Oleh Stefani Krista
Tubuhnya ditemukan dengan beberapa lubang peluru. Saksi-saksi mata mengungkapkan bahwa ia—bersama dua orang lain—dibawa ke barak tentara, dipukuli, lalu ditembak mati. Itulah harga yang harus dibayarnya karena tidak takut menentang kezaliman di negerinya.1 Ia, Janani Jakaliya Luwum, adalah uskup agung Gereja Anglikan Uganda yang menjadi martir demi kebenaran. Hari kematiannya, tanggal 16 Februari, hingga kini diperingati sebagai hari libur nasional di Uganda.2
Keberanian Luwum, yang lahir pada tahun 1922 di Mucwini, Uganda, dilandasi oleh imannya. Hidup dan matinya sungguh-sungguh menjabarkan sabda Alkitab ini: “Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu berbuat baik? Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar” (1 Ptr. 3:13-14).
Luwum memang rajin berbuat baik. Kasih kepada Kristus mendorongnya mengusahakan kebaikan Gereja dan bangsa Uganda. Ia “memelopori pengembangan politik dan sosioekonomi yang menyeluruh dan terpadu dari gereja dan bangsa”. Ia mendorong mahasiswa Kristen untuk menjadi yang terbaik dalam berbagai bidang. Ia memperhatikan dan membantu orang-orang tak berdaya seperti kaum miskin di kota dan desa, anak-anak yang putus sekolah, para pengungsi dari Rwanda dan Sudan.3
Dengan semua perbuatan baik itu, seharusnya tidak ada yang akan berbuat jahat terhadap Luwum, bukan?
Sayangnya, pada tahun 1971, Idi Amin dan pemerintahan terornya mulai berkuasa di Uganda. Diktator yang dikenal dengan julukan “Jagal dari Uganda” itu membunuhi banyak warga yang mengganggu kekuasannya. Diperkirakan sekitar 300.000 orang dibunuh selama delapan tahun masa kepresidenannya.4 Luwum, yang ditahbiskan menjadi uskup agung pada tahun 1974, menentang kezaliman pemerintahan Amin. Ia pun memprakarsai pertemuan dengan pemimpin-pemimpin agama Kristen dan Islam untuk menyatukan suara melawan pelanggaran hak asasi manusia.5
Itulah sebabnya Luwum harus menderita “karena kebenaran”. Pada tanggal 16 Februari 1977, Amin mengumpulkan para petinggi agama, pemerintah, dan militer untuk mengadili Luwum atas tuduhan “tindakan-tindakan subversif”. Enam uskup lain turut didakwa, namun Luwum adalah sasaran utama Amin. Ketika para pemimpin gereja disuruh pergi satu persatu, Luwum berujar kepada seorang rekan, ”Mereka akan membunuhku. Aku tidak takut.”6
Diyakini bahwa hari itu juga Luwum ditembak mati. Keesokan harinya pemerintah mengumumkan bahwa sang uskup agung meninggal dalam kecelakaan mobil (alasan yang kemudian diubah pemerintah untuk menjelaskan lubang-lubang peluru pada tubuhnya).7
Jika diringkas, hidup dan perbuatan baik Luwum adalah seperti yang diungkapkan anaknya sendiri: “Sebagai seorang pendeta, ia terlibat dalam penerjemahan Alkitab, terlibat penuh dalam penginjilan, membangun sekolah-sekolah, dan mendorong para orang tua untuk membawa anak-anaknya ke sekolah, dan sepenuhnya mendorong pembangunan. Ia adalah seorang nasionalis dan patriotis. Ia berbicara demi hak-hak semua orang Uganda. Tak heran ia kehilangan nyawanya demi bangsanya.”8
Janani Luwum meneladankan seperti apakah rohaniwan Kristen itu seharusnya. Bukan cuma rajin mengajarkan isi Alkitab atau menginjili saja, rohaniwan Kristen pun seharusnya patriotis, peduli terhadap masalah-masalah kemasyarakatan/kebangsaan, memperhatikan kaum lemah, dan menentang ketidakadilan. Semua itu termasuk “berbuat baik” yang dimaksud Rasul Petrus. Rohaniwan Kristen seharusnya memperagakan kepada jemaat bahwa orang Kristen adalah warga Gereja merangkap warga bangsanya.
Luwum juga menunjukkan bahwa kalaupun orang Kristen harus menderita karena kebenaran dan karena berbuat baik, itu tetap menimbulkan kebahagiaan tersendiri, sebab penderitaan macam itu sejajar dengan penderitaan Kristus. Maka Luwum tidak takut kepada apa yang biasa ditakuti manusia—kesusahaan, penderitaan, bahkan kematian. “Aku tidak takut,” katanya. Dan maut pun ditatapnya muka dengan muka.
Semoga pernyataan “aku tidak takut” Luwum terus bergema di gereja-gereja ketika para rohaniwan meneladankan ketidaktakutan untuk bersusah payah dan menderita demi memerangi ketidakadilan di tengah masyarakat. Semoga pernyataan keteguhan hati sang martir Uganda itu terus berdengung di telinga umat Kristen dan mengilhamkan ketidaktakutan terhadap kesusahan/penderitaan akibat berbuat baik di segala bidang kehidupan.
Stefani Krista adalah seorang karyawati perusahaan ritel yang bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 Mark Woods. “Uganda’s martyr: Why we should remember Janani Luwum”àIkuti ejaan dlm artikel aslinya. dalam situs Christian Today. <http://www.christiantoday.com/article/ugandas.martyr.why.we.should.remember.janani.luwum/79969.html>.
2 “Uganda President agrees national day to honour Anglican martyr”àSama. dalam situs Anglican Communion News Service. <http://www.anglicannews.org/news/2015/02/uganda-president-agrees-national-day-to-honour-anglican-martyr.aspx>.
3 Georg Piwang dan G. Walker. “Archbishop Janani Luwum” dalam situs Archbishop Janani Luwum Trust UK. <http://www.jananiluwumtrust.com/luwum.html>.
4 “Idi Amin Biography” dalam situs Bio. <http://www.biography.com/people/idi-amin-9183487>.
5 “Luwum, Janani Jakaliya” dalam situs Dictionary of African Christian Biography. <http://www.dacb.org/stories/uganda/luwum_3janani.html>.
6 “Today in History: Archbishop Janan Luwum is shot dead” dalam situs Monitor. <http://www.monitor.co.ug/News/Insight/Today-in-History–Archbishop-Luwum-is-shot-dead/688338-2625040-bca34nz/index.html>..
7 James E. Kiefer. “Janani Luwum, Archbishop of Uganda, Martyr: 16 February 1977” dalam situs Biographical sketches of memorable Christians of the past. <http://justus.anglican.org/resources/bio/101.html>.