Oleh Samsu Sempena
Coppong Daeng Rannu, atau lebih dikenal dengan panggilan Mak Coppong, adalah penari pakarena yang piawai. Lahir tahun 1920 di Gowa, Sulawesi Selatan, hatinya tergugah saat diminta ibunya belajar menari sebagai penerus tradisi keluarga. Pada usia sepuluh tahun, Coppong kecil menari untuk pertama kalinya di Balla Lompoa, istana raja Gowa.1 Sejak saat itu, ia konsisten menggeluti seni tari Gowa, khususnya tari pakarena, sehingga menjadi seorang maestro. Kita bisa belajar banyak dari kekonsistenannya.
Semula tari pakarena hanya dipentaskan di istana, namun kemudian meluas di tengah masyarakat. “Pakarena” dalam bahasa Makassar berarti “pemain” (yakni penari).2 Tari pakarena dipentaskan oleh beberapa wanita yang membawa kipas. Ganrang (sejenis gendang) yang bertalu-talu dan puik-puik (sejenis seruling) yang mendayu-dayu mengiringi gerakan gemulai mereka.3 Keanggunan gerak dan semarak musik tradisional berpadu dalam tarian yang menjadi ikon kesenian Sulawesi Selatan itu.
Akan tetapi, profesi penari di Makassar abad ke-20 rupanya tidak dipandang semulia masa dahulu. Tak heran Mak Coppong banyak menerima cemoohan tetangga yang menganggap rendah profesi penari. Namun, ia membungkam segala cemoohan itu dengan konsisten menari. Lambat laun ia mulai diapresiasi dan diberi penghargaan oleh berbagai pihak, bahkan diundang menari di pentas-pentas bergengsi sampai ke luar negeri.4
Pada tahun 1999, Mak Coppong mendapat penghargaan dari Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya atas pengabdiannya dalam melestarikan seni budaya Makassar. Pada tahun 2008, ia mendapat gelar “maestro seni tradisi” dari presiden lewat Menteri Kebudayaan. Masih ada beberapa penghargaan lain yang diterimanya di dalam negeri,5 dan yang memang pantas baginya karena hanya segelintir orang yang bertekun melestarikan seni budaya daerah.
Dari luar negeri berdatangan pula apresiasi besar terhadap kekonsistenan Mak Coppong. Maka di tahun 2004 ia melalang buana, menari dalam pementasan I La Galigo (epik asal Sulawesi Selatan) di Singapura, Eropa, Amerika Serikat, dan Australia.6 Saat itu usianya sudah 80-an, tetapi dikatakan bahwa “terasa daya hidup mengagumkan yang terkandung pada sikap tubuh dan gesturnya”.7
Kendati demikian, kehidupan sehari-hari Mak Coppong di masa tuanya sangatlah tidak sebanding dengan pencapaiannya. Ia tinggal di Dusun Lompokiti, Desa Kampili, Kabupaten Gowa, dalam rumah panggung yang sederhana. Dinding rumah itu berlubang termakan rayap dan kayu terali jendelanya nyaris patah. Ruang tengahnya hanya diisi sepasang kursi dan sebuah almari yang memuat televisi berukuran 21 inci.8 Sungguh sederhana!
Banyak faktor yang menyebabkan maestro seperti Mak Coppong harus hidup ala kadarnya. Salah satunya adalah kurangnya apresiasi generasi mutakhir terhadap seni tradisi—walaupun seruan tentang pelestariannya terus digaungkan (dan kita aminkan). Barangkali salah satu cara untuk mengapresiasi seni tradisi adalah dengan mengenali estetika dan nilai luhurnya yang bersifat abadi—selalu relevan dengan zaman.
Kesenian memang merupakan wadah hebat untuk mengejawantahkan kapasitas estetis yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia. Melalui seni tari, Mak Coppong menunjukkan pengelolaan kapasitas itu secara maksimal—sehingga menjadi maestro. Baginya menari sudah menjadi panggilan hidup. Sambil menjalani panggilan itu, ia berjuang agar seni tradisi suku Makassar tak lenyap tergerus budaya populer.
Kita dapat dan perlu meneladani Mak Coppong dalam menggeluti panggilan hidup kita masing-masing. Kita bisa mengejar “kegemulaian” (baca: kemahiran) dalam bidang pekerjaan kita, apa pun itu. Kita bisa konsisten berkarya di depan segala macam tantangan sehingga menghasilkan karya-karya yang seindah dan sebaik mungkin demi kemegahan bangsa.
Pada tahun 2010 Mak Coppong meninggal dunia di usia 90 tahun—setelah konsisten menari selama 80 tahun. Ia menjadi teladan bagi setiap orang yang ingin menjadi maestro di bidangnya.
Samsu Sempena adalah seorang praktisi teknologi yang bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 Ulfah Nurhazizah. “Mak Coppong” dalam situs M2 Indonesia. <https://m2indonesia.com/tokoh/sastrawan/mak-coppong.htm>
2 “Tari Pakarena” dalam situs Rumah Belajar Kemendikbud Republik Indonesia. <https://belajar.kemdikbud.go.id/PetaBudaya/Repositorys/TariPakarena/>.
3 “Tari Pakarena”, Rumah Belajar Kemendikbud Republik Indonesia.
4 “Mak Coppong”, M2 Indonesia.
5 “Mak Coppong”, M2 Indonesia; Abdul Rahman. “Maestro Kesenian Tradisional Asal Sulsel [Satu]” dalam blog My Journalist. <http://rahmanparisabdi.blogspot.co.id/2009/01/maestro-kesenian-tradisional-asal_2857.html>.
6 “Mak Coppong”, M2 Indonesia.
7 “Hening Panggung Mak Coppong” dalam situs Gatra. <http://arsip.gatra.com/2005-12-16/majalah/artikel.php?pil=23&id=90641>.
8 Abdul Rahman, “Maestro Kesenian Tradisional Asal Sulsel [Satu]”.
9 “Tari Pakarena”, Rumah Belajar Kemendikbud Republik Indonesia.