Terawang Kemuliaan Lewat Sham el Nessim

Bagi umat Kristen Mesir (dikenal juga sebagai kaum Koptik), hari raya Paskah yang jatuh pada hari Minggu selalu disusul oleh hari raya Sham El Nessim pada hari Senin. Inilah hari raya menyambut musim semi yang dinikmati oleh masyarakat Mesir secara umum—dari agama apa pun. Keluarga-keluarga Mesir merayakannya dengan berpiknik, berpelesir ke piramid-piramid, atau berkapal di Sungai Nil. Anak-anak Mesir merayakannya dengan merias telur dan bermain adu telur.1

Meski dirayakan masyarakat Mesir secara umum, Sham El Nessim memiliki latar Kristen (agama yang dominan di Mesir hingga abad ke-15) dan juga pra-Kristen. Umat Kristen Mesir memandangnya sebagai perpanjangan hari raya Paskah.2 Ini nyata dari telur-telur yang sudah lama digunakan orang Kristen Mesir untuk melambangkan kebangkitan Yesus Kristus serta terawang terhadap kemuliaan kebangkitan tubuh kelak.

Terawang itu berkaitan dengan pengharapan kristiani mengenai kebangkitan orang mati. Dalam 1 Korintus 15:42-43, Rasul Paulus memaklumkan kepada kita: “Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan.”

Di situ Paulus memakai perumpamaan tentang benih yang masuk (“ditaburkan”) ke tanah dalam keadaan tertentu (mati/binasa, hina, lemah) lalu tumbuh (“dibangkitkan”) dalam keadaan sebaliknya (tidak binasa, mulia, kuat). Dan Paulus menyatakan bahwa kebangkitan tubuh kita dimungkinkan oleh kebangkitan Yesus Kristus—peristiwa Paskah. Karena Kristuslah tubuh fana kita nanti dapat menembus maut dan beralih menjadi tubuh mulia dalam hidup kekal (lihat 1 Kor. 15:20-23; 44-49).

Ide tumbuh/“dibangkitkan” yang diangkat Paulus selaras betul dengan ide musim semi yang dirayakan dalam Sham El Nessim. Maka tepatlah tindakan orang Kristen Mesir dahulu mengambil alih Festival Shamo (asal-usul Sham El Nessim) dari kepercayaan Mesir purba untuk mengungkapkan iman Kristen. Shamo, yang berarti “penghidupan kembali”, adalah festival menyambut musim semi yang telah diselenggarakan orang Mesir purba sejak kira-kira tahun 2700 SM.3

Dalam Shamo dan kemudian Sham El Nessim, telur dan makanan khas lain (ikan asin, selada, kacang arab hijau) disajikan dan disantap. Telur secara khusus melambangkan pembaharuan hidup,4 yaitu ketika anak ayam keluar dari cangkang telur lambang keadaan tubuh lama kita yang mati, hina, lemah. Jelas itu serasi dengan musim semi, saat tumbuh-tumbuhan “membaharui” hidupnya. Sham El Nessim sendiri berarti “Penghirupan Angin Sepoi-sepoi”—merujuk kepada hawa musim semi yang sedap.5

Belakangan, waktu orang Arab datang menguasai Mesir dan menjadikan Islam agama dominan di sana, Sham El Nessim tetap diterima, termasuk pernak-pernik telurnya. Maka hari ini, setiap kali Sham El Nessim dirayakan di seantero Mesir, kita bisa terkesan akan kepiawaian orang Kristen Mesir dahulu mempribumikan kekristenan dalam budaya mereka. Pempribumian itu sedemikian rupanya sehingga perayaan mereka (setelah menjadi kaum minoritas pun) diterima sebagai hari libur nasional!6

Ini memberi kita pelajaran besar. Jika kita memandang luhur ajaran Kristen (termasuk terawangnya terhadap kebangkitan tubuh dalam kemuliaan, ketidakbinasaan, dan kekuatan), maka kita perlu mempribumikannya pula di negeri kita. Bukankah banyak hal dari tradisi Nusantara adalah seperti telur dan Shamo: dapat diambil alih untuk mengungkapkan kekristenan dan, khususnya, Paskah? Kita harus (mulai) sadar bahwa budaya mengokohkan identitas. Satu faktor penting yang membuat kekristenan tidak punah dari Mesir hingga kini adalah pempribumian—karena “kekristenan orang Mesir [Koptik] telah menjadi pribumi”.7

Dan terawang kemuliaan kebangkitan tubuh menyemangati kita untuk berkarya mulia selagi hidup di dunia. Berbagai pekerjaan baik, yang dalam Alkitab ditegaskan sebagai tujuan keselamatan (Ef. 2:10), harus kita lakukan di berbagai bidang kehidupan sebagai cara merayakan kebangkitan Kristus dan kebangkitan kita kelak.

Tahun demi tahun Sham El Nessim hadir dalam hawa sedap musim semi yang memungkinkan keluarga-keluarga Mesir berkegiatan di luar rumah—piknik, berpelesir, berkapal, adu telur. Maka sebagaimana telur dan musim semi melambangkan kebangkitan kita kelak, keduanya mengajari kita juga untuk menikmati sedapnya terawang kemuliaan kebangkitan tubuh sambil mengerjakan hal-hal mulia di luar sana.

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

Catatan

1 “Spring Festivals: Coptic Easter and Sham el Nessim” dalam situs CSA. <http://www.livinginegypt.org/portal/Publications/OasisMagazine/Articles/tabid/199/ID/4479/Spring-Festivals-Coptic-Easter-and-Sham-el-Nessim.aspx#.WLUOqTjBDMx>. Adu telur adalah permainan menumbukkan telur rebus yang pemenangnya ditentukan oleh kulit telur yang lebih sedikit retak.

2 Sonia Farid. “Coptic Easter: How Egypt celebrates the rising of Christ” dalam situs Al Arabiya English. <http://english.alarabiya.net/en/perspective/features/2015/04/06/Coptic-Easter-How-Egypt-celebrates-the-rising-of-Christ.html>.

3  Liberall. “Sham El Nessim” dalam situs Civic Egypt. <http://www.civicegypt.org/?p=39129>.

4 Liberall, “Sham El Nessim”. Artikel yang sama menerangkan bahwa panganan lainnya pun punya pelambangan yang bersesuaian dengan musim semi, misalnya kacang arab hijau yang melambangkan hidup muncul kembali dan ikan asin yang melambangkan kesuburan.

5 “Sham El Nessim” dalam situs Office Holidays. <http://www.officeholidays.com/countries/egypt/sham_el_nessim.php>.

6 “Sham El Nessim”, Office Holidays.

7 Philip Jenkins. The Lost History of Christianity: The Thousand-Year Golden Age of the Church in the Middle East, Africa, and Asia—and How It Died. New York, NY: HarperOne, 2008, hal. 35.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *