoda yang baru pulang dari Eropa dan AS. Ia ingin Jepang membuat mobil sendiri. Maka, dengan ditunjang latar belakang pendidikan dan pengalaman kerjanya, ia pun mulai merintis usaha otomotif dan gigih menghadapi berbagai tantangan terhadap idealismenya. Alhasil mobil Toyopet Crown RS yang dirilisnya pada tahun 1955 menjadi mobil pertama yang benar-benar diproduksi di Jepang.4

Orang Indonesia patut meniru idealisme Toyoda. Kita harus mengidealkan hal baik yang belum ada atau belum berjalan baik. Sebagai contoh, saya bisa saja mengidealkan adanya produk makanan instan tanpa bahan pengawet berbahaya. Menindaklanjuti idealisme itu, saya harus bergerak merintis dengan melakukan riset dan mencoba mengerjakannya sampai hasil dicapai. Begitulah patut kita lakukan dalam merintis usaha, karir, atau karya apa pun.

Bukan hanya idealis, Toyoda juga berani. Seperti sudah saya singgung di atas, ia berani merintis usaha di bidang otomotif yang masih baru di Jepang saat itu. Keputusan tersebut tentu saja berisiko, karena tantangannya adalah bersaing dengan produk otomotif asing yang sudah menguasai pasar Jepang.5 Tetapi ia sigap membongkar mobil-mobil buatan AS untuk mempelajarinya—sampai berhasil membuat mobil dengan mesin lebih kecil.6

Orang Indonesia patut pula meniru keberanian Toyoda. Kita harus berani mencoba, berani melangkah, dan berani menghadapi tantangan dalam perintisan usaha, karir, atau karya. Sebagai contoh, jika saya hendak merintis karir di bidang industri farmasi, saya harus berani menjajal tes di perusahaan-perusahaan besar, meskipun kemungkinan lulusnya kecil. Kita harus berani mengambil risiko (dengan perhitungan matang), bukan hanya berdiam diri atau berleha-leha saja.

Pada tahun 1936, nama “Toyoda” sebagai merek diganti dengan “Toyota.” Ini dilakukan karena “Toyota” lebih mudah dituliskan dalam huruf Jepang (katakana), hanya dengan delapan sapuan kuas (dibanding sepuluh untuk “Toyoda”). Selain itu, “Toyota” menandai beranjaknya Jepang dari masyarakat bertani kepada masyarakat industri sebab dalam bahasa Jepang “Toyoda” berarti “sawah subur”.7

Kiichiro Toyoda wafat pada tahun 1952, namun perusahaan Toyota terus berkembang hingga kini dan diapresiasi di seluruh dunia. Di Indonesia, itu bisa dilihat dari lima penghargaan yang diraihnya dalam ajang Autobuild Indonesia Award 2016—salah satunya dalam kategori Kendaraan Multiguna Amat Mewah Terbaik untuk Toyota Alphard.9

Betapa Indonesia membutuhkan para perintis usaha, karir, dan karya yang idealis dan berani seperti Toyoda! Mereka bak angin segar bagi bangsa kita yang mendamba pembaharuan di berbagai bidang. Maka tak salah rasanya jika saya berkhayal bahwa di masa mendatang kita bisa menjumpai dan menaiki taksi daring bermerek Simanungkalit, Sudarmaji, Waruwu, atau nama khas Indonesia lainnya. Mari merintis!

.

Stefani Krista adalah seorang karyawati perusahaan ritel yang bermukim di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Donny Apriliananda. “Toyota Meraba Untung dari Taksi ‘Online’” dalam situs Kompas. <http://otomotif.kompas.com/read/2016/12/20/190300815/toyota.meraba.untung.dari.taksi.online>.

2 R. Adhi Kusumaputra. “Sejarah Mobil dan Kisah Kehadiran Mobil di Negeri ini” dalam situs Kompas. <http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/07/11/11372133/Sejarah.Mobil.dan.Kisah.Kehadiran.Mobil.di.Negeri.Ini>.

3 “Kiichiro Toyoda” dalam situs NNDB. <http://www.nndb.com/people/433/000173911/>.

4 Dadan Kuswaraharja. “Kisah Awal Berdirinya Toyota” dalam situs Detik. <http://oto.detik.com/read/2011/12/02/143555/1781184/1207/kisah-awal-berdirinya-toyota>.

5 “What’s an Automobile Industry Without A Passenger Car?” dalam situs Toyota Global. <http://www.toyota-global.com/company/toyota_traditions/company/may_jun_2003.html>.

6 “Toyota History: Corporate and Automotive” dalam situs Toyota Land. <http://www.toyoland.com/history.html>.

7 Sam Smith. “You Say Toyoda, We Say Toyota: How The Automaker Got Its Name” dalam situs Jalopnik. <http://jalopnik.com/5479439/you-say-toyoda-we-say-toyota-how-the-automaker-got-its-name>.

8 “Toyota-Astra Motor Raih Lima Penghargaan di Ajang Autobuild Indonesia Award 2016 Tiga Penghargaan Berasal dari Segmen MPV” dalam situs Toyota. <http://www.toyota.astra.co.id/pressroom/siaran-pers/detail/toyota-astra-motor-raih-lima-penghargaan-di-ajang-autobild-indonesia-award-2016-tiga-penghargaan-berasal-dari-segmen-mpv/>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *