Oleh Victor Samuel
Lahir dari seorang wanita budak berkulit hitam di AS tahun 1856, Booker Taliaferro Washington tampaknya bermasa depan suram. Ketika itu anak budak biasanya bernasib menjadi budak pula.1 Namun, ia memutarbalikkan nasibnya dan nasib kaumnya. Sebagai pendiri dan pemimpin Tuskegee Normal and Industrial Institute, universitas kejuruan bagi kaum kulit hitam, ia menaikkan posisi sosial dan taraf hidup kaum kulit hitam secara besar-besaran.2
Kepedulian Washington kepada permasalahan sosial kaumnya adalah perwujudan ketaatan kristianinya. “Alkitab,” ujar Washington, “harus dibaca sebagai panduan harian untuk hidup benar …”3 Dan hidupnya menunjukkan penghayatan terhadap sabda Allah dalam Yeremia 29:7: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Washington menjadi pengusaha kesejahteraan kaum kulit hitam AS.
Pada zaman Nabi Yeremia, sabda tersebut ditujukan kepada bangsa Israel yang dibuang ke Babel (setelah negeri mereka ditaklukkan bangsa Babel). Mereka dinasihati Allah untuk aktif mengusahakan kesejahteraan kota-kota tempat mereka dibuang. Mengusahakan “kesejahteraan kota” mencakup upaya-upaya untuk menaikkan taraf hidup masyarakat kota itu.
Tentu saja hal itu tidak mudah, karena bangsa Israel adalah kaum buangan yang terpinggirkan. Namun, ada orang-orang Israel yang menaati Allah dan mengusahakan “kesejahteraan kota” sehingga mendapat kepercayaan dari penguasa Babel (misalnya Daniel dan ketiga rekannya). Ini menyerupai kondisi kaum kulit hitam zaman Washington.
Di masa hidup Washington, walaupun perbudakan kaum kulit hitam sudah resmi dilarang pemerintah AS, pemisahan ras dan rasisme masih terjadi. Namun, ketulusan dan kecakapan Washington dalam mengusahakan “kesejahteraan kota” membuatnya dipercaya memimpin Tuskegee. Jenderal Armstrong, mentor Washington yang berkulit putih, menjamin bahwa Tuskegee di bawah Washington tidak akan mengancam supremasi kaum kulit putih.4
Kiprah Washington mengajari umat Kristen—khususnya yang berstatus minoritas dan rentan dipinggirkan—untuk menjadi pengusaha kesejahteraan kota dan negeri yang terpercaya.
Pada masa pembuangan di Babel, orang-orang Israel yang mengusahakan “kesejahteraan kota” mendapat tantangan dari kalangan sendiri. Ada “nabi-nabi” yang mengajak umat menentang penentuan Allah bahwa bangsa Israel harus tunduk sementara waktu kepada bangsa Babel. Tantangan serupa juga dialami Washington.
Ketika Washington berusaha meningkatkan taraf hidup orang kulit hitam dengan cara yang moderat dan melalui pendidikan kejuruan (bukan pendidikan klasik yang cakupan kurikulumnya lebih menyeluruh), beberapa pemimpin kulit hitam lain marah dan menentangnya. Mereka merasa Washington terlalu lembek dan kurang berjuang bagi kepenuhan hak kaum kulit hitam.5
Di kalangan Kristen juga ada yang menentang aksi-aksi kepedulian sosial Gereja dan gampang menuduhnya sebagai “injil sosial” yang mengompromikan iman Kristen karena menomorsatukan perbuatan baik dan mengesampingkan pewartaan Injil. Padahal kepedulian sosial dan iman seharusnya berjalan beriringan. Buktinya, sewaktu disuruh mengusahakan kesejahteraan kota, orang Israel juga disuruh beriman lewat perintah “berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN”.
Dengan imanlah Washington mengusahakan kesejahteraan. Ia mengakui, “Sewaktu kita mempelajari hukum-hukum Allah dan bertumbuh menjadi serupa dengan-Nya, kita akan menemukan upah kita di dunia ini dalam [wujud] kehidupan yang berguna dan terhormat. Melakukan ini berarti menemukan kerajaan Allah yang adalah kerajaan karakter dan kebenaran dan kedamaian.”6 Kepedulian sosial Washington bukanlah humanisme sekuler tanpa iman.
Berhasil mengatasi berbagai tantangan, Washington memperagakan hidup sebagai pengusaha kesejahteraan yang berguna dan terhormat. Meninggal dunia pada tahun 1915, ia diakui sebagai pendidik kulit hitam yang paling berpengaruh di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.7 Bahkan di tahun 1906 presiden Universitas Harvard pernah mengakui, “Pada tahun 1905, Tuskegee menghasilkan lebih banyak jutawan mandiri daripada Harvard, Yale, dan Princeton digabung.”8
Pengusaha di dunia bisnis biasa mendapat kepuasan dalam keuntungan pribadi. Namun, pengusaha kesejahteraan mendapat kepuasan dalam keuntungan bagi orang lain. Washington berujar, “Jika Anda mau mengangkat diri sendiri, angkatlah orang lain.”9 Ia hanya membahasakan ulang perintah Allah kepada umat-Nya agar menjadi pengusaha kesejahteraan kota, “sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”
Victor Samuel adalah seorang insinyur di bidang energi yang bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 “Booker T. Washington” dalam situs Biography. <https://www.biography.com/people/booker-t-washington-9524663>. Ayah Washington adalah seorang kulit putih yang tak dikenal.
2 “Booker T. Washington”, Biography.
3 Bill Federer. “Booker T. Washington’s faith in God” dalam situs Self-educated American. <http://selfeducatedamerican.com/2015/11/14/booker-t-washingtons-faith-in-god/>.
4 “Booker T. Washington”, Biography.
5 “Booker T. Washington” dalam situs situs History. <http://www.history.com/topics/black-history/booker-t-washington>.
6 Bill Federer, “Booker T. Washington’s faith in God”.
7 Richard Wormser. “Booker T. Washington” dalam situs PBS. <http://www.pbs.org/wnet/jimcrow/stories_people_booker.html>.
8 Bill Federer, “Booker T. Washington’s faith in God”.
9 Bill Federer, “Booker T. Washington’s faith in God”.