Oleh S.P. Tumanggor
“Aku tahu mereka akan membunuhku suatu hari nanti. Dan aku sudah memaafkan mereka.” Sebelum mati dibunuh pada tahun 1980, Oscar Romero, uskup agung El Salvador, sudah sering mengucapkan perkataan itu kepada saudaranya.1 Dan kematiannya—di tengah kecamuk perang sipil negerinya—mengejutkan dunia. Pemakamannya, yang dihadiri 250.000-an orang serta diusik bom dan peluru,2 digambarkan sebagai “unjuk rasa terbesar dalam sejarah bangsa Salvador” bahkan “dalam sejarah Amerika Latin”.3
Bahwa Romero “sudah memaafkan” pembunuhnya menunjukkan betapa ia berserah diri untuk mati sebagai martir. Tentulah sabda Alkitab ini sudah sangat diresapinya: “[B]aiklah juga mereka yang harus menderita karena kehendak Allah, menyerahkan jiwanya, dengan selalu berbuat baik, kepada Pencipta yang setia” (1 Ptr. 4:19). Romero tahu bahwa sudah menjadi kehendak Allah ia menderita—dan mati—demi kebenaran dan keadilan.
Lahir tahun 1917 di Ciudad Barrios, El Salvador, Oscar Arnulfo Romero diarahkan ayahnya untuk menggeluti pertukangan tapi malah memutuskan untuk menjadi imam Katolik. Tahun 1942 ia ditahbiskan sebagai imam dan tahun 1977 ia diangkat sebagai uskup agung El Salvador.4 Dua tahun kemudian perang sipil El Salvador meletus dan berkobar sampai tahun 1992 dengan merenggut kira-kira 75.000 jiwa.5
Keadaan negeri sangat meresahkan. Penguasa menculik, menyiksa, menghabisi kaum lemah dan orang-orang yang dianggap tidak sejalan. Setiap hari mayat-mayat dicampakkan di parit dan tepi jalan. Kata-kata “Jadilah Patriot—Bunuh Seorang Imam” tertulis di tembok-tembok dan mengisyaratkan bahwa di masa sukar itu banyak imam berdiri di pihak orang-orang terzalimi sehingga menjadi target pembunuhan.6
Terilhami oleh Rutilio Grande, imam yang giat membela kaum lemah dan yang mati dibunuh, Romero berserah kepada Sang Pencipta dan giat berbuat baik dengan “menjadi pembela hak asasi manusia dan kaum miskin yang blak-blakan, dan sering mencela kesewenang-wenangan militer”.7 Khotbah-khotbah hari Minggunya populer, disiarkan langsung dari stasiun radio milik gereja, dan mencakup perenungan Alkitab serta laporan kesewenang-wenangan penguasa. Karenanya stasiun radio itu beberapa kali dibom.8
Ancaman maut membayang-bayangi hidup Romero, tapi ia bergeming untuk selalu berbuat baik. Di pemakaman imam lain yang dibunuh, ia berkhotbah, “Betapa sedihnya jika, di negeri tempat pembunuhan keji semacam itu dilakukan, kita tidak mendapati imam-imam di antara para korban. Mereka adalah kesaksian tentang gereja yang menjelma dalam masalah-masalah umatnya.”9 Dan ia mengamalkan perkataannya sendiri.
Tanggal 23 Maret 1980 Romero berkhotbah dan secara khusus mengimbau aparat negara, “Atas nama Allah, atas nama rakyat menderita ini yang ratapannya naik ke surga makin hari makin riuh, saya mohon dengan sangat kepada Anda, saya meminta kepada Anda, saya menyuruh Anda atas nama Allah: hentikanlah penindasan itu.” Esoknya, tatkala ia memimpin misa petang, sebutir peluru yang ditembakkan dari jauh menembus jantungnya. Dan pahlawan iman itu pun berpulang.10
Kematian Romero menyatakan secara gamblang bahwa derita/kemartiran kristiani bukanlah melulu tentang derita/kemartiran karena menyebarkan agama Kristen atau karena menolak menyangkal Kristus, tapi juga karena membela kebenaran dan keadilan. Pengorbanan kristiani tidaklah terbatas dalam hal “bersaksi tentang nama Yesus”, melainkan meluas pula dalam segala perbuatan baik. Kisah Romero pun mengajarkan bahwa, meski orang Kristen tidak pasti atau mesti menderita/mati seperti sang uskup, tapi manakala Allah menghendakinya, orang Kristen harus merelakan/menyerahkan diri sambil terus berbuat baik.
Dan kiprah serta derita Romero tentulah bergesekan dengan gaya hidup rohaniwan Kristen yang hanya sibuk mengurusi “kebenaran” doktrin tapi tak peduli terhadap kaum terzalimi—atau malah yang menggemukkan diri dengan persembahan dan penghormatan tanpa memusingkan kesulitan yang melilit umat/masyarakat. Oscar Romero rela menderita karena tahu kehendak Allah dan tahu bahwa Allah setia untuk mengganjar perbuatan baiknya.
Ia melihat melampaui kubur dan maut dan berkata, “Jika mereka membunuh saya, saya akan bangkit dalam rakyat Salvador. Jika ancaman-ancaman terwujud, sejak saat ini saya mempersembahkan darah saya kepada Allah demi penebusan dan kebangkitan El Salvador. Biarlah darah saya menjadi benih kemerdekaan dan tanda bahwa harapan akan segera menjadi kenyataan.”11
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
Catatan
1 Philip Sherwell. “How the archbishop ‘killed on the altar’ by an El Salvador death squad began his road to martyrdom” dalam situs The Telegraph. <http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/centralamericaandthecaribbean/elsalvador/11414872/How-the-archbishop-killed-on-the-altar-by-an-El-Salvador-death-squad-began-his-road-to-martyrdom.html>.
2 “Oscar Romero Biography” dalam situs The Famous People. <http://www.thefamouspeople.com/profiles/scar-romero-5946.php>; Christopher Dickey. “40 Killed in San Salvador: 40 Killed at Rites for Slain Prelate; Bombs, Bullets Disrupt Archbishop’s Funeral” dalam The Washington Post terbitan 31.03.1980 (dapat dilihat di situs Online Ministries milik Creighton University. <http://onlineministries.creighton.edu/CollaborativeMinistry/romero-wp-3-31-80.html>).
3 John Dear. “Romero’s Resurrection” dalam situs National Catholic Reporter. <https://www.ncronline.org/blogs/road-peace/romeros-resurrection>.
4 “Oscar Romero Biography”, The Famous People.
5 Thomas Reese. “Oscar Romero, martyr to the faith” dalam situs National Catholic Reporter. <https://www.ncronline.org/blogs/faith-and-justice/oscar-romero-martyr-faith>
6 Julian Miglierini. “El Salvador marks Archbishop Oscar Romero’s murder” dalam situs BBC. <http://news.bbc.co.uk/2/hi/8580840.stm>; Barry Hudock. “The martyrdom of Archbishop Oscar Romero” dalam situs OSV Newsweekly. <https://www.osv.com/OSVNewsweekly/Story/TabId/2672/ArtMID/13567/ArticleID/17106/The-martyrdom-of-Archbishop-Oscar-Romero.aspx>.
7 Thomas Reese, “Oscar Romero, martyr to the faith”; Barry Hudock. “The martyrdom of Archbishop Oscar Romero”.
8 Barry Hudock. “The martyrdom of Archbishop Oscar Romero”.
9 Barry Hudock. “The martyrdom of Archbishop Oscar Romero”.
10 John Dear. “Romero’s Resurrection”.
11 John Dear, “Romero’s Resurrection”.