Imam-imam Meksiko: Baiknya Menderita karena Berbuat Baik

Oleh Victor Samuel

Enam bulan setelah diculik, John Ssenyondo, imam berdarah Uganda yang melayani di Meksiko, ditemukan tewas di sebuah kuburan massal.1 Dua tahun kemudian, yakni tahun 2016, Jose Alfredo Lopez Guillen, imam lainnya, ditemukan tewas dengan lima tembakan di perut. Mereka menambah deretan kasus pembunuhan imam Katolik Meksiko yang diduga kuat dilakukan oleh kartel-kartel narkoba. Karena kartel-kartel ini didukung kekuatan politik, kebanyakan kasus pembunuhan imam dibiarkan mengambang.2

Imam-imam Meksiko itu dibunuh bukan karena beriman kepada Kristus atau menyebarkan iman Kristen (“mewartakan Injil”). Mereka menjadi martir karena berbuat baik: menyerukan kebenaran/keadilan dan menentang kejahatan. Hidup mereka mengajari kita, umat Kristen, tentang baiknya menderita karena berbuat baik.

Alkitab sendiri menyatakan kesejajaran antara penderitaan karena berbuat baik dengan penderitaan/kematian Kristus. Rasul Petrus menulis, “Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, daripada menderita karena berbuat jahat. Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah” (1 Ptr. 3:17-18, tekanan ditambahkan).

Ketika Petrus menulis tentang “berbuat baik”, ia merujuk kepada perbuatan baik secara luas, melampaui pewartaan Injil atau pelayanan gerejawi. Sebelumnya, ia menasihati umat agar “menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu … menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik … mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya…” (1 Ptr. 3:10-12). Semua itu “berbuat baik” dalam arti luas.

Dalam kasus Ssenyondo, berbuat baik mencakup menolak membaptiskan putri kepala gembong narkoba—hal yang membuatnya diculik.3 Dalam kasus Lopez, berbuat baik mencakup menolong pemuda-pemudi sembuh dari kecanduan narkoba—hal yang dibenci kartel-kartel narkoba.4

Lantaran berbuat baik, orang Kristen mungkin harus menderita, bahkan menjadi martir. Namun, kalaupun harus menderita, berbahagialah kita, sebab penderitaan karena berbuat baik sejajar dengan penderitaan termulia, yakni penderitaan Kristus sendiri! Itulah yang membuat para imam Meksiko berani mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan, bahkan di negara yang secara statistik lebih membahayakan hidup imam daripada negara-negara konflik di Asia Barat.5

Sayangnya, Gereja cenderung mengabaikan kebaikan penderitaan “karena berbuat baik” dan menguburnya di bawah keagungan penderitaan karena pelayanan gerejawi, istimewanya mewartakan Injil. Bukankah banyak pemimpin gereja lebih bersorak-sorai jika ada warganya yang menyerahkan diri untuk mewartakan Injil dibanding untuk “sekadar” berbuat baik di bidang-bidang kehidupan yang luas?

Dengan cenderung meninggikan pewartaan Injil melebihi perbuatan baik lainnya, Gereja terancam kurang berbuat baik secara luas. Rohaniwan Kristen pun terancam mati rasa dan mati suara terhadap isu-isu keadilan/kebenaran di tengah masyarakat. Ketika itu terjadi, dan jemaat mencontohnya, maka Gereja menjadi tidak relevan dengan kehidupan masyarakat.

Jelas itu berbeda dengan teladan hidup imam-imam Meksiko yang menyatu dengan hidup keseharian umat/masyarakat. Alejandro Solalinde, imam lain yang pernah diancam dibunuh, berkata, “Para imam dan biarawati dijadikan sasaran karena kami telah terlibat … dalam krisis hak asasi manusia …  Kami mendampingi para korban dan itu membuat kami rentan terhadap kejahatan terorganisir dan lengan politiknya.”6 Apakah penderitaan seperti ini rendah nilainya?

Sudah saatnya Gereja berbenah pikiran dengan mengamini keluasan “berbuat baik” yang diwawas Petrus. Gereja perlu lebih gencar berbuat baik dalam segala bidang dan menunjukkan betapa baiknya penderitaan karena berbuat baik. Gereja pun perlu lebih gencar menjelajahi terapan-terapan prinsip alkitabiah yang mendorong umat untuk berbuat baik dalam bidang masing-masing.

Mari kita belajar dari para imam Meksiko. Mereka menderita dan menjadi martir demi berbuat baik, demi keadilan/kebenaran. Meski bukan karena “mewartakan Injil”, kematian mereka justru kuat memancarkan kasih yang mendasari Injil bagi segala bangsa. “Saya melihat dalam tindakan imam-imam kami,” kata Uskup Jaime Calderon Calderon, “bahwa apa yang kami bawa dapat … membangun Meksiko yang lebih damai dengan keadilan, kebenaran, kebajikan, tetapi di atas segalanya, dengan kasih.”7

Oh, betapa baiknya menderita karena berbuat baik!

Victor Samuel adalah seorang insinyur bidang energi terbarukan yang bermukim di DKI Jakarta.

 Catatan

1 “Mexico missing: Ugandan priest identified in mass grave” dalam situs BBC. <http://www.bbc.com/news/world-latin-america-30062124>.

2 David Agren. “‘Narcos alone rule’: Mexico shaken after three priests killed within a week” dalam situs The Guardian. <https://www.theguardian.com/world/2016/sep/29/mexico-catholic-priests-killed-drug-trafficking>.

3 Deborah Hastings. “Missing priest’s body found in mass grave in Mexico” dalam situs New York Daily News. <http://www.nydailynews.com/news/world/missing-priest-body-found-mass-grave-mexico-article-1.2012169>.

4 Junno Arocho Esteves, “Young Martyr A Symbol of Hope for Mexico’s Priests, Official Says” dalam situs Today’s Catholic News. <http://www.todayscatholicnews.org/2016/10/young-martyr-a-symbol-of-hope-for-mexicos-priests-official-says/>.

5 “Mexico may be the most dangerous country to be a priest” dalam situs Angelus. <http://angelusnews.com/articles/mexico-may-be-the-most-dangerous-country-to-be-a-priest>.

6 Kenya Sinclair, “Pray for Pope Francis’ safety: Mexican gangs target priests” dalam situs Catholic Online. <http://www.catholic.org/news/international/americas/story.php?id=67259>.

7 Junno Arocho Esteves, “Young Martyr A Symbol of Hope for Mexico’s Priests, Official Says”.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *