Pelita Bacaan Ilmiah

Banyak tokoh hebat AS (Amerika Serikat) adalah pembaca bacaan serius—ilmiah khususnya—yang “rakus”. Bill Gates, pencetus Microsoft, melahap satu buku per minggu; Mark Zuckerberg, pembuat Facebook, menghabiskan dua buku per minggu; Warren Buffet, pendiri Berkshire Hathaway, menyantap 600-1.000 halaman per hari di awal karirnya.1 Tak heran, mereka turut membawa bangsa AS maju dalam banyak hal.

Bagaikan pelita, bacaan serius yang ilmiah menerangi langkah bangsa. Bacaan seperti itu mencerahi pembaca tentang bagaimana hal-hal di dunia ini bekerja dan memberi petunjuk kepada hidup yang lebih baik. Pelita bukanlah lampu sorot; ia tidak menerangi perjalanan terlalu jauh. Kita hanya bisa menyerap dan menerapkan ilmu pengetahuan setahap demi setahap. Jadi, dengan menggandrungi bacaan serius yang ilmiah, bangsa kita dapat bergerak maju selangkah demi selangkah.

Tentu saja bacaan serius yang ilmiah bukan melulu buku teks pelajaran atau jurnal sains, melainkan juga berbagai buku/tulisan lain yang didasarkan pada pemikiran ilmiah dan yang menuntun pembaca untuk berpikir dan bertindak secara rasional dan efektif. Ketika pelita itu diabaikan, terjerumuslah kita ke dalam kegelapan: wawasan sempit, pikiran dangkal, dan emosi labil.

Sialnya, kita, orang Indonesia, malas memegang pelita itu—malas membaca buku-buku serius. Bahkan ilmuwan-ilmuwan kita (para dosen dan profesor), yang seharusnya paling giat membaca buku ilmiah, dinilai berkinerja amat rendah se-Asia Tenggara dalam hal menghasilkan karya tulis ilmiah.2 Mungkin sekali itu berpangkal dari kemalasan membaca, sebab kita butuh membaca banyak tulisan ilmiah untuk bisa menghasilkan tulisan ilmiah.

Jika para dosen dan profesor kita saja berkinerja buruk dalam hal bacaan serius, bagaimana pula masyarakat Indonesia secara umum? Data UNESCO pada tahun 2012 menunjukkan bahwa rata-rata lulusan SMA Jerman membaca 32 judul buku, Belanda 30 judul, Jepang 15 judul, Rusia 12 judul, Brunei tujuh judul, Singapura dan Malaysia masing-masing enam judul, sedangkan Indonesia nol judul!3

Toko-toko buku kita memang sering dikunjungi muda-mudi terpelajar. Tetapi yang paling mereka cari di situ justru bacaan ringan seperti novel remaja dan komik hiburan. Dengan keadaan seperti ini, bonus demografi kita terancam menjadi beban demografi. Angkatan muda yang banyak namun kurang berbobot justru akan membebani bangsa.

Rendahnya mutu guru/pendidik dan sarana pendidikan di Indonesia menyumbang kepada payahnya minat dan kemampuan baca kita. Sistem pendidikan kita belum juga mampu melatih rakyat menikmati bacaan ilmiah ataupun melahirkan guru-guru yang mahir memperlengkapi murid dengan keterampilan membaca (dan membuat) tulisan serius. Akibatnya, bangsa kita kerap melangkah nirarah dalam kegelapan tanpa pelita bacaan ilmiah.

Padahal, disadari atau tidak, banyak keputusan kita dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan: dari keputusan sederhana seperti memilih cemilan sehat sampai keputusan strategis jangka panjang seperti kebijakan pemerintah. Teranglah bahwa manfaat membaca tulisan-tulisan serius yang ilmiah jauh lebih luas dan dalam daripada membaca tulisan-rulisan ringan.

Kemalasan kita membaca tulisan ilmiah berdampak buruk secara berlapis. Para ilmuwan kita jadi jarang menghasilkan penelitian yang bermutu. Kaum profesional kita jadi bekerja dengan mengikuti perintah dan sistem saja, tanpa memperbarui wawasan dan praktik di bidang pekerjaannya masing-masing. Akibatnya, kita pun menjadi masyarakat yang mandul inovasi—selain kurang kritis dan mudah dihasut secara emosional.

Bangsa-bangsa moderen yang maju adalah bangsa-bangsa yang menggenggam erat pelita bacaan serius yang ilmiah. Dengan ilmu pengetahuan, mereka jadi mahir berinovasi dan meningkatkan taraf hidup mereka. Bangsa kita, kalau mau maju, harus memaksa diri menyerap dan menerapkan banyak ilmu pengetahuan. Dan itu harus dimulai dengan satu langkah: giat membaca tulisan ilmiah.

Elon Musk, pendiri perusahaan roket swasta SpaceX, pernah ditanyai tentang bagaimana ia dapat membuat roket. Jawabnya, “Saya membaca buku.”4 Sebagaimana pelita bacaan ilmiah dapat menerangi langkah manusia ke luar angkasa, ia pun dapat menerangi perjalanan kita mendaki ke tataran bangsa-bangsa termaju di dunia.

Victor Samuel adalah seorang insinyur di bidang energi yang bermukim di DKI Jakarta.

Catatan

1 Andrew Merle. “The Reading Habits of Ultra-Successful People” dalam situs Huffington Post. <http://www.huffingtonpost.com/andrew-merle/the-reading-habits-of-ult_b_9688130.html>.

2 Imam Hamdi. “Para Dosen Malas, Kemenristekdikti: Penelitian Kita Minim se-ASEAN” dalam situs Tempo. <https://m.tempo.co/read/news/2017/04/21/173868164/para-dosen-malas-kemenristekdikti-penelitian-kita-minim-se-asean#KVJx2qkq6vFI8GOS.01>.

3 “Gerakan Indonesia Membaca: “Menumbuhkan Budaya Membaca” dalam situs Ditjen PAUD-DIKMAS. <https://www.paud-dikmas.kemdikbud.go.id/berita/8459.html>.

4 Andrew Merle, “The Reading Habits of Ultra-Successful People”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *