Danau Sentarum: Dekat di Mata, Jauh di Kocek

Oleh Herdiana Situmorang

“Unik betul!” ujar saya saat melihat potret-potret Danau Sentarum di sebuah situs internet. Potret-potret danau indah itu—yang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat—diambil di musim penghujan dan kemarau. Di musim penghujan, pemandangannya adalah genangan air luas dengan hutan-hutan yang seperti pulau-pulau di tengahnya. Di musim kemarau, pemandangannya adalah padang dan hutan dengan aliran sungai di tengahnya. Ini terjadi karena Danau Sentarum sebenarnya adalah kawasan hutan yang tergenang air luapan Sungai Kapuas.1

Sayangnya, keunikan dan keindahan Danau Sentarum ternyata baru dinikmati oleh sedikit orang Indonesia. Kebanyakan pelancong yang datang ke sana adalah turis mancanegara.2 Untuk menikmati keelokannya pun para turis harus merogoh kocek dalam-dalam karena biaya yang mahal. Inilah sebabnya turis Indonesia jarang dijumpai di sana. Sungguh ironis memang bahwa objek wisata negeri sendiri, yang dekat di mata kita, ternyata jauh dari jangkauan kocek kita.

Danau Sentarum menjadi dekat di mata para turis asing karena dekat pula di kocek mereka. Mereka berasal dari negara-negara maju, hidup mereka sejahtera, sehingga mereka bisa menyambangi danau di negeri jauh yang sudah tersohor di dunia. Bermodalkan kocek tebal dan gairah wisata yang besar, mereka bisa menyusuri keelokan 20 danau besar-kecil di Kawasan Sentarum, menyaksikan bermacam flora-fauna khas Indonesia yang dilindungi, bahkan meneliti ekosistem lahan basah terluas yang masih tersisa di Asia Tenggara ini.3

Untuk mencapai Danau Sentarum, para turis harus menempuh jalur darat (dengan jalan yang kurang bagus) selama 18–21 jam dari Pontianak. (Tetapi jalur darat dari Sarawak, Malaysia, dapat ditempuh selama 12–14 jam dengan jalan yang bagus.) Jika lewat jalur udara, mereka harus menghabiskan waktu sejam dari Pontianak ke Putussibau dan melanjutkan dengan jalur darat selama kira-kira dua jam ke Lanjak.  Pilihan lainnya adalah melalui jalur darat Pontianak-Sintang-Semitau yang dilanjutkan dengan jalur air Semitau-Bukit Tekenang-Lanjak menyusuri sungai selama tujuh jam.4

Jelas segala pilihan itu memerlukan kocek tebal. Biaya sewa kapal panjang untuk perjalanan air saja dapat mencapai sejuta rupiah sehari!5 Jadi, kehadiran para turis asing di Sentarum membuktikan betapa sejahteranya mereka.

Sungguh menyedihkan bahwa orang Indonesia, yang tinggal lebih dekat dengan Danau Sentarum, malah terjauhkan darinya lantaran berkocek tipis. Karena alasan yang sama pula banyak orang Indonesia terjauhkan dari berbagai objek wisata eksotis lain yang bertaburan di negerinya sendiri. Saya melihat sendiri beberapa objek wisata Indonesia—misalnya Gili Air dan Gili Meno di Lombok, Nihiwatu di Sumba—yang seolah-olah dihuni para turis asing saja. Banyak dari mereka tinggal berminggu-minggu hingga berbulan-bulan di sana, bahkan sampai mengelola resor dan usaha pariwisata lainnya. Semua karena kocek tebal.

Keadaan menyedihkan itu tentu harus ditanggulangi. Dalam hal ini, pemerintah punya peran terbesar untuk “mendekatkan” Danau Sentarum—dan objek-objek wisata lainnya di Indonesia—kepada kocek rakyatnya. Pemerintah harus berkinerja baik untuk menyejahterakan rakyatnya dengan serius memberantas korupsi, mengelola sumber daya alam dengan bijak, membangun sarana dan prasarana, dll. Dan kita pun, rakyat Indonesia, harus giat bekerja dan mendukung program-program pemerintah untuk mencapai kesejahteraan.

Jika kocek kita tebal, kita akan mampu berwisata ke seluruh Indonesia. Semakin banyak turis Indonesia, semakin majulah sektor pariwisata Indonesia. Ini berarti devisa negara akan meningkat pula. Jika hidup kita makmur sejahtera, isi kocek bahkan akan menunjang kita untuk berwisata dengan leluasa ke mancanegara. Kita pun sangat bisa menjadi pelaku bisnis wisata negeri sendiri ataupun di luar negeri.

Keadaan ideal itu pantas dikejar. Saya menantikan hari ketika objek wisata dalam negeri yang “dekat” di mata kita (dan juga objek wisata luar negeri yang “jauh” di mata) didekatkan kepada kocek kita. Pada hari itu kita tidak usah lagi menikmati keindahan Danau Sentarum lewat potret-potret di internet, tetapi dapat menyaksikannya langsung tanpa menguatirkan isi kocek.

Herdiana Situmorang adalah seorang dokter yang bermukim di DKI Jakarta.

Catatan

1 “Danau Sentarum, Danau Unik dan Langka Di Jantung Borneo” dalam situs Dream Indonesia. <https://dreamindonesia.me/2012/02/20/danau-sentarum-danau-unik-dan-langka-di-jantung-borneo/>.

2 Lihat “Kecantikan Danau Sentarum yang Tak ‘Murah’” dalam situs Kompas. <http://travel.kompas.com/read/2013/04/10/11590472/Kecantikan.Danau.Sentarum.yang.Tak.Murah>.

3 “Danau Sentarum di Kapuas Hulu Milik Dunia” dalam situs Borneo Nusantara Time. <http://borneonusantaratime.com/2015/10/danau-sentarum-di-kapuas-hulu-milik-dunia/>.

4  Lanjak adalah pintu masuk Danau Sentarum di Kabupaten Kapuas Hulu.  Lihat Ridzki R. Sigit. “Mongabay Travel: Danau Sentarum, Danau Pasang Surut Terluas di Asia Tenggara” dalam situs Mongabay. <http://www.mongabay.co.id/2012/12/27/mongabay-travel-danau-sentarum-danau-pasang-surut-terluas-di-asia-tenggara/>.

5 “Kecantikan Danau Sentarum yang Tak ‘Murah’”, Kompas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *