Oleh Victor Samuel
Dalam keseharian, kita mungkin sering melupakan atau menganggap lumrah arti kemerdekaan yang diraih lewat darah dan keringat para pahlawan bangsa. Padahal kita bisa hidup—makan, tidur, bekerja, dan bersenang-senang—dengan bebas karena para pahlawan kurang makan dan tidur, banyak bekerja, dan menolak bersenang-senang dalam pengorbanan hidup demi kemerdekaan bangsa. Agaknya waktu hening (cipta) sesekali kita perlukan agar dapat mengapresiasi kemerdekaan dalam keseharian kita.
Komunitas selam Gayo Diving Club (GDC) mendapatkan waktu hening itu ketika berupacara bendera dalam rangka HUT RI di bawah permukaan Danau Lut Tawar, Aceh, pada tahun 2013 dan 2015.1 Setelah mengibarkan bendera, mereka berekspedisi selam ke situs bom peninggalan Belanda di dasar danau. Dalam hening di bawah permukaan danau itu, cipta para anggota GDC mengingat kembali sejarah perjuangan kemerdekaan RI di Tanah Gayo.2
Di darat, upacara bendera sama sekali tidak hening: terdengar suara protokoler, komando pemimpin upacara, derap langkah paskibra, dll. Keheningan baru muncul setelah pembina upacara memberi instruksi untuk mengheningkan cipta—ini pun masih diiringi lagu “Mengheningkan Cipta” dan mungkin bunyi semilir angin. Di bawah permukaan danau, para peserta upacara hanya mendengar bunyi gelembung udara dari tabung oksigen mereka.
Upacara bendera serupa juga dilakukan oleh komunitas selam Sorowako Diving Club (SDC) di bawah permukaan Danau Matano, Sulawesi Selatan, pada tahun 2016. 3 Hening tanpa iringan lagu Indonesia Raya, Sang Dwiwarna tegak berdiri di dasar danau terdalam di Asia Tenggara itu. Keheningan ini memusatkan cipta para anggota SDC kepada makna bangsa dan negara Indonesia yang diwakili oleh bendera Merah Putih.
Berbeda dengan di darat, peserta upacara bendera di bawah permukaan danau relatif sedikit. Tidak ada prosesi baris-berbaris sebab air mempersulit gerak tubuh. Para pengibar bendera harus menggembleng diri agar dapat mengibarkan bendera dengan sempurna. Jarak pandang mereka terbatas dan pengapungan secara kompak tidak mudah diatur.4 Segala kesulitan dalam hening itu pun dapat melayangkan cipta mereka kepada kesulitan perjuangan para pahlawan.
Setiap kali kita mengheningkan cipta dalam upacara bendera, kita menundukkan kepala sambil mengingat dan menghormati jasa para pahlawan. Seusai mengheningkan cipta, kita mengangkat kepala dan mata kita menatap ke depan dengan hati tergugah untuk berjuang pula demi bangsa dalam situasi hidup, profesi, dan keahlian kita masing-masing.
Para pahlawan telah gigih memperjuangkan kedaulatan bangsa atas tanah dan air Indonesia—tentunya termasuk air danau. Danau adalah salah satu sumber kehidupan. Ikan depik di Danau Lut Tawar, misalnya, menjadi sumber makanan dan nafkah warga. Keindahan dan keteduhan Danau Lut Tawar pun menjadi objek wisata yang menggerakkan perekonomian masyarakat.5 Bahagialah bangsa Indonesia, sebab dua pertiga wilayahnya adalah air! Tak heran kita dengan bangga menyebut wilayah kita “tanah air.”
Bernuansa hening dan syahdu, video dokumentasi upacara bendera SDC di bawah permukaan Danau Matano dibuka dengan narasi berikut: “Kami bukanlah siapa-siapa. Kami hanya sekelompok manusia yang tinggal di sebelah danau nan mempesona … Dan kali ini, kami akan mempersembahkan sesuatu untuk Ibu Pertiwi.”6 Demikianlah setiap upacara bendera—yang dilakukan dalam keheningan pun—merupakan persembahan rasa hormat dan tekad juang bagi tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Hari ini dunia moderen kita amat cepat dan berisik sehingga mudah membuat kita lupa akan jasa para pahlawan dan banyaknya pekerjaan rumah kita dalam membangun Indonesia. Setiap upacara bendera membantu memusatkan cipta kita kepada semua itu. Namun, di luar upacara bendera pun alangkah baiknya jika kita sesekali mengheningkan cipta untuk mensyukuri kemerdekaan dan, karenanya, kenyamanan yang kita nikmati dalam keseharian.
Victor Samuel adalah seorang insinyur di bidang energi yang bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 “Merah Putih dari Dasar Danau hingga Puncak Gunung” dalam situs Tribun News. <http://aceh.tribunnews.com/2013/08/18/merah-putih-dari-dasar-danau-hingga-puncak-gunung>; “17 Agustus, Merah Putih akan Lingkari Boom Tanyor Nunguk” dalam situs Lintas Gayo. <http://lintasgayo.co/2015/08/05/17-agustus-merah-putih-akan-lingkari-boom-tanyor-nunguk>.
2 “17 Agustus, Merah Putih akan Lingkari Boom Tanyor Nunguk”, Lintas Gayo.
3 “Pengibaran Bendera Merah Putih di Danau Terdalam di Asia Tenggara” dalam situs Liputan 6. <https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2580136/pengibaran-bendera-merah-putih-di-danau-terdalam-di-asia-tenggara>.
4 “Pengibaran Bendera Merah Putih di Danau Terdalam di Asia Tenggara”, Liputan 6.
5 Nurul Hayati. “Danau Lut Tawar, ‘Oase’ dari Tanah Gayo” dalam situs Tribun News. <http://aceh.tribunnews.com/2018/06/21/danau-lut-tawar-oase-dari-tanah-gayo>.
6 “Pengibaran sang Saka Merah Putih Bawah Air di Danau Terdalam di Asia Tenggara Danau Matano” dalam situs Vidio. <https://www.vidio.com/watch/424589-pengibaran-sang-saka-merah-putih-bawah-air-di-danau-terdalam-di-asia-tenggara-danau-matano>.