“Saya tidak suka baca buku, Bang.” Bukan satu dua kali saya dengar perkataan itu terlontar dari mahasiswa ataupun sarjana Indonesia. Saya sangat heran, karena saya pikir orang terpelajar seperti mereka seharusnya terbiasa dengan bacaan. Seorang dari mereka bahkan berlanjut menuding budaya lisan sebagai penyebab dia dan banyak orang Indonesia lain tidak suka baca buku.
Tudingan itu bukan tanpa dasar. Budaya lisan yang berurat akar pada suku-suku Indonesia dinilai banyak ahli/pengamat telah menyabot minat baca orang Indonesia, termasuk yang berpendidikan. Dan karena penyabotan ini berdampak negatif kepada kecerdasan dan kemajuan bangsa,1 kita harus segera melampaui budaya lisan kepada budaya tulisan, khususnya tulisan serius.2
Saya memakai istilah “tulisan serius” sebagai lawan dari tulisan atau bacaan yang kurang/tidak serius dalam hal keorisinalan idenya, kedalaman kajiannya, penalarannya, sistematika bahasannya. Jadi, tulisan/bacaan serius yang saya maksud adalah tulisan/bacaan berbobot yang digubah secara serius baik dalam hal muatan maupun kemasannya.
Secara umum orang Indonesia tidak akrab dengan—dan karenanya sulit membuat—tulisan/bacaan serius. Itu terjadi karena beban sejarah suku-suku kita: budaya tulisan tak pernah digalakkan di tengah rakyat. Walaupun aksara telah dikenal suku-suku tertentu, yang “mengotak-atik”nya hanyalah kalangan terbatas, yaitu para ningrat dan pujangga.3
Maka budaya lisanlah yang diakrabi rakyat: isi prasasti yang dikisahkan melalui lagu dan ajaran moral yang disampaikan melalui cerita atau dongeng.4 Alhasil, orang Indonesia jadi terbiasa dengan dan jadi lebih suka kepada penyampaian gagasan lewat tuturan atau tontonan daripada lewat tulisan.
Suatu dorongan untuk melampaui budaya lisan kepada budaya tulisan memang telah timbul pada masa penjajahan orang Eropa. Tapi yang terdampak rupanya masih terbatas pada kalangan tertentu (anak priyai atau anak pegawai Belanda) yang boleh bersekolah.5 Mereka belajar mengunyah bacaan serius—yang banyak dihasilkan dan memajukan orang Eropa—lalu berhasil melahirkan bangsa Indonesia.
Sayangnya, rakyat selebihnya belum terdorong melampaui budaya lisan. Bahkan setelah bangsa kita merdeka dan berupaya mendirikan perpustakaan di mana-mana, suatu ironi tetap menonjol: minat baca orang Indonesia rendah. Perpustakaan, dengan bacaan-bacaan serius di dalamnya, bukanlah tempat yang digemari masyarakat luas.
Belum lagi berhasil upaya kita untuk memasyarakatkan budaya baca-tulis, televisi dan internet datang membawa budaya lisan baru yang sukses menyita minat rakyat semesta.6 Internet memang membuka akses selega-leganya kepada tulisan/bacaan, tapi bukan hanya yang serius melainkan yang tidak/kurang serius pula (bahkan yang antilogika!).
Dan yang tidak/kurang serius itu jadi lebih disukai orang Indonesia karena bersifat renyah, heboh, candaan, tidak menuntut berpikir mendalam. Ini pun makin menghambat kita melampaui budaya lisan dan mempertebal sikap tidak menghargai kegiatan membaca, sampai-sampai “[o]rang yang serius membaca dijadikan bahan tertawaan, dianggap sok serius, atau terlalu idealis”.7
Padahal orang-orang seperti itulah yang dulu melahirkan bangsa kita.
Jadi, perjuangan pemerintah dan sekolah untuk membawa rakyat melampaui budaya lisan (dengan, antara lain, mengadakan perpustakaan-perpustakaan) perlu diiringi perjuangan keluarga dan pribadi. Saya yakin bahwa anak-anak yang diajari keluarganya menikmati bacaan bermutu, dan yang tidak dibiarkan melahap televisi dan internet melulu, akan berhasil melampaui budaya lisan kepada budaya tulisan.
Secara pribadi kita juga perlu serius dengan tulisan/bacaan serius—apalagi jika kita “orang sekolahan”. Paksakan diri mengakrabinya. Pelajari cara untuk menikmatinya sambil terus mencamkan bahwa manfaatnya jauh lebih besar dari tulisan/bacaan yang tidak/kurang serius.
Marilah kita berhenti berlindung di balik dalih bahwa masyarakat kita secara turun-temurun berbudaya lisan. Bukankah masyarakat kita juga dulu berbudaya barter? Tapi waktu kita tahu manfaat besar budaya uang bagi kemajuan, kita belajar melampaui budaya barter kepada budaya uang. Kita perlu melakukan hal yang sama dengan budaya lisan dan budaya tulisan.
Tahun 2016, ketika Central Connecticut State University menyurvei bangsa-bangsa untuk mengenali tingkat melek bacaannya, Indonesia didapati di peringkat ke-60—dari 61 bangsa!8 Inilah pecut dan pentung keras di punggung kita untuk tidak menunda-nunda keseriusan terhadap tulisan/bacaan serius, supaya kita dapat melampaui budaya lisan kepada kemajuan.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
Catatan
1 Budaya lisan—berbeda dengan budaya tulisan—tentu saja sangat tidak memadai untuk mengabadikan segala teori, kajian, uraian dalam berbagai bidang keilmuan yang penting untuk mencerdaskan dan memajukan bangsa.
2 Dalam tulisan ini saya tidak hendak menyiratkan bahwa budaya lisan adalah buruk dan harus dibuang saja. Sebaliknya, dengan kata-kata “melampaui budaya lisan kepada budaya tulisan” saya hendak menyiratkan ajakan ini: kita sudah menguasai budaya lisan; sekarang, mari kita kuasai pula budaya tulisan.
3 Anisa Widiarini dan Bimo Arya. “Budaya Lisan Pengaruhi Rendahnya Minat Baca Anak Indonesia” dalam situs Viva. <http://m.viva.co.id/life/parenting/894580-budaya-lisan-pengaruhi-rendahnya-minat-baca-anak-indonesia>.
4 Susi Susilowati. “Tradisi Lisan Masih Mendominasi Budaya Baca Bangsa” dalam situs Kabar Indonesia. <http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20141123205649>.
5 “Minat Membaca Buku dalam Kebudayaan Masyarakat Indonesia” dalam situs Ikatan Penerbit Indonesia Daerah Jawa Tengah. <http://www.ikapijateng.or.id/uncategorized/minat-membaca-buku-dalam-kebudayaan-masyarakat-indonesia>.
6 Priyo Sularso. “Budaya Tulisan Dibayangi Budaya Lisan” dalam situs Perpustakaan Nasional. <http://gpmb.perpusnas.go.id/index.php?module=artikel&id=7>.
7 Kutipan perkataan Paulus Wirutomo, guru besar FISIP UI, dalam “Maklum, Budaya Kita Masih Budaya Lisan…” dalam situs Kompas. <http://edukasi.kompas.com/read/2009/07/16/18223370/Maklum.Budaya.Kita.Masih.Budaya.Lisan.>.
8 “World’s Most Literate Nations Ranked” dalam situs Central Connecticut State University. <http://webcapp.ccsu.edu/?news=1767&data>.