Oleh S.P. Tumanggor
“Aku percaya kepada … kebangkitan tubuh”.1 Kata-kata agung itu masih sering dilafalkan umat Kristen di banyak gereja yang memegang tradisi pengucapan Pengakuan Iman Rasuli. Gagasan alkitabiah di baliknya menandaskan bahwa di kekekalan nanti, di langit dan bumi yang baru, kita tidak akan menjadi roh tanpa tubuh (yang melayang di awan-awan sambil main kecapi!). Sebaliknya, kita akan tetap memiliki tubuh, yang akan dibangkitkan Allah dari kematian.
Hal itu tak terlepas dari peran Kristus, Sang Firman Allah. Ketika Ia datang pertama kali ke bumi dalam peristiwa Natal, Ia mengenakan tubuh yang kemudian disalibkan, mati, bangkit kembali, lalu naik ke sorga. Dari sorga Ia akan datang lagi ke bumi di akhir zaman dan “mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia” (Fil. 3:21).
Sungguh pengharapan yang luar biasa! Di Betlehem Firman telah menjelma, menjadi bertubuh, untuk menyelamatkan tubuh, jiwa, dan roh manusia. Kebangkitan tubuh-Nya dari kematian ditentukan Allah sebagai pembuka jalan kebangkitan tubuh manusia-manusia lain dari kematian pula—dalam keadaan baru yang mulia dan tak akan pernah mati lagi. Inilah kontras dari keadaan hina dan fana yang melilit tubuh manusia sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa.
Kesudian Firman menjadi manusia, menjadi bertubuh, mengingatkan kita bahwa tubuh manusia sejak semula diciptakan Allah sebagai hal yang baik. Karena baik, maka Firman mau mengenakan tubuh. Dalam tubuh Ia mengalahkan kuasa dosa yang menjajah tubuh sehingga kelak kita bisa mengganti tubuh kita, yang sekarang hina akibat terjajah kuasa dosa, dengan tubuh mulia. Tubuh mulia ini serupa dengan tubuh-Nya setelah bangkit dari kematian.
Seperti disaksikan Alkitab, tubuh Kristus pasca kebangkitan tetaplah tubuh—daging dan tulang—namun dengan kemampuan luar biasa. Bahwa tubuh-Nya tetap tubuh ditunjukkan oleh, antara lain, kapasitas inderanya yang berfungsi penuh. Ia bisa melihat murid-murid-Nya, mendengar suara mereka, meraba ikan dan roti yang dipanggang-Nya bagi mereka, mencium baunya, dan mengecap ikan goreng yang diberikan mereka kepada-Nya (lihat Yoh. 21:1-14; Luk. 24:36-43).
Bahwa tubuh-Nya memiliki kemampuan luar biasa ditunjukkan oleh kebisaan-Nya muncul dalam ruangan terkunci (Yoh. 20:19) dan menghilang dari pandangan (Luk. 24:31). Itu baru sekelumit hal saja yang diberitahukan Alkitab tentang kemampuan tubuh mulia-Nya. Selebihnya masih rahasia. Namun, kini dan di sini, kita dapat mengantisipasi kebangkitan tubuh dalam keadaan mulia itu dengan mengapresiasi fungsi-fungsi tubuh kita, khususnya kelima indera.
Apresiasi kita adalah dengan cara menikmati seluas-luasnya kapasitas indera (tentu dalam batasan-batasan yang diizinkan Allah) dan menggunakannya sebaik-baiknya untuk berkarya memuliakan Allah dan memberkati sesama.
Jadi, selagi di bumi ini dan menanti kebangkitan tubuh, kita umbarlah mata untuk menikmati berbagai pemandangan menakjubkan, gambar dan lukisan rancak, tontonan mengasyikkan. Kita umbarlah telinga untuk menikmati berbagai suara dan bunyi di jagat, musik berbagai genre, monolog/dialog yang bermakna. Kita umbarlah hidung untuk menikmati berbagai aroma: bebauan alam, bebungaan, rempah-rempah, parfum, dll.
Kita umbarlah lidah/mulut untuk menikmati berbagai rasa: manis, asin, asam, pahit, dan pedas. Kita umbarlah kulit untuk meraba berbagai tekstur: sutra halus, kayu berurat, pasir mengersai, kulit indah suami/istri kita. Kita akan tetap memiliki semua alat indera itu di langit dan bumi yang baru, maka kini dan di sini kita rayakanlah kapasitasnya secara maksimal dan bertanggung jawab, sebab segala kesenangan badani yang sehat di bumi ini adalah karunia Allah jua (Pkh. 3:12-13).
Dalam pada itu, kita kerahkan indera-indera untuk membantu tubuh kita menggubah karya-karya mulia: tulisan, rancangan sistem, teknologi, bangunan, busana, ukiran/pahatan, masakan, dsb. yang sebaik mungkin. Dengannya masyarakat, bangsa, dan dunia dilimpahi faedah dan Allah disukakan karena kita memanfaatkan tubuh ciptaan-Nya demi kebaikan.
Demikianlah kita mengapresiasi tubuh kita, ciptaan yang baik namun hina akibat terjajah kuasa dosa, sambil mengantisipasi kedatangan kembali Kristus. Ia akan mencabut kehinaan dan keterjajahan itu dari tubuh dan menggantinya dengan kemuliaan. Ya, kita “percaya kepada … kebangkitan tubuh”!
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
Catatan
1 Beberapa gereja memakai ungkapan “kebangkitan daging” atau “kebangkitan orang mati” alih-alih “kebangkitan tubuh”. Maknanya sama saja.