Oleh S.P. Tumanggor
Satu cara seru untuk mengapresiasi dan mengokohkan cinta kepada Indonesia adalah dengan menjelajahi tanah air yang teramat permai ini. Saya bersyukur karena keluwesan jam kerja memungkinkan saya berbuat demikian. Banyak tempat sudah saya tandangi di Nusantara dan banyak pengalaman berharga sudah saya peroleh. Dan satu hal hebat yang saya dapati sangat memudahkan jelajah Nusantara adalah bahasa Indonesia.
Sejak diikrarkan sebagai bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda 1928 lalu disahkan sebagai bahasa negara dalam UUD 1945, bahasa Indonesia telah diajarkan di seantero Nusantara. Pengajaran ini terbilang sukses sehingga orang Indonesia pada umumnya bisa berbahasa Indonesia. Jelas penjelajahan saya mendapat manfaat besar dari kenyataan itu.
Bahasa Indonesia memungkinkan saya berkomunikasi dengan banyak orang di bermacam daerah. Berbahasa Indonesia, saya bisa menyepakati harga “taksi laut” (perahu) dengan bapak Papua pemiliknya untuk mengantar saya ke Pulau Dofior dari Pulau Doom yang penuh peninggalan sejarah. Berbahasa Indonesia, saya bisa menawar harga ukiran kerbau dari seniman Toraja di Kete’ Kesu yang memukau itu atau harga durian dari remaja Lampung penjualnya sepulang menonton atraksi gajah di Way Kambas.
Berbahasa Indonesia pula saya bisa mendapat jawaban tentang letak pasar apung Lok Baintan dari warga Banjar di kampung dekat situ dan bisa minta berfoto dengan warga Melayu pemburu tupai dalam perjalanan kembali ke Pontianak dari Monumen Mandor. Di Sawarna, Banten, seorang warga setempat memberitahu saya dalam bahasa Indonesia agar mewaspadai gelombang tatkala saya menghampiri Karang Beureum yang fantastis itu.
Karena dikuasai oleh rakyat yang bermacam, bahasa Indonesia menyemarakkan pula jelajah saya dengan kekayaan logat dan varian. Maka sedaplah saya simak bahasa Indonesia berlogat Madura waktu bercakap dengan ibu pedagang di area Mercusuar Sambilangan atau bahasa Indonesia berlogat Alor waktu dipasangi busana suku Abui oleh bapak di desa adat Takpala atau bahasa Indonesia berlogat Bali waktu diundang mampir ke warung warga setempat sebalik dari air terjun Tukad Cepung yang fenomenal itu.
Di Kota Medan, saya mendengar kata “klen”, varian dari “kalian”. Di Kota Ternate, saya mendengar kata “saya” digunakan dengan makna “ya” (ketika menjawab sapaan). Di Tanah Makassar, saya kaget ketika ditanyai seorang bapak, “Kita dari mana?” Kami baru saja bertemu saat itu dan ia bertanya “kita dari mana”! Rupanya “kita” digunakan dengan arti “Anda”. Varian-varian seperti ini menjadi bumbu jelajah yang menggelitik dan menyenangkan.
Tapi peran terpenting bahasa Indonesia yang saya temukan dalam berjelajah adalah sebagai penjalin rasa kebersamaan—dalam kesebangsaan—yang guyub. Demikianlah halnya ketika saya berjumpa beberapa pemuda asal Pulau Lembata di Kelimutu, kawah dan danau tiga warna yang tersohor itu. Bertukar sapa dan cerita dalam bahasa Indonesia, rasa bersahabat segera timbul dan kami tidak berpisah jalan tanpa berfoto-foto bersama dulu.
Demikian pula di Malang, saya dan bapak Jawa penjaga Candi Kidal mendapati kesamaan wawasan tentang peninggalan sejarah bangsa setelah bertukar pikiran dalam bahasa Indonesia. Di Mataram, saya dan pengusaha Sasak pemilik toko kerajinan mendapati sama-sama menggandrungi tempat-tempat mengasyikkan. Berbahasa Indonesia, ia berbicara tentang pulau-pulau di Sekotong dan tentang Pantai Semeti—tempat-tempat mempesona yang saya jelajahi di kemudian hari.
Betapa hebatnya bahasa Indonesia di tanah air Indonesia yang cantik menawan untuk dijelajahi ini! Betapa hebatnya bahasa Indonesia di lidah bangsa Indonesia yang bermacam-macam suku ini!
Barangkali kehebatan itu jarang disadari oleh orang Indonesia sendiri. Sebetulnya, jika orang Indonesia serius “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, maka bahasa yang telah menjembatani daerah dan suku dari Merauke sampai Sabang ini bisa saja menjadi bahasa jelajah/antarbangsa di kawasan Asia Tenggara pula—atau bahkan di dunia! (Wacana tentang yang belakangan ini masih hidup juga sampai sekarang, bukan?)
Saya berharap bahwa sebelum tutup usia nanti saya sudah sebanyak mungkin menjelajahi Indonesia, sebab inilah negeri yang paling dekat dan lekat di hati saya. Bermodal bahasa jelajah Nusantara, bahasa Indonesia yang mulia, ayo ikut jejak saya!
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.