Daeng Ruru: Bersinar dengan Ilmu

Sekolah perwira angkatan laut Brest, cikal bakal sekolah marinir Perancis yang kenamaan, pernah melejitkan seorang perwira asal Nusantara di abad ke-17. Perwira itu adalah pemuda ningrat Makassar yang bernama Daeng Ruru alias Louis Pierre Makassar.

Daeng Ruru menjadi perwira sesudah dua tahun saja bersekolah. Di usia 19 tahun ia berpangkat letnan muda dan di usia 20 tahun ia berpangkat letnan angkatan laut.1 Ia menjadi teladan bagi kita, orang Nusantara terkini, untuk bangkit dalam kecerdasan dan prestasi. Ia mengajari kita untuk bersinar dengan ilmu.

Kisah Daeng Ruru memiliki latar peristiwa tragis. Ia dan saudaranya, Daeng Tulolo, termasuk segelintir orang yang selamat dalam peristiwa penggempuran kampung Makassar di Siam (Thailand). Keluarga mereka berada di Siam setelah Daeng Mangalle, ayah mereka, hengkang dari Makassar karena menolak tunduk kepada Belanda, yang menaklukkan Makassar di tahun 1666.2

Daeng Mangalle hijrah ke Banten, menikahi putri Banten, lalu memperanakkan Daeng Ruru dan Daeng Tulolo. Ketika Belanda berjaya pula di Banten, Daeng Mangalle memboyong keluarganya ke Siam pada tahun 1674. Di sana, ia mengetahui rencana pemberontakan orang Campa dan Melayu—dan ia dituduh terlibat.3

Ketika orang Campa dan Melayu memohon ampun kepada penguasa Siam, Daeng Mangalle selaku pemimpin orang Makassar menolak berbuat serupa, sebab ia tidak merasa hendak turut memberontak. Akibatnya, pasukan Siam mengepung kampung Makassar dan mencetus perang dahsyat yang tak seimbang: 200-an orang Makassar melawan ribuan pasukan Siam yang dibantu puluhan tentara asing.4

Orang Makassar akhirnya takluk (dengan korban besar-besaran di pihak Siam!). Yang masih hidup dijual sebagai budak, tapi Daeng Ruru dan Daeng Tulolo—keduanya masih remaja waktu itu—dikirim ke Perancis oleh kepala kantor dagang Perancis di Siam. Keduanya berangkat dengan kapal laut di tahun 1686 dan tiba di Perancis beberapa bulan kemudian di tahun 1687.5

Louis XIV, raja Perancis, terkesan oleh kedua remaja ningrat Nusantara itu serta berkenan menanggung hidup dan pendidikan mereka. Keduanya dibaptis dalam iman Katolik dan diberi nama kehormatan “Louis”, seperti sang raja. Daeng Ruru menjadi Louis Pierre Makassar dan Daeng Tulolo menjadi Louis Dauphin Makassar.6

Lalu dimulailah perjalanan keilmuan mereka. Dari kolese Jesuit di Louis le-Grand, tempat mereka belajar bahasa Perancis, mereka masuk sekolah tinggi Clermont yang beken itu dan kemudian sekolah perwira angkatan laut Brest. Sekolah ini, yang “memiliki pendidikan kelautan dan militer terbaik”, sangat selektif: calon siswanya harus berusia kurang dari 18 tahun dan berasal dari keluarga ningrat.7

Daeng Ruru bersinar di situ. Kelulusannya dan kenaikan karirnya yang cepat membuat orang terkejut. Siswa sekolah Brest hanya bisa berbuat demikian jika benar-benar cerdas dan juga kaya.8 Jadi, Daeng Ruru benar-benar memanfaatkan potensi kecerdasannya dan tunjangan dari Raja Louis XIV.

Dalam hal ini, Daeng Ruru menunjukkan bahwa orang Nusantara sesungguhnya tak pernah kalah cerdas dari bangsa manapun. Ia juga mengajari kita untuk memanfaatkan peluang menuntut ilmu di sekolah-sekolah bagus dan bersinar di situ. Jelas itu sangat relevan bagi bangsa Indonesia masa kini, yang masih menunggu-nunggu kebangkitannya sebagai bangsa maju di dunia.

Bukankah banyak putra-putri Indonesia yang belajar di sekolah-sekolah bagus mancanegara dengan tunjangan beasiswa dalam/luar negeri? Bukankah tidak sedikit putra-putri Indonesia yang bersinar dengan prestasi keilmuan kelas dunia?9 Tapi hingga sekarang bangsa kita belum juga merasai dampak penuh dari segala kiprah keilmuan itu. Buktinya, kita tak kunjung jadi bangsa maju.

Semangat kebangkitan nasional rupanya perlu kita kobarkan lagi. Sadar berbangsa akan memacu kita memeras otak untuk berprestasi dan untuk merancang-bangun sistem yang bisa mewadahi/memberdayakan segala prestasi itu di Indonesia. Seperti Daeng Ruru terpacu membuktikan diri di tengah bangsa-bangsa, demikian jugalah seharusnya kita.

Daeng Ruru tewas dengan alasan yang tidak jelas pada tahun 1708 di Havana, Kuba, sewaktu ia ditugaskan di sana untuk menghadapi Belanda dan Inggris.10 Namun, ia telah memperagakan bagaimana orang Nusantara bisa bersinar dengan ilmu di dunia.

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

Catatan

1 Bernard Dorleans. Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX/terjemahan Indonesia oleh Tim Penerjemah UI, Parakitri T. Simbolon. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006, hal. 124-125.

2 Anshar Manrulu. “Daeng Ruru, Jalan Panjang Sang Pemberani” dalam situs Berdikari Online. <http://www.berdikarionline.com/daeng-ruru-jalan-panjang-sang-pemberani/>.

3 Anshar Manrulu, “Daeng Ruru, Jalan Panjang Sang Pemberani”.

4 Bernard Dorleans, hal. 113, 121.

5 Bernard Dorleans, hal. 121, 124. Perlawanan orang Makassar yang berjumlah kecil itu membuat takjub penduduk setempat karena berhasil menewaskan sekitar seribu orang Siam dan 17 orang asing. Daeng Mangalle tewas dalam perlawanan itu.

6 Bernard Dorleans, hal. 124.

7 Bernard Dorleans, hal. 124; “Priyayi Makassar dalam Legiun Prancis Abad Ke-17” dalam situs National Geographic Indonesia. <http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/07/priyayi-makassar-dalam-legiun-prancis-abad-ke-17>.

8 Bernard Dorleans, hal. 125. Daeng Tulolo tidak meniti karir sepesat Daeng Ruru.

9 Contohnya adalah dalam hal menjuarai lomba-lomba internasional (seperti lomba fisika dan lomba robot) dan dalam hal penemuan-penemuan dan paten-paten.

10 Bernard Dorleans, hal. 125. Ada dugaan bahwa ia tewas karena masalah kehormatan atau karena masalah utang judi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *