Di Polandia, pada masa raya Paskah, kita bisa mendapati pemandangan khas: keluarga-keluarga pergi berbondong-bondong ke gereja sambil membawa keranjang berisi telur Paskah dan makanan lain untuk diberkati oleh pastor. Mereka melakukannya sehari sebelum Paskah. (Isi keranjang itu kemudian mereka nikmati bersama keluarga pada hari Paskah.)1 Tradisi unik untuk memperingati kebangkitan Kristus ini disebut swieconka, dan orang Polandia sudah menjalankannya sejak abad ke-12.2
Dalam swieconka, telur Paskah hadir di antara makanan lain yang sama-sama melambangkan suatu aspek dari Paskah. Sebagai contoh, roti melambangkan Kristus yang adalah Roti Hidup dan chrzan yang dimaniskan melambangkan penderitaan Kristus yang berubah menjadi manis karena kebangkitan-Nya. Telur sendiri, makanan Paskah terpenting, melambangkan kebangkitan Kristus dari kematian dan pembaharuan hidup.3 Jadi, saat memakan telur Paskah dan makanan lain itu orang Kristen Polandia diingatkan bahwa kebangkitan Kristus menjadikan hidup ini bermakna dan layak dinikmati.
Alasannya adalah karena kebangkitan Kristus membuka jalan bagi kita untuk bangkit pula dari kematian kelak dan masuk ke dalam hidup kekal. Kematian tidak mengakhiri segalanya sebab kita akan hidup kembali. Jadi, hidup yang kita jalani di dunia sekarang ini tidaklah hampa tetapi bertujuan kekal, seperti terungkap dalam penalaran Rasul Paulus, “Jika orang mati tidak dibangkitkan, maka ‘marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati’” (1 Kor. 15:32b).
Dalam penalaran itu Paulus mengutip perkataan orang-orang yang tidak mempercayai atau mempedulikan adanya kebangkitan orang mati sehingga mereka “makan dan minum”—bersenang-senang memuaskan hawa nafsu—“sebab besok kita mati”. Inilah jalan kepada rupa-rupa kemerosotan moral—korupsi, materialisme, perselingkuhan, penyimpangan seksual, dll. Semboyan hidup mereka yaitu “Hidup di dunia singkat, jadi mari bersenang-senang.”
Jelaslah bahwa “makan dan minum” mereka berseberangan dengan makan minum ala swieconka, yang melibatkan ucapan syukur atas hal-hal yang dapat dinikmati dalam hidup. Kita sangat boleh bersenang-senang menikmati hidup, tetapi kita akan melakukannya dengan bijaksana dan bertanggung jawab, karena tahu bahwa ada kehidupan setelah kematian. Semboyan hidup kita yaitu “Hidup di dunia singkat, jadi mari membuatnya bermakna.”
Memang ada juga orang-orang yang mengaku mempercayai kebangkitan orang mati tetapi tetap hidup menuruti hawa nafsu—seolah-olah tidak ada kebangkitan orang mati! Mereka bisa tampil relijius tetapi sekaligus juga menjadi, misalnya, koruptor atau peselingkuh. Itu tidak pantas. Kita, setelah beriman kepada Kristus, harus “bangkit” kepada hidup yang rajin melakukan perbuatan baik (Tit. 2:14). Perbuatan baik menjadikan hidup kita seperti telur Paskah dan makanan lain dalam swieconka—diberkati, bermanfaat, dan bermakna.
Baik swieconka maupun telur Paskah sama-sama berasal dari tradisi pra-Kristen. Swieconka “merunut balik kepada ritus-ritus kesuburan musim semi di Eropa Timur”.4 Telur sendiri dijadikan orang Eropa masa lampau sebagai lambang musim semi.5 Jadi, keduanya sama-sama berkaitan dengan munculnya kehidupan baru/pembaharuan hidup.
Setelah menjadi Kristen, orang Polandia menyesuaikan kedua tradisi itu dengan kekristenan. Alhasil, swieconka dan telur sama-sama melambangkan kebangkitan Kristus dari kematian (seperti anak ayam muncul dari telur) yang menjadi dasar pembaharuan hidup kita dan kebangkitan kita kelak. Oleh kebangkitan Kristus, hidup kita saat ini diberi makna luhur sehingga layak dinikmati—seperti isi keranjang Paskah dinikmati. Sungguh lihai orang Polandia mempribumikan kekristenan ke dalam budaya mereka!
Akibat kelihaian itu, swieconka menjadi lambang jati diri orang Kristen Polandia di belahan bumi manapun. Kita, orang Kristen Indonesia, perlu belajar dari mereka untuk mempribumikan pula kekristenan ke dalam keindonesiaan sehingga menguatkan jati diri kita sebagai orang Kristen Indonesia. Pempribumian itu pun merupakan salah satu cara kita memaknai dan menikmati hidup.
Setiap kali orang Kristen Polandia makan minum dalam swieconka, pada dasarnya mereka sedang mewartakan hidup yang jadi bermakna lantaran peristiwa Paskah—kebangkitan Kristus. Hidup itulah yang kita harus kita nikmati, dengan bersenang-senang secara bertanggung jawab dan dengan rajin berbuat baik, karena kita telah paham bahwa maknanya adalah jauh melampaui ajakan “marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati”.
Herdiana Situmorang adalah seorang dokter yang bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 Natalia Sikora. “Swieconka” dalam situs St Bernadette Whit Church. <http://stbernadettewhitchurch.org/905/on-the-polish-custom-of-swieconka>.
2 “Święconka” dalam situs World eBook Library. <http://worldebooklibrary.net/articles/eng/Święconka>. Swieconka sendiri kira-kira berarti “pemberkatan makanan”. Tradisi serupa dikenal pula oleh lain di Eropa Timur, misalnya Rusia, Ukraina, Slowakia, Slovenia, dll.
3 “Easter Basket” dalam situs Polish Parish Luton/Dunstable. <http://www.ppld.co.uk/en/polish-traditions/easter-basket>; Deborah Anders Silverman. Polish-American Folklore. Urbana dan Chicago: University of Illinois Press, 2000, hal. 32-33. Chrzan (Ing.: horseradish) adalah sayuran akar-akaran seperti lobak yang berasa pedas.
4 Vicky Elliott. “Rituals/Rites of Spring/Blessing the Baskets/Blessing the Baskets d Polish Tradition of Easter Eve Alive in San Jose” dalam situs SFGATE <http://www.sfgate.com/living/article/RITUALS-Rites-of-Spring-Blessing-the-baskets-2855728.php>.
5 “Catholic Activity: Easter Symbols and Food Supplies” dalam situs Catholic Culture. <https://www.catholicculture.org/culture/liturgicalyear/activities/view.cfm?id=1270>.