Uni Soviet: Buyar karena Mimpi yang Tak Tergapai

Oleh Victor Sihombing

 

“Akhir dari Uni Soviet; Negara Soviet, Lahir dari Mimpi, Mati”. Demikian bunyi tajuk berita yang ditulis jurnalis Serge Schemann untuk The New York Times pada tanggal 26 Desember 1991.1 Sehari sebelumnya, negara raksasa Uni Soviet buyar—dan membuat dunia gempar. Negara Soviet, salah satu adikuasa di bumi, pecah karena tidak berhasil menggapai mimpi yang mendasari kelahirannya.

Mimpi itu, yang disebut Schemann sebagai “ilusi utopia”, berkaitan dengan keinginan kaum komunis Rusia membangun masyarakat yang “sama rata sama rasa”—tanpa kepemilikan pribadi dan tanpa kelas-kelas sosial. Untuk mewujudkannya, pada tahun 1917 mereka merebut kekuasaan di Rusia, tak lama setelah rakyat melengserkan Nikolai II, kaisar Rusia. Negara Republik Sosialis Rusia pun berdiri.2

Pada tahun 1922, Rusia membentuk Republik Sosialis Uni Soviet bersama tiga republik tetangganya: Ukraina, Belarusia, dan Trans-Kaukasia (kemudian menjadi Armenia, Azerbaijan, dan Georgia). Wilayah republik baru ini meluas pada tahun-tahun berikutnya dengan bergabungnya republik-republik Asia Tengah (Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kazakhstan, Kirgizstan), Republik Moldova, dan negara-negara Baltik (Lituania, Latvia, Estonia).3

Dengan 15 negara bagian, Uni Soviet pun menjadi negara amat luas yang mencakup setengah benua Eropa dan sepertiga benua Asia. Dan demi mewujudkan mimpi “sama rata sama rasa”, kepemilikan pribadi dan pasar hampir seluruhnya ditiadakan pemerintah Soviet. Rakyat dikontrol ketat, tak bebas bicara dan berpendapat, bahkan dibunuh begitu saja atau dimasukkan kamp kerja paksa jika dicurigai pemerintah. Semua agama diberangus karena Negara Soviet berpaham ateis.4

Semua tindakan itu berbuah pahit. Ekonomi menjadi jumud karena negara tidak dikelola dengan baik sehingga kemiskinan dan kelaparan melanda rakyat. Sementara itu, para pejabat rajin korupsi dan hidup dalam kemewahan.5 Kekesalan rakyat, terutama di negara-negara bagian, tersimpan bak api dalam sekam. Mimpi “sama rata sama rasa” yang utopis itu memang tak bisa digapai.

Api kekesalan itu bahkan tak terpadamkan ketika angin perubahan bertiup seiring tampilnya Mikhail Gorbachev sebagai pemimpin Uni Soviet di tahun 1985. Glasnost (“keterbukaan”) dan perestroika (“restrukturisasi”), kebijakan Gorbachev yang mereformasi sistem ekonomi sehingga tak dikuasai penuh oleh negara dan sistem politik sehingga suara rakyat bisa didengar lewat parlemen, justru membantu percepatan buyarnya Uni Soviet.6

Pada tahun 1990-1991 ketiga negara Baltik, yang dicaplok Uni Soviet pada tahun 1940, menyatakan merdeka. Ukraina dan republik-republik lain menyusul kemudian. Riwayat Uni Soviet pun tamatlah, meski pada akhir tahun 1991 Rusia, Ukraina, dan Belarusia membentuk Persemakmuran Negara-negara Merdeka (PNM) sebagai bentuk kerja sama dalam berbagai bidang perdagangan, keamanan, demokrasi, dll. Hari ini sembilan dari 15 negara mantan Uni Soviet menjadi anggota PNM.7

Seperti Uni Soviet, banyak bangsa lain pun lahir dari mimpi, tak terkecuali bangsa Indonesia. Namun, berbeda dengan mimpi Soviet, mimpi Indonesia tentang negara yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”8 hingga kini terbukti bukan “ilusi utopia”. Indonesia mencoba menggapainya dengan memberi kebebasan kepada rakyat untuk berusaha, berpendapat, dan beragama. Walau ada kekurangan di sana-sini, Indonesia tidak pernah menjadi negara “tirai besi” seperti Uni Soviet.

Sebagian dari mimpi Indonesia masih harus digapai (khususnya “adil dan makmur” itu). Tapi Indonesia boleh berbesar hati karena mimpi itu telah dan masih mempersatukan rakyat Indonesia yang hidup dipisahkan lautan di pulau-pulau—kontras dengan rakyat Uni Soviet yang hidup disatukan daratan tetapi buyar! Tepatlah pesan Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi, “[s]yukuri negara ini dengan sebaik-baiknya, melalui saling menjaga kesatuan dan persatuan”.9

Pada tanggal 25 Desember 1991 Mikhail Gorbachev meletakkan kekuasaannya. Malam itu juga, setelah matahari tenggelam, bendera merah Uni Soviet bergambar palu dan sabit yang selalu berkibar di atas gedung Kremlin diturunkan untuk selama-lamanya.10 Tanpa kemeriahan, Uni Soviet buyar bersama mimpi yang tak tergapai.

 

Victor Sihombing adalah seorang karyawan perusahaan konstruksi fasilitas industri yang bermukim di Depok, Jawa Barat.

 

Catatan

1 Serge Schmemann. “End of The Soviet Union; The Soviet State, Born of a Dream, Dies” dalam situs The New York Times. <http://www.nytimes.com/1991/12/26/world/end-of-the-soviet-union-the-soviet-state-born-of-a-dream-dies.html?pagewanted=all>. Soviet sendiri berarti “dewan” dalam bahasa Rusia. Ini merujuk kepada perkumpulan buruh dan tentara di awal terbentuknya Uni Soviet.

2 “The road to revolution” dalam situs BBC News. <http://news.bbc.co.uk/2/hi/24613.stm>.

3 Martin McCauley, John C. Dewdney, Richard E. Pipes, Robert Conquest. “Soviet Union” dalam situs Encyclopedia Britannica. <https://www.britannica.com/place/Soviet-Union>. Dahulu sebagian besar wilayah Uni Soviet adalah wilayah kekuasaan Kekaisaran Rusia.

4 Martin McCauley dkk., Encyclopedia Britannica; “The road to revolution”, BBC News.

5 Serge Schmemann, New York Times.

6 Serge Schmemann, New York Times.

7 “Soviet Union timeline” dalam situs BBC News. <http://www.bbc.com/news/world-europe-17858981>; “Commonwealth of Indipendent States” dalam situs International Democracy Watch. <http://www.internationaldemocracywatch.org/index.php/commonwealth-of-indipendent-states>.

8 Sebagaimana termaktub dalam Mukadimah Undang-undang Dasar 1945.

9 Ali Yusuf. “Mahfud MD: Sungguh Menyesal Jika Negara Ini Terpecah” dalam situs berita Republika. <http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/06/09/ora8e0-mahfud-md-sungguh-menyesal-jika-negara-ini-terpecah>.

10 Serge Schmemann, New York Times.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *