Tuanku Abdul Hamid: Meluaskan Pengaruh Bangsa di Dunia

Di dinding gereja Oude Kerk Middelburg, Zeeland, Belanda, melekatlah sebuah prasasti marmer untuk mengenang seorang tokoh Nusantara. Pada prasasti itu terukir dengan tinta emas nama Tuanku Abdul Hamid, utusan Kesultanan Aceh untuk Kerajaan Belanda yang datang dan meninggal di sana pada tahun 1602.1 Bahwa Tuanku Abdul Hamid sampai dikenang secara demikian mengungkapkan betapa megahnya Kesultanan Aceh pada masa itu.

Sejak bangkit pada abad ke-15, Kesultanan Aceh memang sedang jaya-jayanya di abad ke-17. Ketika Tuanku Abdul Hamid melawat ke Benua Eropa, ia mewakili kesultanan besar yang telah meluaskan pengaruh lewat, antara lain, penguasaan jalur pelayaran/perdagangan dunia di Selat Malaka dan kecakapan berdiplomasi dengan bangsa-bangsa.2 Keberhasilan orang Nusantara di masa lalu bisa menjadi pecut bagi kita di masa kini untuk bangkit pula meluaskan pengaruh di dunia.

Karena menguasai jalur pelayaran/perdagangan dunia di Selat Malaka, Kesultanan Aceh menerima undangan resmi Kerajaan Belanda untuk mengadakan kunjungan kenegaraan. Kala itu Belanda berniat memperbaiki hubungan dengan Aceh yang sempat terganggu. Maka Tuanku Abdul Hamid, laksamana berusia 70 tahun, diutus Aceh memimpin suatu rombongan diplomasi. Mereka mengarungi lautan selama enam bulan, bahkan sempat berperang dengan armada Portugis di tengah perjalanan.3

Tuanku Abdul Hamid dan rombongan bertolak ke Eropa dengan melintasi Selat Malaka, pintu gerbang Asia Tenggara. Aceh bisa bangkit meluaskan pengaruh lewat selat ini karena menguasai garis pantai yang panjang (di sisi timur dan barat Pulau Sumatera) dan memiliki komoditas dagang unggulan: rempah-rempah (terutama lada). Lagi pula, Aceh cakap berdagang dan tangguh armada perangnya. Semua itu meleluasakan Aceh mengatur lalu lintas pelayaran di Selat Malaka dan harga rempah-rempah dunia.4

Kedatangan Tuanku Abdul Hamid disambut secara besar-besaran oleh para pembesar Belanda. Ia dan rombongannya dibawa melihat kota-kota penting dan pemerintahan di Provinsi Zeeland. Pada waktu itu Belanda hendak memanfaatkan pengaruh Aceh untuk melawan Spanyol dan Portugis. Belanda berharap bangsa-bangsa lain segan mengambil risiko berhadapan dengannya, bangsa yang bersekutu dengan Aceh, penguasa penting di Asia.5

Kunjungan Tuanku Abdul Hamid pun menunjukkan kecakapan Aceh berdiplomasi dengan bangsa-bangsa. Selain dengan Belanda, Aceh juga menjalin hubungan dengan Turki, Cina, Inggris, dan Spanyol dalam hal ekonomi, politik, budaya, dan ilmu pengetahuan.6 Aceh bangkit meluaskan pengaruhnya di dunia melalui diplomasi. Sejarah mencatat Tuanku Abdul Hamid sebagai diplomat Asia Tenggara yang pertama untuk Eropa!7

Kita, orang Indonesia, perlu belajar dari kiprah orang Nusantara di masa lalu. Seperti orang Aceh dahulu, kita harus sadar bahwa bangsa kita penuh potensi sehingga harus dikuatkan dan dimakmurkan, alih-alih diabaikan atau malah dirusak dengan korupsi. Kesadaran itu akan menggerakkan kita untuk bangkit meluaskan pengaruh bangsa.

Kita harus bangkit meluaskan pengaruh bangsa di dalam negeri dengan cara menjadi “tuan” atas negeri sendiri. Diutusnya Tuanku Abdul Hamid sebagai wakil dagang (yang memasarkan komoditas rempah-rempah) menunjukkan bahwa Aceh menguasai hasil alam negerinya sendiri. Kita pun, bukan bangsa lain, harus menguasai potensi alam negeri sendiri. Kecakapan berinovasi, penguasaan teknologi, dan penerapan ilmu pengetahuan akan menjadi modal pengelolaan SDA kita.

Kita juga harus bangkit meluaskan pengaruh bangsa di luar negeri lewat diplomasi/pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Tuanku Abdul Hamid diutus sebagai diplomat karena cakap berbahasa asing dan berpembawaan tenang.8 Kita pun harus pandai dan luwes bergaul dengan bangsa-bangsa lain untuk menghasilkan hal-hal yang bermaslahat bagi bangsa: investasi di bidang infrastruktur, penetapan perbatasan laut, perlindungan hukum WNI, dsb.

Tuanku Abdul Hamid meninggal dunia karena sakit pada tanggal 9 Agustus 1602, tiga minggu setelah kedatangannya di Middelburg. Upacara pemakamannya yang megah di pekarangan gereja dihadiri oleh para menteri, walikota, para hakim agung, duta besar AS, dan para pejabat VOC.9

Sungguh membanggakan jika, seperti Tuanku Abdul Hamid, putra-putri Indonesia bisa menjadi utusan-utusan di berbagai bidang (politik, ekonomi, kesenian, olahraga, dsb.) yang meluaskan pengaruh bangsa di dunia. Nama mereka pun bisa terukir dengan tinta emas di negeri-negeri asing karena dihormati.

Herdiana Situmorang adalah seorang dokter yang bermukim di DKI Jakarta.

Catatan

1 Walaupun beragama Islam, Tuanku Abdul Hamid dimakamkan di pekarangan gereja, tempat terhormat dalam tradisi monarki Eropa saat itu. Namun, karena makamnya hilang akibat banjir pada tahun 1940, Belanda membangun prasasti marmer sebagai penggantinya. Lihat Farhan Muhammad Uzair. “Menelusuri Jejak Duta Besar Aceh di Eropa” dalam situs Serambi Indonesia. <http://aceh.tribunnews.com/2014/06/20/menelusuri-jejak-duta-besar-aceh-di-eropa>; Fauzan Santa. “Middelburg; Daulat Duta Rajeuk!” dalam situs Atjeh Post. <http://atjehpost.co/berita1/read/Middelburg-Daulat-Duta-Rajeuk-27858>.

2 “Teror Dunia di Lautan Aceh” dalam Kompas terbitan 04.02.2107.

3 Fauzan Santa, “Middelburg; Daulat Duta Rajeuk!”

4 “Teror Dunia di Lautan Aceh”, Kompas.

5 H. Mohammad Said. Aceh Sepanjang Abad. Medan: PT Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981, hal. 223; Abdul Rani Usman. Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi, dan Konflik. Edisi 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, hal. 27.

6 Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh.

7 Farhan Muhammad Uzair, “Menelusuri Jejak Duta Besar Aceh di Eropa”.

8 Fauzan Santa, “Middelburg; Daulat Duta Rajeuk!”

9 Fauzan Santa, “Middelburg; Daulat Duta Rajeuk!”

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *