Oleh Stefani Krista
Pada ketinggian 3.800 mdpl, bendera Merah Putih berkibar gagah di Gunung Elbrus, Rusia, gunung tertinggi di Eropa. Di bulan Agustus 2016 itu, hujan es, cuaca buruk, suhu rendah menjadi tantangan berat bagi para pendaki asal Indonesia—khususnya karena mereka berusia di atas 50 tahun! Meskipun tak berhasil mencapai puncak, keberanian mereka melawan tantangan hingga Sang Merah Putih berkibar di wilayah tertinggi Benua Eropa selaras betul dengan makna warna merah dari bendera kita.1
Warna merah yang sama juga mengungkapkan keberanian para pendahulu kita dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di depan tantangan (aniaya, pemenjaraan, bahkan kematian) dalam melawan penjajahan, mereka “mengobarkan merah” demi kemerdekaan Indonesia. Kisah-kisah kobaran merah mereka mengilhami kita untuk berani pula menghadapi tantangan bangsa Indonesia di masa kini.
Kisah kobaran merah para pahlawan adalah kisah keberanian memprakarsai sesuatu yang besar (dan berisiko). Pada tahun 1912, trio Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Cipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij (“Partai Hindia”) yang membangun patriotisme bangsa Hindia [baca: Indonesia]. Jelas itu menjadi ancaman besar bagi pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian memberangus Indische Partij dan mengasingkan trio pemberani itu.2
Tak hanya tentang berani memprakarsai hal besar, kisah kobaran merah para pahlawan juga merupakan kisah keberanian menanggung kesusahan dan derita. Tahun 1934, ketika dipenjarakan Belanda di Glodok, Jakarta, Mohammad Hatta berujar, “Tak seorang pun menyukai penjara, tetapi meskipun jahat, penjara juga bisa menguntungkan. Ia memperkuat keyakinan kita dan membuat kita lebih pasti.” Ia pun akhirnya dibuang ke Boven Digul, kawasan “horor” di Papua masa itu.3
Dan kisah-kisah kobaran merah untuk merebut kemerdekaan itu membuahkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang diiringi pengibaran Sang Saka Merah Putih. Namun, perjuangan para pahlawan masih harus berlanjut. Mereka tetap harus “mengobarkan merah” untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di hadapan berbagai tantangan baru.
Maka kisah kobaran merah para pahlawan pun adalah kisah keberanian berjuang membela kemerdekaan. Pasca proklamasi 1945, Belanda datang kembali dengan membonceng Sekutu untuk merebut kekuasaan di Indonesia. Jadi, meletuplah perang-perang antara rakyat Indonesia dan Belanda/Sekutu, misalnya Pertempuran Lima Hari di Palembang 1946, Pertempuran Rakyat Makassar 1947, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.4
Dalam peristiwa Pertempuran Lima Hari di Palembang, pasukan Sekutu bertindak keterlaluan dengan menggeledah rumah-rumah penduduk untuk mencari senjata rampasan dari Jepang. Maka para pejuang Palembang mengobarkan merahnya dan menghadapi Sekutu yang membombardir Kota Palembang di tahun baru 1947. Gencatan senjata akhirnya dicapai pada tanggal 6 Januari, setelah seperlima Kota Palembang hancur.5
Dan kisah kobaran merah para pahlawan juga adalah kisah keberanian membawa diri di tengah bangsa-bangsa. Demi menjaga bangsa Indonesia yang baru lahir, mereka berani menghadapi Belanda di meja perundingan dengan disaksikan bangsa-bangsa lain. Maka terjadilah perundingan-perundingan Linggarjati (1946), Renville (1948), Roem-Roijen (1949), dan Konferensi Meja Bundar (1949) yang melibatkan bangsa-bangsa seperti Inggris, Australia, Belgia, dan Amerika Serikat.6
Dalam Konferensi Meja Bundar yang digelar di “sarang lawan”, yakni Den Haag, Belanda, duta-duta Indonesia mengobarkan merahnya untuk menempuh perundingan yang rumit dan panjang. Buah manisnya adalah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda yang praktis mengakhiri perang-perang dengan tentara Belanda.7
Ya, kobaran merah para pendiri bangsa di masa lalu telah merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia—hal besar yang kita nikmati sekarang. Di masa kini, kobaran merah kita pun harus meraih dan mempertahankan kebaikan, kesejahteraan, kemakmuran bagi bangsa Indonesia di hadapan berbagai tantangan terkini: korupsi, kemiskinan, radikalisme, dll.
Gunung Elbrus di Benua Eropa telah menjadi saksi berkibarnya Sang Saka Merah Putih lambang keberanian dan kesucian. Tanah air Indonesia sendiri, tempat Merah Putih selalu berkibar, seharusnya menjadi saksi berterapnya keberanian dan kesucian itu di segala bidang kehidupan. Dan pantanglah kita tidak menyamai para pendahulu kita dalam mengobarkan merah demi bangsa dan negara di masa kini.
Biarlah kobaran merah terus meraih dan mempertahankan kemuliaan bagi Indonesia jaya!
Stefani Krista adalah seorang karyawati perusahaan ritel yang bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 Wahyu Adityo Prodjo. “HUT RI, Bendera Merah Putih Berkibar di Gunung Tertinggi di Eropa” dalam situs Kompas. <http://travel.kompas.com/read/2016/08/17/200100827/HUT.RI.Bendera.Merah.Putih.Berkibar.di.Gunung.Tertinggi.di.Eropa>.
2 Drs. Anwar Kurnia dan Drs. H. Moh. Suryana. Sejarah 2 SMP Kelas VIII. Jakarta: Yudhistira, 2007, hal. 37-38.
3 Yus Ariyanto. “Ketika Bung Hatta Dibuang ke ‘Neraka’ Bernama Digul” dalam situs Liputan 6. <http://news.liputan6.com/read/2023666/ketika-bung-hatta-dibuang-ke-neraka-bernama-digul>.
4 “14 Pertempuran dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia” dalam situs Markijar. <http://www.markijar.com/2016/08/14-pertempuran-dalam-mempertahankan.html>.
5 “14 Pertempuran dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia”, Markijar.
6 “Perjanjian-perjanjian dalam Rangka Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia” dalam situs Poros Ilmu. <http://www.porosilmu.com/2015/12/perjanjian-perjanjian-dalam-rangka.html>.
7 “Perjanjian-perjanjian dalam Rangka Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia”, Poros Ilmu.