Oleh Febroni Purba
“Siapa yang menindas orang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia” (Ams. 14:31). Sabda Alkitab ini rupanya sangat dipahami dan mewarnai hidup Toyohiko Kagawa, pekerja sosial, penginjil, pegiat perburuhan asal Jepang. Kepedulian sosialnya kepada kaum yang dipinggirkan dalam masyarakat telah membuatnya disejajarkan dengan tokoh-tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi dan Albert Schweitzer.1
Kagawa, pria kelahiran Kobe tahun 1888, menaruh belas kasihan kepada orang miskin, sampai-sampai memutuskan untuk hidup di perkampungan kumuh di Shinkawa.2 Ia tahu bahwa di balik kesusahan dan penderitaan, orang lemah dan orang miskin tetaplah manusia pengemban citra Sang Pencipta sehingga menindas mereka sama dengan menghina Dia tetapi mengasihani mereka sama dengan memuliakan Dia.
Kedua orang tua Kagawa meninggal waktu ia masih kecil dan ia dibesarkan oleh pamannya. Lewat misionaris asal AS, ia mengenal kekristenan lalu dibaptis pada tahun 1904. Ia lulus dari sekolah teologi Kobe pada tahun 1911, ditahbiskan jadi penginjil di Gereja Presbiterian Jepang, dan menikah pada tahun 1913. Pada tahun 1909, sewaktu masih berkuliah, ia keluar dari asrama untuk tinggal di Shinkawa.3
Hampir selama 15 tahun Kagawa tinggal di perkampungan kumuh yang tergolong terburuk di Jepang itu. Di sana sekitar sebelas ribu orang tinggal dalam sebelas blok dan sebanyak sembilan orang tidur dalam satu kamar berukuran kira-kira dua meter persegi. Praktik pelacuran dan penggunaan narkoba meluas, bahkan praktik menerima uang untuk mengasuh anak-anak yang kemudian malah dibunuh oleh pihak penerima uang.4
Kerelaan Kagawa hadir dan melayani di Shinkawa mengungkapkan hasratnya untuk memuliakan Allah dengan menaruh belas kasihan kepada orang miskin. Ia terilhami oleh salib Kristus, yang baginya melambangkan kekuatan dari kasih Kristus dan kekuatan dari penderitaan demi kebenaran. Yesus Kristus, katanya, “mengajarkan praktik kasih yang praktis dan aktual”.5
Sayangnya, berbeda dengan Kagawa, banyak orang Kristen menganggap sepi aksi sosial karena mengira bahwa Allah tidak (terlalu) peduli kepada kepedulian sosial. Mereka beranggapan bahwa Allah hanya peduli kepada pemberitaan injil demi keselamatan individu-individu. (Sebaliknya, di ekstrem lain, ada pula orang-orang Kristen yang beranggapan bahwa Allah hanya peduli kepada kesejahteraan masyarakat.)
Alhasil, meski mengaku setia kepada Alkitab, mereka “nekad” mencap setiap aksi sosial sebagai “injil sosial” yang ingin membaharui masyarakat tetapi dengan mengabaikan pentingnya pemberitaan tentang Kristus. Mereka memalingkan muka dari ajaran sosial Alkitab. Kagawa tidak demikian. Perhatian dan kiprahnya menyasar pembaharuan individu dan masyarakat.
Kagawa sangat menggugat kegandrungan gereja-gereja di Jepang kepada teologi abstrak dan iman individualis ala Barat yang tidak terhubung dengan dunia nyata dan mengabaikan gerakan sosial.6 “Tidaklah cukup memiliki ideal-ideal saja,” katanya. “Kita harus menerjemahkannya ke dalam tindakan”.7
Dan sampai akhir hayatnya di tahun 1960, Kagawa terus memperagakan seperti apakah memiliki ideal-ideal sekaligus tindakan-tindakan terjemahannya. Di tahun 1917, seusai menyelesaikan kuliah di AS, ia kembali bergiat di Shinkawa. Ia turut mengorganisir serikat buruh dan serikat petani yang pertama di Jepang.8 Di tahun 1921 ia mendirikan Sahabat Yesus (Iesu no Tomo Kai), kumpulan orang muda yang menerapkan disiplin rohani, belas kasih kepada orang miskin, dan hidup sebagai saksi injil.9
Kagawa menulis lebih dari 150 buku (termasuk buku-buku sastra). Tak heran dua kali ia dicalonkan sebagai penerima Anugerah Nobel Sastra—dan dua kali dicalonkan sebagai penerima Anugerah Nobel Perdamaian lantaran usaha-usahanya yang bersifat cinta damai. Pasca kematiannya, ia dianugerahi Medali Harta Suci, penghargaan tertinggi-kedua di Jepang.10
Sungguh patut umat Kristen memuliakan Allah dengan menaruh belas kasih kepada orang miskin sehingga damai sejahtera hadir di tengah masyarakat dan dunia. “Kasih itu mendasar,” kata Toyohiko Kagawa, “bagi lahirnya masyarakat yang sejati, sementara kekerasan memiliki di dalamnya saripati anti-kemasyarakatan. … Kasih, yang tidak mencederai apa pun, adalah abadi.”11
Febroni adalah seorang karyawan swasta perusahaan pertanian yang bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 Sebagaimana tercermin dalam judul buku Allan Armstrong Hunter, Three Trumpets Sound: Kagawa, Gandhi, Schweitzer, yang terbit pada tahun 1939.
2 Mark R. Mullins. “Christianity as a Transnational Social Movement: Kagawa Toyohiko and the Friends of Jesus” dalam jurnal Japanese Religions Volume 32 (1 & 2), Chicago: NCC, 2007, hal: 71-72.
3 Mark R. Mullins, hal. 72-73.
4 Toyohiko Kagawa. Love The Law of Life. Philadelphia: The John C. Winston Company, 1929, hal. 2; “Toyohiko Kagawa–Christian Reformer and Activist” dalam situs Living with Faith. <http://www.livingwithfaith.org/blog/toyohiko-kagawa-christian-reformer-and-activist>.
5 Dan Graves. “Toyohiko Kagawa, Japanese Original” dalam situs Christianity. <http://www.christianity.com/church/church-history/timeline/1801-1900/toyohiko-kagawa-japanese-original-11630620.html>.
6 Mark R. Mullins, hal. 76.
7 “Toyohiko Kagawa Quotes and Sayings” dalam situs Inspiring Quotes. <http://www.inspiringquotes.us/author/5326-toyohiko-kagawa/page:2>.
8 Dan Graves, “Toyohiko Kagawa, Japanese Original”.
9 “Kagawa, Toyohiko (1888-1960)” dalam situs Boston University. <http://www.bu.edu/missiology/missionary-biography/i-k/kagawa-toyohiko-1888-1960/>.
10 “Toyohiko Kagawa–Christian Reformer and Activist”, Living with Faith.
11 Toyohiko Kagawa, hal. 169.