Oleh S.P. Tumanggor
Minggu malam tanggal 21 Mei 2006 Kota Podgorica di Montenegro hingar bingar. Klakson kendaraan berbunyi riuh, senjata dan petasan meletup di sana-sini, kaum muda melambai-lambaikan bendera berwarna merah dan emas—bendera monarki Montenegro. Semua mengungkapkan sukacita karena warga yang ingin merdeka memenangkan pungutan suara atas warga yang ingin mempertahankan negara federal Serbia-Montenegro.1
Sampai Senin pagi pesta kegembiraan itu masih berlanjut,2 tapi tampaknya sedikit saja peserta pesta yang sadar bahwa di balik segala sukaria itu ada kerepotan karena negara buyar.
Serbia dan Montenegro—masing-masing merupakan nama suku sekaligus nama negeri—memiliki sejarah panjang bersama. Pasca Perang Dunia I mereka bergabung dalam Kerajaan Yugoslavia bersama beberapa suku/negeri Slav selatan (”jugoslav”) lain. Pasca Perang Dunia II kerajaan itu berubah menjadi republik federal dengan nama yang sama.3
Ketika Republik Yugoslavia buyar di tahun 1990-an, Serbia dan Montenegro tetap kompak dalam satu negara yang memakai paduan nama mereka: Serbia-Montenegro. Inilah negara pewaris resmi Yugoslavia—sampai Montenegro akhirnya memilih berpisah “baik-baik” di tahun 2006 itu untuk berkembang sendiri.
Buyarnya suatu negara tak mungkin tidak melibatkan kerepotan—belum lagi kekecewaan dan kesedihan. Lantaran buyar, angkatan perang Serbia-Montenegro harus pecah juga. Para tentara dan perwira dari suku Serbia harus dipindahkan ke Serbia, dan begitu pula sebaliknya dengan para tentara dan perwira bersuku Montenegro. Jumlah mereka ratusan—bahkan ribuan!4
Presiden Serbia-Montenegro harus meletakkan jabatan, dan masing-masing negara harus memilih pemimpin baru. Rumah-rumah kedutaan dan aset-aset di luar negeri bisa menjadi pokok sengketa dan harus mereka bagi lewat perundingan. Mereka bahkan tidak bisa menyepakati satu utusan untuk kontes nyanyi Eurovision di Athena sehingga membatalkan keikutsertaan. (Untunglah mereka masih bisa sepakat bermain bola bersama sebagai Serbia-Montenegro dalam Piala Dunia 2006 di Jerman.)5
Lantaran buyar, Serbia kehilangan pantai dan laut (yang terletak di wilayah Montenegro). Montenegro kehilangan banyak SDM (karena perbandingan penduduk Montenegro dan Serbia adalah 1:9). Montenegro pun harus mengajukan permohonan untuk menjadi anggota PBB dan organisasi-organisasi internasional lainnya, sebab Serbialah yang dianggap mewarisi keanggotaan Negara Serbia-Montenegro.6
Sungguh repot!
Mujur sekali bahwa di tengah segala kerepotan itu tidak sampai terjadi perang (seperti yang dialami suku/negeri lain sewaktu berpisah dari Yugoslavia). Orang Montenegro utara ingin mempertahankan Serbia-Montenegro, tapi orang Montenegro selatan percaya diri bahwa Montenegro akan lebih maju tanpa Serbia. Kekecewaan dan kesedihan tentu melilit warga utara karena mereka hanya kalah tipis dalam pungutan suara (44% banding 56%).7
Jika Serbia-Montenegro yang relatif kecil saja begitu repot ketika buyar, bagaimana lagi dengan negara sebesar Indonesia? Jika Indonesia sampai buyar, kerepotannya tentu lebih besar, begitu pula kekecewaan dan kesedihan atas kenangan tentang Indonesia Raya yang ajaib karena suku-sukunya telah bisa bersatu walau hidup di ribuan pulau yang dipisahkan laut (sementara suku-suku Eropa lebih sulit bersatu walau hidup di satu daratan tanpa dipisahkan laut).
Semoga itu tidak terjadi! Persatuan sebetulnya baik sekali, asalkan pihak-pihak yang bersatu bisa selalu duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Dengan bersatu, wilayah menjadi lebih luas, peluang penghidupan lebih banyak, SDM dan SDA lebih berlimpah. Maka buyar dari persatuan yang baik hanya akan merugikan, selain merepotkan—dari hal yang besar sampai yang kecil.
“Coba bayangkan kalau negeri ini pecah belah,” ujar Wapres Jusuf Kalla, “orang Batak ke Jawa harus pakai paspor. Orang Sulawesi harus pakai paspor.”8 Jika kerepotan itu tak diinginkan terjadi, maka setiap lembaga politik, pemerintahan, pendidikan, keagamaan, keluarga, dsb. wajib menanamkan pada diri warga Indonesia kepercayaan dan iktikad baik terhadap persatuan baik (yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi itu). Warisan Indonesia Raya harus diyakini (dan dikelola) sebagai sesuatu yang baik.
Tanggal 3 Juni 2006 Montenegro mengumumkan kemerdekaannya, dan Serbia menyusul bertindak serupa beberapa hari kemudian. Segala kerepotan perpisahan mereka memastikan pupusnya nama Negara Serbia-Montenegro dari muka bumi sekaligus nama besar Yugoslavia yang selama beberapa waktu diwarisinya.9
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
Catatan
1 “The Split from Serbia” dalam situs The Economist. <http://www.economist.com/node/6967738>; “Montenegro chooses independence” dalam situs BBC News. <http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/5003220.stm>.
2 “The Split from Serbia”, The Economist.
3 Tim Judah. “Yugoslavia: 1918-2003” dalam situs BBC. <http://www.bbc.co.uk/history/worldwars/wwone/yugoslavia_01.shtml>.
4 “Serbia and Montenegro pave separate roads” dalam situs The New York Times. <http://www.nytimes.com/2006/06/04/world/europe/04iht-balk.1884692.html>.
5 “Serbia and Montenegro pave separate roads”, The New York Times; Ian Traynor. “Montenegro vote finally seals death of Yugoslavia” dalam situs The Guardian. <https://www.theguardian.com/world/2006/may/22/balkans>.
6 “Montenegro chooses independence”, BBC News; Ian Traynor, “Montenegro vote finally seals death of Yugoslavia”.
7 “Montenegro chooses independence”, BBC News; Ian Traynor, “Montenegro vote finally seals death of Yugoslavia”.
8 “JK: Kalau Pecah, Orang Batak ke Jawa Pakai Paspor” dalam situs Jawa Pos. <https://www.jawapos.com/read/2017/07/08/142912/jk-kalau-pecah-orang-batak-ke-jawa-pakai-paspor?amp=1>.
9 Adam Taylor. “The 9 Newest Countries in the World” dalam situs The Washington Times. <https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2014/09/16/the-9-newest-countries-in-the-world/?utm_term=.e020018e5841>.