Oleh S.P. Tumanggor
Tandu itu disediakan warga pedalaman Kuala Kapuas untuk membawa Bung Karno ke tempat istirahat. Waktu itu, di Pulau Kalimantan pada pertengahan tahun 1957, sang proklamator dan presiden pertama Indonesia tengah dalam perjalanan untuk memancang tiang pertama Kota Palangka Raya. Di luar perkiraan warga, Bung Karno tidak menaiki tandu tapi malah mengambil bendera Merah Putih kecil yang ada di sekitar situ dan menaruhnya di atas tandu.1
Tindakan Bung Karno, yang membuat hadirin terkesan, mengungkapkan ketulusannya terhadap keindonesiaan. Di antara warga Dayak, ia selaku orang Jawa-Bali menunjukkan bahwa entitas Indonesia adalah pemersatu di tengah keragaman. Ketulusannya putih—seperti pemaknaan putih pada bendera Merah Putih kita—bagi persatuan Indonesia. Dan jejak putih yang sama dapat kita jumpai dalam kisah-kisah para pendahulu kita yang merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Putih bagi persatuan itu senantiasa mementingkan Indonesia di atas golongan sendiri. Tahun 1925 bersaksi mengenainya tatkala Perhimpunan Indonesia—perkumpulan mahasiswa Nusantara di Belanda—mengeluarkan Manifesto Politik yang “dengan tegas berbicara tentang kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan di antara sesama warga jajahan”.2
Tahun 1928 bersaksi lebih lanjut mengenainya tatkala Kongres Pemuda II menghasilkan rumusan Sumpah Pemuda tentang persatuan Indonesia dalam hal tanah air, bangsa, dan bahasa. Para peserta dari berbagai suku Nusantara begitu bersemangat untuk berbahasa Indonesia—meski kebanyakan belum mahir menggunakannya. Sampai-sampai ketika wakil ketua sidang menanyakan apakah mereka siap berbahasa Indonesia, mereka menjawab, “Sikkkaap!”3
Tahun 1945 juga menyaksikan bagaimana putih bagi persatuan menghasilkan dasar negara Pancasila yang mengayomi setiap orang Indonesia sebagai warga negara berkedudukan setara dan yang salah satu silanya tegas menyatakan, “Persatuan Indonesia”. Tidak mulus jalannya, tapi kerelaan warga mayoritas dan minoritas berhasil merupa Indonesia yang bersatu padu.
Hari ini rasanya kita perlu menonton ulang babak-babak sejarah itu untuk membersihkan putih bagi Indonesia yang mungkin telah terkotori di hati kita.
Putih bagi persatuan pun senantiasa mementingkan Indonesia di atas diri sendiri. Ketika Indonesische Vereniging (kelak menjadi Perhimpunan Indonesia) hendak menerbitkan majalah dwibulanan Hindia Poetra, disepakatilah bahwa nama-nama pengarang tidak akan muncul dalamnya. Tujuannya adalah supaya isi majalah yang manjur menyiarkan ide-ide antipenjajahan itu “mencerminkan pendapat kolektif”—dalam kata-kata Bung Hatta.4
Begitu pun dicontohkan Muhammad Yamin, tokoh besar asal Minangkabau yang tak sedikit mengundang kontroversi tapi tak diragukan lagi putihnya bagi persatuan Indonesia. Terlalu banyak sumbangannya bagi entitas Indonesia lewat, antara lain, penulisan teks Sumpah Pemuda, penggagasan Pancasila, pembuatan lambang Garuda Pancasila, bahkan mungkin penggubahan syair “Indonesia Raya”. Tapi ia membiarkan dirinya tidak mashur karena semua itu.5
Lalu Wolter Monginsidi, pejuang asal Minahasa yang mati muda di tahun 1949 oleh regu tembak Belanda. Ia ikhlas berkorban nyawa demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan karena entitas Indonesia itu telah diresapi jiwanya. “Pengertian tanah air Indonesia,” tulisnya, “buat saya sendiri hampir-hampir saja sebagai suatu wujud yang berbentuk nyata sekali. Saya penuh percaya bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”6
Hari ini rasanya kita perlu membaca ulang cerita-cerita kepahlawanan itu untuk menajamkan putih bagi Indonesia di hati kita.
Semua kisah itu mengajari kita bahwa tanpa ketulusan putih bagi persatuan, maka entitas hebat Indonesia tak akan pernah terwujud. Orang bisa saja berpendapat bahwa setiap daerah atau suku di Indonesia dapat menjadi entitas hebat masing-masing, tapi persatuan Indonesia pastinya bisa lebih hebat daripada kemasing-masingan itu—karena lebih besar dan beragam. Kita hanya perlu memberinya kesempatan untuk menggapai seluruh potensi maksimalnya.
Setelah menaruh bendera Merah Putih kecil pada tandu di Kuala Kapuas itu, Bung Karno bertindak lebih mengesankan lagi: ia mengajak pemuda-pemuda yang sudah berkumpul di sana untuk bersama-sama memikul tandu itu ke perhentian yang telah disiapkan.7 Bukankah ini teladan luar biasa tentang putih bagi persatuan Indonesia?
Mari kita pikul tandu keindonesiaan bersama-sama dengan berani dan tulus—merah dan putih—ke perhentian keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
Catatan
1 Kisah tentang Bung Karno di Kuala Kapuas dipetik dari P.M. Laksono dkk. Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia: Belajar Tjilik Riwut. Yogyakarta: Penerbit Galangpress, 2006, hal. 62-63. Tjilik Riwut sendiri adalah pahlawan nasional sekaligus gubernur pertama Kalimantan Tengah.
2 “Pemuda yang Mendambakan Indonesia” dalam TEMPO Edisi Khusus 80 Tahun Sumpah Pemuda, no. 3736/27 Oktober-2 November 2008, hal. 24.
3 “Pemuda yang Mendambakan Indonesia”, hal. 25.
4 “Manifesto 1925: Prolog dari Belanda” dalam TEMPO Edisi Khusus 80 Tahun Sumpah Pemuda, no. 3736/27 Oktober-2 November 2008, hal. 27.
5 Lihat artikel-artikel “Hikayat ‘Penyulap Pancasila’”, “Jejak Bersama di Dada Garuda”, “Sepenggal Sumpah dari Rumah Kos”, dan “Syair Indonesia Raya untuk Soepratman” dalam Tempo Edisi Khusus Kemerdekaan: Muhammad Yamin, no. 4325/18-24 Agustus 2014.
6 S. Sinansari Ecip. Jejak Kaki Wolter Monginsidi: Sebuah Kisah Perjuangan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981, hal 131.
7 P.M. Laksono dkk., hal. 62-63.