Oleh S.P. Tumanggor
Perayaan HUT RI adalah perayaan bangsa besar yang punya sejarah perpindahan leluhur dari benua ke kepulauan lewat laut luas. Diperkirakan berasal dari Asia daratan, para pendahulu kita berbulat tekad untuk mempelajari, mengarungi, dan mengakrabi air asin sehingga menemukan rangkaian nusa terluas sedunia, mendudukinya, dan mengakrabi air tawar di segala mata air, sungai, danau, dan air terjunnya.
Sedinamis air tawar dan asin, leluhur kita menjadi orang-orang yang terbuka, ramah, dan bersahabat—ciri khas orang Nusantara. Dipecundangi bangsa-bangsa asing karena keterbukaan dan kekayaan kepulauannya, para pendahulu kita lantas berbulat tekad untuk bersatu membentuk bangsa Indonesia. Jadi wajarlah jika kita, penerus mereka, merayakan kebulatan tekad yang melahirkan bangsa itu dengan upacara-upacara bendera di air tawar dan air asin.
Pada tahun 2016 sekelompok pemuda pecinta alam di Tuban, Jawa Timur, berbulat tekad untuk berupacara bendera di air tawar Gua Ngerong—sungai dan air terjun di perut bumi. Malam-malam, menjelang pergantian hari ke tanggal 17 Agustus, mereka masuk gua sejauh kira-kira 1 km dengan perahu karet, ban karet, dan segala perlengkapan keamanan. Dengan kaki tegak di aliran air dan bendera Merah Putih diikat di dinding gua, mereka pun khusyuk berupacara.1
Empat tahun sebelumnya, pada tanggal 17 Agustus 2012 di Ancol, Jakarta, tiga orang penyelam berbulat tekad untuk berupacara bendera di air asin akuarium hiu SeaWorld yang dalamnya 6 m. Disaksikan dan diikuti oleh banyak pengunjung dari luar akuarium, upacara khusyuk itu berlangsung selama kira-kira 15 menit dengan 19 ekor hiu berenang-renang di sekitar para penyelam.2
Kegiatan-kegiatan itu mungkin tampak gila-gilaan, tapi sangat mencerminkan kebulatan tekad yang diperingati dalam setiap upacara bendera. Sang Merah Putih bisa kita kibarkan dan hormati, lagu “Indonesia Raya” bisa kita nyanyikan, kemerdekaan bisa kita nikmati, karena para pendahulu kita berbulat tekad melawan penjajah dan membentuk suatu bangsa. Dan kita berkumpul di lapangan upacara untuk mengingat dan memiliki kebulatan tekad itu pula.
Kegiatan-kegiatan itu juga mencerminkan kebulatan tekad leluhur kita yang berhasil memiliki kepulauan terluas sedunia setelah mengakrabi air asin dan air tawar. Tak heran kita menyebut wilayah kita “tanah air”—tak lengkap tanpa air. Bulat tekad mereka mendorong kita untuk berbulat tekad pula menguasai dan mengelola perairan kita.
Sehubungan dengan upacara bendera di akuarium hiu, direktur SeaWorld kala itu berkata bahwa “sudah saatnya Indonesia mulai menggali kekayaan atau potensi laut yang dimilikinya”.3 Sementara itu para pecinta alam di Tuban menjelaskan bahwa mereka berupacara bendera di gua “sambil promosi [wisata] juga”.4 Ya, perairan Indonesia—asin dan tawar—adalah bentangan kekayaan dan keindahan yang masih menanti tekad terbulat kita untuk mengolahnya.
Meski sebagian orang Nusantara akhirnya jadi lebih akrab dengan air tawar di pegunungan dan pedalaman, sebagian lagi tetap lebih akrab dengan air asin. Di antara mereka ini yang paling mencolok adalah suku Bajo, pengembara laut ulung yang tak pernah merasa harus dibatasi oleh daratan. Namun, suku Bajo di Indonesia5 tetap tahu arti berbulat tekad bagi nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 2016 suku Bajo di Torosiaje, Gorontalo, berupacara bendera secara khas. Di atas air asin mereka menggelar panggung berpelampung busa gabus. Di sisi kiri, kanan, dan depan panggung berjajarlah perahu-perahu tempat para peserta upacara berdiri. Seorang perempuan berjalan di lorong kampung terapung sambil membawa baki berisi bendera Merah Putih dengan disertai oleh tetua adat dan lima penabuh rebana. Mereka naik perahu menuju panggung.
Bendera itu pun diterima oleh tiga orang berpakaian putih lalu dibawa ke tiang di ujung panggung. Penghuni kampung terapung menonton dari rumah-rumah mereka sewaktu bendera dikibarkan dengan iringan lagu “Indonesia Raya”. Ketika upacara selesai, khalayak bersorak sambil melambai-lambaikan bendera kecil dan menyanyikan lagu berbahasa Bajo.6
Itulah cerminan semarak perayaan kebulatan tekad di perairan Indonesia (asin ataupun tawar) yang akan mendirgahayukan Indonesia. Selamat ulang tahun, bangsa kepulauan!
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
Catatan
1 Dwi Rahayu. “Spesial HUT RI, Acarina Gelar Upacara di Goa Ngerong” dalam situs Blok Tuban. <http://bloktuban.com/berita-read.php/?show=5269-spesial-hut-ri-acarina-gelar-upacara-di-goa-ngerong.html>; Pipiet Wibawanto. “Ketika Upacara Kemerdekaan Ke-71 Digelar di Dalam Goa” dalam situs Okezone News. <https://news.okezone.com/read/2016/08/17/519/1465765/ketika-upacara-kemerdekaan-ke-71-digelar-di-dalam-goa>.
2 Galih Prasetyo. “Merah Putih Berkibar di Antara Hiu” dalam situs Kompas. <https://regional.kompas.com/read/2012/08/17/17572175/Merah.Putih.Berkibar.di.Antara.Hiu>. Dessy Suciati Saputri. “Upacara Bendera di Kerumunan Hiu” dalam situs Republika. <https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/18/m8wn3i-upacara-bendera-di-kerumunan-hiu>.
3 Galih Prasetyo, Kompas.
4 Dwi Rahayu, Blok Tuban.
5 Suku Bajo di Indonesia adalah suku Bajo yang hidup di wilayah Kepulauan Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Sebagai pengembara laut yang ulung, suku Bajo menjelajahi berbagai belahan dunia sehingga tidak semua hidup di wilayah Kepulauan Indonesia.
6 Christopel Paino. “Nasionalisme Suku Bajo Merayakan Kemerdekaan Indonesia” dalam situs Mongabay. <http://www.mongabay.co.id/2016/08/21/nasionalisme-suku-bajo-merayakan-kemerdekaan-indonesia/>.