Hingga sekarang, saat hari Paskah tiba, anak-anak Inggris suka bermain gelinding telur. Mereka naik ke bukit-bukit berumput, menggelindingkan telur rebus hias dari situ, lalu berlari mengejarnya sambil berseru-seru satu sama lain. Setelah menemukan telur yang digelindingkan, mereka pun mengupasnya lalu melahapnya. Sungguh suatu tradisi Paskah yang mengasyikkan!1
Permainan gelinding telur sangat cocok untuk merayakan kebangkitan Yesus Kristus. Telur yang digelindingkan melambangkan batu penutup goa kubur Kristus yang “sudah terguling dari kubur itu” (Luk. 24:2).2 Kristus hidup kembali dan telah keluar dari kubur-Nya, seperti kata malaikat kepada para pelayat, “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?” (Luk. 24:5). Sebagai akibatnya, kita tak perlu merasa takut secara tak pantas terhadap kematian.
Kematian memang bisa tampak menakutkan karena memindahkan roh kita dari alam yang kita kenali sejak lahir ke alam yang belum kita kenali. Namun, tergulingnya batu kubur Kristus—yang dilambangkan oleh gelindingan telur—menunjukkan bahwa kuasa maut sudah digulingkan oleh kuasa Allah. Memahami dan mengimani hal ini akan membuat rasa takut kita terhadap maut tergelinding, tersingkir, terenyahkan, karena seperti “Dia yang hidup” kita pun akan hidup kembali nanti dari kematian (Yoh. 11:25-26).
Dan telur Paskah adalah lambang yang indah dari kebangkitan Kristus dan kebangkitan kita kelak. Seperti anak ayam menetas dari telur, demikianlah kita nanti akan keluar dari cangkang maut kepada hidup baru di alam baru. Pengharapan ini menggusur dan mengganti rasa takut dan kuatir tentang tutup usia dengan sukacita untuk mengisi usia dengan hal-hal baik. Itulah kegembiraan Paskah, yang sebetulnya mendasari keasyikan bermain gelinding telur.
Sebagai wujud pempribumian kekristenan, permainan gelinding telur menyebar luas di Benua Eropa. Selain di Inggris, gelinding telur juga dimainkan atau dilombakan di Swedia, Jerman, Belanda, Slovenia, Latvia, dll. Orang Austria bahkan bermain gelinding telur dengan menggunakan telur-teluran dari kayu.3 Jadi, manakala gelinding telur Paskah dimainkan di mana-mana di Eropa, pada dasarnya pesan untuk tidak takut terhadap maut (lantaran kebangkitan Kristus) turut disiarkan di mana-mana.
Ketika orang Inggris membangun koloni di Amerika Utara, mereka membawa serta permainan gelinding telur. Permainan itu menjadi populer di Amerika Serikat (AS), bahkan dimainkan di halaman Capitol, gedung kongres AS. Namun, karena rumput Capitol menjadi rusak oleh para pemain, pada tahun 1876 pemerintah AS melarang gelinding telur di Capitol sehingga permainan itu pun “surut” di AS. Tetapi dua tahun kemudian, presiden AS menyelenggarakan gelinding telur di halaman Gedung Putih sehingga menjadikannya tradisi Paskah resmi AS sampai kini.4
Sungguh hebat bahwa permainan sederhana hasil pempribumian Paskah bisa sampai menjadi tradisi resmi negara adidaya!
Sayangnya, pempribumian Paskah seperti itu belum terjadi di Indonesia. Kita, orang Kristen Indonesia, seperti kehilangan kekreatifan dan hanya mencontek tradisi Paskah orang Barat saja, termasuk tradisi telur Paskah. Padahal kita sebetulnya tak kalah kreatif dari orang Barat. (Terbukti dari berbagai seni dan permainan unik khas Nusantara.) Kita seharusnya dapat pula mencipta tradisi (telur) Paskah yang khas Indonesia.
Pempribumian kreatif macam itu akan membuat Paskah “merakyat” di antara kita. Kristus pun, tokoh agung Paskah, akan lebih diapresiasi jiwa kita selagi kita menjabarkan buah penyelamatan-Nya dengan “sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan baik” (Tit. 3:8) untuk mengisi usia.
Jadi, sementara menunggu ajal yang tak terelakkan, kita sekarang naik ke bukit-bukit kehidupan dan menggelindingkan pekerjaan baik dari sana sesuai dengan kapasitas dan profesi kita masing-masing. Kita kejar dengan tekun pekerjaan baik itu sambil menyemangati satu sama lain hingga akhirnya kita dapat menikmati hasilnya dalam anugerah Allah. Persis seperti anak-anak Inggris dan telur Paskahnya!
Tergulingnya batu goa kubur Kristus, yang dilambangkan oleh gelinding telur, memberi kita sudut pandang baru tentang kehidupan dan kematian. Dengan sudut pandang ini kita akan menjalani kehidupan sebaik-baiknya tanpa rasa takut yang tak pantas terhadap kematian sebab Kristus, junjungan kita, hidup dan tidak usah dicari “di antara orang mati”.
Stefani Krista adalah seorang karyawati perusahaan ritel yang bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 “Easter Egg-Rolling: How A European Game Hatched On The White House Lawn” dalam situs The Guardian. <https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2015/apr/06/easter-egg-rolling-white-house-europe-tradition>.
2 Mary Bellis. “The Origins of Easter Celebrations” dalam situs Thought Co. <https://www.thoughtco.com/origins-of-easter-celebrations-1991607>.
3 Tanya Gulevich. Encyclopedia of Easter, Carnival, and Lent. Detroit, Michigan: Omnigraphics, Inc, 2002, hal 160-161.
4 “Easter Egg-Rolling”, The Guardian; “A Brief History of the White House Easter Egg Roll” dalam situs History. <http://www.history.com/news/a-brief-history-of-the-white-house-easter-egg-roll>.