Encim Masnah: Semangat Maestro Gambang Kromong

Oleh S.P. Tumanggor

 

“Sinden gambang kromong klasik terakhir”—itulah julukan yang diselempangkan pada Encim Masnah (lahir dengan nama Pang Tjin Nio pada tahun 1925 di Banten Lama). Itulah pula yang membuatnya dikalungi gelar “maestro seni tradisi” pada tahun 2007 oleh Menteri Budaya dan Pariwisata. Encim Masnah memang menatang semangat besar dalam melestarikan gambang kromong hingga akhir hayatnya di tahun 2014.1

Pada tahun-tahun terakhirnya, sang maestro hidup bersahaja—dan sakit-sakitan. Bicaranya tersengal-sengal, telinganya tak lagi tajam, kakinya susah dipakai berjalan. Namun, manakala diajak bicara tentang gambang kromong, semangatnya menyala-nyala. Meski sebagian giginya sudah tanggal, lirik lagu-lagu gambang kromong tidaklah tanggal dari ingatannya, dan ia tetap bersemangat melantunkannya.2 Semangatnya selaku maestro mengilhamkan teladan apik kepada kita.

Sejak remaja Masnah telah mengenal kesenian unik pemersatu budaya Tionghoa, Sunda, Betawi itu. Gambang kromong adalah orkes yang memadukan gamelan dengan alat-alat musik Tiongkok. Asal-usulnya sudah lama, ketika orang-orang Tionghoa pendatang di Batavia memainkan lagu-lagu kampung halamannya dengan iringan alat-alat musik Tiongkok yang dipadukan dengan gambang, lalu kromong. Alhasil paduan itu kemudian dikenal dengan nama “gambang kromong”.3

Dari Batavia, gambang kromong tersebar ke daerah-daerah sekitar: Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, bahkan Karawang. Gambang kromong menunjukkan fungsi seni sebagai penyemarak hidup, karena biasa ditampilkan pada pesta dan perayaan.4 Masnah memasuki denyut semarak itu dan bersemangat menggelutinya—walau tidak bisa baca not—sehingga menjadi primadona (dan menikah sampai tujuh kali!).5

Namun, seiring masa bergulir, pamor gambang kromong memudar. Rezim Orde Baru, kita tahu, menabukan hal-hal berbau Tiongkok, dan ini menjadi hantaman tersendiri bagi gambang kromong. Lalu kesenian Barat moderen mendunia dan kita sambut meriah di Indonesia dengan akibat tersisihnya bermacam kesenian khas kita, termasuk gambang kromong. Banyak kelompok gambang kromong harus bubar lantaran sepi panggilan. Sedikit saja yang bertahan.6

Masnah berada di antara yang bertahan itu. Sebagai upaya menyintas, ia dan para seniman gambang kromong harus menampilkan lagu-lagu “sayur” (populer) belaka. Padahal Masnah sangat menguasai lagu-lagu “dalem” (klasik) yang membawa pesan-pesan mendalam. Dan di awal abad ke-21 tinggal dialah yang menguasai lagu-lagu “dalem” itu sehingga julukan “sinden gambang kromong klasik terakhir” melekat padanya.7

Ironisnya, orang Barat yang kesenian moderennya menyisihkan kesenian bangsa-bangsa lain justru sangat peduli kepada kesenian khas kita—malah lebih peduli daripada kita. Maka Smithsonian Institute merekam gambang kromong dan lagu-lagu klasiknya dengan Masnah sebagai sindennya. Ford Foundation bahkan sempat membiayai dua orang untuk berguru kepada Masnah agar sinden klasik tidak punah. Sayangnya, keduanya tidak tuntas berguru.8

Singapura dan Jepang pun menghargai gambang kromong dan kemaestroan Masnah. Ia diundang berpentas di kedua negara itu. Berkebaya dan bersarung batik, ia tampil di gedung durian Esplanade, Singapura, pada tahun 2006 dan membawakan lagu-lagu gambang kromong dengan penuh semangat. (Kebaya dan sarung itu disediakan warga Singapura.)9

Kisah semacam itu—diapresiasi bangsa lain lebih dari bangsa sendiri—kerap menonjol dalam riwayat hidup maestro-maestro seni tradisi Indonesia. Ini sebetulnya menohok kita sebagai satu bangsa untuk serius menyelaraskan seruan pelestarian budaya Indonesia dengan praktiknya. Ini juga sebetulnya merangsang kita untuk memikirkan isu kerelevanan atau perelevanan seni tradisi seperti gambang kromong bagi generasi terkini.

Bagaimanapun, semangat maestro Encim Masnah baik untuk kita serap dan terapkan dalam bidang pekerjaan kita masing-masing. Biarlah kita juga menyala-nyala dalam menggarap ranah kita dan mengupayakan karya-karya indah kelas maestro. Mungkin semangat itu juga dapat memandu kita sebagai satu bangsa untuk secara inovatif memecahkan masalah kepudaran seni-seni tradisi kita.

Menjelang akhir hayatnya, Encim Masnah tinggal bersama keluarga putranya di rumah berdinding bata tanpa lapisan semen. Jelas, rumah yang terletak di perkampungan bergang sempit itu10 tidak sepadan dengan jasanya bagi seni tradisi Indonesia. Namun, seperti dikatakan seorang penulis, “[b]agi Masnah …, memainkan gambang kromong dari udik ke udik di malam dingin adalah sebuah panggilan untuk tetap membuat musik ini tetap bernapas.”11

Itulah semangat maestro.

 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

 

Catatan

1 Iwan Santosa dan Irwan Julianto. “Sinden Gambang Keromong Klasik Terakhir” dalam situs Kompas. <http://megapolitan.kompas.com/read/2012/02/06/03054134/Sinden.Gambang.Keromong.Klasik.Terakhir>; Aryawirawan Simauw. “Mengenang Encim Masnah – Maestro Gambang Kromong Dalem” dalam situs Citra Nusantara. <http://citranusantara.id/seni-budaya/1360-mengenang-encim-masnah-maestro-gambang-kromong-dalem>; “Penghargaan untuk 27 Maestro Seni Tradisi” dalam Sinar Harapan terbitan 02.01.2008.

2 Iwan Santosa dan Irwan Julianto, “Sinden Gambang Keromong Klasik Terakhir”; Aryawirawan Simauw, “Mengenang Encim Masnah”; Agung Putu dan Thomas Kukuh. “Encim Masnah, Sinden Pewaris Terakhir Gambang Kromong Klasik” dalam situs JPNN. <http://www.jpnn.com/news/encim-masnah-sinden-pewaris-terakhir-gambang-kromong-klasik>.

3 Aryawirawan Simauw, “Mengenang Encim Masnah”. Gambang adalah alat musik pukul yang memiliki 18 bilah kayu sedangkan kromong adalah alat musik pukul yang memiliki sepuluh buah gong logam. Gambar-gambarnya dapat dilihat, antara lain, di “Alat Musik Tradisional Jakarta” dalam situs GPS Wisata Indonesia. <https://gpswisataindonesia.wordpress.com/2014/06/05/alat-musik-tradisional-jakarta/>.

4 Aryawirawan Simauw, “Mengenang Encim Masnah”; Bang San. “Sejarah Gambang Kromong” dalam situs Orang Betawi. <http://www.orangbetawi.com/2016/08/sejarah-gambang-kromong/>.

5 Sky. “Masnah, Sosok Terakhir Gambang Kromong Klasik” dalam situs Langit Perempuan; Agung Putu dan Thomas Kukuh. “Encim Masnah, Sinden Pewaris Terakhir Gambang Kromong Klasik”.

6 Sky, “Masnah, Sosok Terakhir Gambang Kromong Klasik”; Agung Putu dan Thomas Kukuh. “Encim Masnah, Sinden Pewaris Terakhir Gambang Kromong Klasik”.

7 Iwan Santosa dan Irwan Julianto, “Sinden Gambang Keromong Klasik Terakhir”; Aryawirawan Simauw, “Mengenang Encim Masnah”.

8 Iwan Santosa dan Irwan Julianto, “Sinden Gambang Keromong Klasik Terakhir”; Agung Putu dan Thomas Kukuh. “Encim Masnah, Sinden Pewaris Terakhir Gambang Kromong Klasik”.

9 Iwan Santosa dan Irwan Julianto, “Sinden Gambang Keromong Klasik Terakhir”; Sky, “Masnah, Sosok Terakhir Gambang Kromong Klasik”.

10 Agung Putu dan Thomas Kukuh. “Encim Masnah, Sinden Pewaris Terakhir Gambang Kromong Klasik”.

11 Irfan Budiman. “Kisah Naga dan Gambang Kromong” dalam blog Irfan Is Me. <http://irfanisme.blogspot.co.id/2010/02/kisah-naga-dan-gambang-kromong.html>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *