Oleh Herdiana Situmorang
Orang-orang itu berkerumun di bawah tiga buah salib. Yesus Kristus, tersalib di antara dua penjahat, menundukkan kepala-Nya. Para penunggang kuda mengobrol, sebagian sambil menengadah memandangi-Nya. Sementara itu, seorang menikamkan tombak ke sisi kanan tubuh-Nya. Dengan langit biru muda sebagai latar, tubuh Kristus dan tombak panjang yang menikam-Nya jadi tampak menonjol.1
Gambaran itulah yang tersaji dalam “Penikaman Lambung Kristus” (Ing.: The Piercing of Christ’s Side) yang dilukis Simon Bening (s. 1483-1561), seorang iluminator (pembuat ilustrasi buku) terbesar di Eropa abad ke-16.2 Dengan piawai Bening yang berasal dari Belgia3 menampilkan kisah penikaman Kristus yang didasarkan pada Yohanes 19:34. Lukisannya mengajak kita mengenang Kristus yang tubuh-Nya terkoyak tombak kesengsaraan.
Seorang prajurit Romawi memang menikamkan tombak ke lambung Kristus yang tersalib. Ia hendak memastikan bahwa Kristus benar-benar sudah mati. Tombak yang digunakannya tentulah tombak perang prajurit Romawi yang panjangnya dua meter dan matanya berupa besi tajam berbentuk piramid.4
Kita bisa bayangkan bagaimana mata tombak itu masuk menembus kulit, daging, dan organ tubuh Kristus. Ketika ditarik keluar, koyaklah semua yang dilewatinya. Darah dan air pun keluar dari lambung Kristus yang tercabik. Tikaman itu pastilah kuat karena prajurit Romawi sudah terbiasa memakai tombak. Tak heran Bening menggambarkan si prajurit dengan raut wajah mantap dan “dingin”.
Tikaman tombak ke tubuh Kristus menambah panjang daftar sengsara yang diterima-Nya. Ia sudah begitu sengsara karena diolok-olok, disiksa, dan disalibkan. Lantas, ketika Ia mati, tubuh-Nya masih harus dizalimi pula. Tombak pengoyak itu seolah-olah menegaskan bahwa Ia tidak berharga dan layak diperlakukan dengan keji. Tubuh-Nya disengsarakan dalam hidup dan mati!
Penombakan Kristus yang mengilhami lukisan Bening itu menggenapi nubuat Alkitab: “Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, …ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya” (Yes. 53:5). Kristus ditikam karena kita, manusia berdosa, telah memberontak kepada Allah sehingga dimurkai Allah. Ia ditimpa sengsara, ganjaran murka Allah, supaya kita didamaikan dengan Allah dan memperoleh keselamatan.
Setelah diselamatkan, kita dipanggil untuk melakukan pekerjaan baik dan ikut ambil bagian dalam penderitaan-Nya. Sebagaimana tubuh Kristus koyak oleh tombak, hati kita pun koyak ketika melihat atau mengalami penindasan dan ketidakadilan yang merajalela di dunia. Semua dampak dosa itu bagai tombak kesengsaraan yang ditikamkan kepada kemanusiaan, dan kita turut menanggulanginya dengan berjerih dalam pekerjaan baik di bidang panggilan kita.
Dengan begitu, kita turut ambil bagian dalam sengsara Kristus, seperti ibu dan para pengikut-Nya di masa lalu. Dalam lukisan Bening, mereka ditampilkan di sudut kiri bawah: Maria, ibu Yesus, terkulai lunglai dan dihibur oleh Yohanes serta dua wanita lain. Ini pun menunjukkan keahlian Bening untuk melukis detil roman orang bahkan dalam media perkamen sekecil 16,8 x 11,4 cm.5
Karya Bening banyak menghias buku-buku dan kalender gereja. “Penikaman Lambung Kristus” adalah satu dari puluhan lukisannya dalam buku doa Cardinal Albert of Brandenburg.6 Pada zaman lampau karya para seniman Barat memang sarat muatan Kristen. Kekristenan merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya Barat.7 Celakanya, warisan kekristenan itu malah dicampakkan orang Barat masa kini yang suka menggunakan seni (gambar, filem, lagu) justru untuk menghina kekristenan.
Dalam lukisan-lukisannya, Bening kerap menampilkan ciri Eropa. Para penunggang kuda dan pemegang tombak dalam “Penikaman Lambung Kristus” tidak digambarkannya memakai pakaian Yahudi atau Romawi, tetapi pakaian Eropa di zamannya. Dengan cara itu kekristenan ditampilkan sebagai sesuatu yang tidak asing bagi orang Eropa. Orang Kristen dari bangsa-bangsa lain seharusnya bisa meneladani “pempribumian” yang baik itu.
Syukur kepada Allah! Kristus tidak tetap mati tetapi bangkit kembali. Bekas luka di lambung-Nya dibiarkan-Nya tetap tampak pada tubuh kebangkitan-Nya. Itulah yang diraba Rasul Tomas sehingga ia percaya bahwa Kristus menang atas maut dan berseru: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh. 20:28). Kita di masa kini pun sampai kepada keyakinan dan pengakuan yang sama setelah “meraba” dengan iman bekas luka akibat koyakan tombak kesengsaraan itu.
Herdiana Situmorang adalah seorang dokter yang bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 “The Piercing of Christ’s Side” dalam situs The J. Paul Getty Museum. <http://www.getty.edu/art/collection/objects/3994/simon-bening-the-piercing-of-christ%27s-side-flemish-about-1525-1530/>.
2 “The Da Costa Hours–Leather Edition: 121 brilliant miniatures by Simon Bening” dalam situs Adeva. <http://www.adeva.com/faks_detail_en.asp?id=731>.
3 “The Piercing of Christ’s Side”, The J. Paul Getty Museum.
4 “The Pilum (Spear)” dalam situs Roman Military.<https://romanmilitary.net/tools/pilum/>.
5 “The Piercing of Christ’s Side”, The J. Paul Getty Museum.
6 “The Da Costa Hours – Leather Edition”, Adeva.
7Jean Sorabella. “Painting the Life of Christ in Medieval and Renaissance Italy” dalam situs Met Museum. <https://www.metmuseum.org/toah/hd/chri/hd_chri.htm>.