Lee Tai-young: Pembela Keadilan dan Kesejahteraan Wanita

Oleh S.P. Tumanggor

Pada bulan Maret 2017, dalam rangka Hari Wanita Internasional, 13 tokoh wanita dunia ditampilkan dalam gambar bebas (“doodle”) Google. Seorang dari mereka adalah Lee Tai-young, tokoh kelahiran Pukjin tahun 1914 yang menjadi pengacara wanita pertama, hakim wanita pertama, dan pendiri lembaga bantuan hukum pertama di Korea.1 Kesalehannya dan kepedulian sosialnya mendorongnya menjadi pembela keadilan dan kesejahteraan wanita Korea.

Lee, yang bersyukur karena ibu dan neneknya mengajari dia “apa artinya menjadi wanita Kristen di Korea”,2 melancarkan perjuangan sosial yang mencerminkan kerinduan pemazmur ini: “Sesungguhnya keselamatan daripada-Nya dekat pada orang-orang yang takut akan Dia,  sehingga kemuliaan diam di negeri kita. Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman” (Mzm. 85:10-11).

Karena takut/bertakwa kepada Allah, Lee menemukan pertolongan/keselamatan dari Allah dalam sepak terjangnya di tengah “masyarakat terikat-tradisi di mana konsep kebebasan wanita adalah hal baru dan asing dan di mana peran rumah tangga lazim seorang istri adalah melayani ibu mertuanya”.3 Ia mengupayakan kasih berselaras (“bertemu”) dengan kesetiaan, dan keadilan berselaras (“bercium-ciuman”) dengan damai sejahtera di antara kaum pria dan wanita, sehingga kemuliaan hadir di negeri.

Lee tumbuh di negeri Korea awal abad ke-20 yang mengalami gesekan antara budaya lama yang mengekang kebebasan wanita dengan budaya baru dari Barat (dibawa oleh penyiar kekristenan) yang memberi kebebasan kepada wanita.4 Kepedulian sosialnya dilatari oleh gesekan itu—dan oleh Alkitab juga, sebab ia merunut lenyapnya keadilan dan damai sejahtera kepada peristiwa yang disebut “kejatuhan” dalam kekristenan.

“Pada waktu umat manusia diciptakan,” ujar Lee, “pria dan wanita hidup bahagia bersama di Taman Eden. Tapi hubungan itu retak dan benih-benih ketidakselarasan tersebar. Gagasan bahwa pria selalu berhak memiliki kedudukan lebih tinggi sedangkan tugas wanita adalah menempati kedudukan lebih rendah membuat keduanya jadi berlawanan. Karena fungsi ini kita kehilangan damai kita dan kemajuan masyarakat insani kita terlambatkan”.5

Wawasan itu menunjukkan bagaimana pemahaman alkitabiah berpotensi untuk memunculkan kepedulian dan perubahan sosial—alih-alih memunculkan keseganan terhadap perjuangan sosial atau pandangan bahwa Alkitab tidak kena-mengena dengan hidup sosial. Bagaimanapun, Alkitab mengklaim membawa kabar baik bagi hidup dan dunia manusia.

Karena kabar baik itulah Lee mencurahkan hidupnya untuk mengubah hukum yang diskriminatif terhadap wanita. Ia tahu bahwa ini pun panggilan kristiani—bukan melulu “menjangkau jiwa-jiwa terhilang”. Sambil membela keadilan dan kesejahteraan wanita, ia tetap menjadi istri dan ibu yang baik.6 Ia memperagakan seperti apa menjadi orang Kristen yang baik di lahan panggilannya.

Perjuangannya jauh dari mudah. Katanya sendiri, “[I]ni agak seperti mengeringkan Sungai Han dengan menimba air memakai cangkang kerang. Sesewaktu ini tampak nyaris sia-sia. Alasannya adalah karena hukum mendiskriminasi kaum wanita sehingga sedikit saja membantu upaya kami untuk menolong mereka. Sebab itu saya mulai bekerja demi perubahan hukum dan pencabutan beberapa hukum”.7

Dan ia berhasil. Dikatakan bahwa “[d]engan merevisi hukum-hukum nasional, khususnya yang berkaitan dengan keluarga dan pernikahan, Lee menolong wanita Korea memperbaiki keadaan mereka dan berdiri bagi hak-hak mereka”.8 Lee membuat keadilan “bercium-ciuman” dengan damai sejahtera di negerinya.

Jika keselarasan antara keadilan dan damai sejahtera di negeri adalah ideal Alkitab, maka banyak orang Kristen harus mengikuti jejak Lee. Tiada waktu lagi untuk alergi terhadap aksi sosial dan mudah mencapnya sebagai “injil sosial” yang hanya menolong tubuh tapi tidak menolong jiwa (dari neraka). Sebaliknya, tiada waktu pula untuk mengesampingkan Alkitab sebagai ilham berwenang bagi kepedulian dan perubahan sosial.

Walaupun telah tutup usia pada tahun 1998 di Seoul, Lee Tai-young terus mengilhami umat Kristen untuk tahu apa artinya menjadi orang Kristen yang peduli dan berjuang menghadapi permasalahan sosial di negeri. Ketika menerima Anugerah Magsaysay di tahun 1975, ia berkata, “Saya akan berdiri di sisi orang tertindas dan memberi seluruh hidup saya untuk perjuangan ini sebagai balasan atas Anugerah ini”.9

Itulah pembelaan dari kepedulian sosial. Itulah yang membuat kemuliaan diam di negeri.


S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat
.


Catatan

1 “Lee Tai-young’s 101st Birthday” dalam situs Google. <https://www.google.com/doodles/lee-tai-youngs-101st-birthday>.

2 “Recipients” dalam situs World Methodist Council. <http://worldmethodistcouncil.org/whatwedo/world-methodist-peace-award/recipients/>.

3 “Pioneer Woman Runs Seoul Legal Aid Unit” dalam situs The New York Times. <http://www.nytimes.com/1977/09/04/archives/pioneer-woman-runs-seoul-legal-aid-unit.html?_r=0>.

4 “Lee Tai-young” dalam situs Ramon Magsaysay Award Foundation. <http://www.rmaf.org.ph/newrmaf/main/awardees/awardee/profile/229>.

5 “Lee Tai-young”, Ramon Magsaysay Award Foundation.

6 “Lee Tai-young”, Ramon Magsaysay Award Foundation.

7 “Lee Tai-young”, Ramon Magsaysay Award Foundation.

8 “Lee Tai-young’s 101st Birthday”, Google.

9 “Lee Tai-young”, Ramon Magsaysay Award Foundation.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *