Para pendahulu kita yang mendirikan Republik Indonesia adalah pelahap bacaan-bacaan serius, yakni buku-buku atau tulisan-tulisan yang berbobot dan mendalam. Mereka adalah orang-orang terpelajar yang merambah beragam bacaan “berat” tentang ekonomi, budaya, agama, sosial, politik, filsafat, dll. Alhasil mereka menjadi pintar, cerdas, kritis, dan mampu membangun bangsa sebesar Indonesia.
Bacaan serius mengiringi mereka dalam perjuangan memerdekakan dan membangun bangsa. Sebagai contoh, ketika diadili Belanda dua kali di tahun 1930-an, Bung Karno menyusun pembelaan dengan mengutip bacaan-bacaan serius.1 Sepulang bersekolah di Belanda, Bung Hatta membawa berpeti-peti koleksi bukunya ke Indonesia. Ketika dibuang ke Boven Digoel, Papua, ia pun membawa berpeti-peti buku bersamanya.2
Sialnya, banyak sekali orang Indonesia masa kini yang tidak menyukai bacaan serius. Tak heran laporan PIAAC tahun 2016 menempatkan Indonesia di posisi terbawah dari 34 negara dalam hal kemampuan hitung, baca, dan memecahkan masalah. Keterampilan baca tulis responden Indonesia yang tamat perguruan tinggi lebih rendah daripada responden Yunani dan Denmark yang hanya tamat SMP.3 Sungguh memprihatinkan!
Kita perlu belajar menyukai bacaan serius—seperti para pendiri bangsa. Bacaan serius, ketika dibaca secara serius juga, akan menolong kita mengembangkan kemampuan analisis dan bernalar. Dengan kemampuan itu kita dapat mengenali, menyikapi, dan menangani setiap kekuatan dan kelemahan bangsa sehingga dapat merumuskan langkah-langkah terbaik untuk membangun bangsa.
Rumusan langkah-langkah itu tentu saja kita buat dalam bentuk bacaan serius juga. Jadi, bacaan serius yang kita simak menolong kita menghasilkan bacaan yang berbobot dan mendalam pula. Ini pun nyata dalam kasus para pendiri bangsa. Mereka membuat dan meninggalkan bagi kita banyak tulisan bermutu.
Sebagai contoh, Sutan Syahrir menulis Pikiran dan Perjuangan (1950), Ki Hajar Dewantara menulis Masalah Kebudayaan (1954), Johannes Leimena menulis Kesehatan Rakyat di Indonesia (1956), Mohammad Hatta menulis Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Semuanya adalah bacaan serius yang membukakan permasalahan bangsa, memaparkan pemecahan masalah secara kontekstual, dan membangun bangsa di berbagai bidang.
Hebatnya lagi, bacaan serius karya para pendiri bangsa menunjukkan kecerdasan dan kemandirian mereka dalam berpikir. Meskipun sangat terbuka terhadap ide-ide dari luar negeri, mereka tidak sekadar mengikutinya mentah-mentah. Mereka menyerap ide-ide itu lalu menyintesiskannya dengan ide-ide yang digali dari dalam negeri. Inilah jenis kecendekiaan yang seharusnya lahir dari keseriusan membaca.
Di masa kini, orang Indonesia mestinya memanfaatkan segala kecanggihan dan kemudahan untuk makin giat membaca buku serius. Era digital memutus ketergantungan kita kepada buku cetak dan menyediakan buku digital yang gampang dibawa ke mana-mana—sebanyak apa pun. (Bayangkan betapa bahagianya Bung Hatta jika di masa hidupnya sudah ada teknologi buku digital untuk “menciutkan” berpeti-peti bukunya!)
Bacaan serius apakah yang layak dilahap? Semua bacaan serius yang berfaedah—sesuai dengan topik yang diminati masing-masing: filsafat, ekonomi, budaya, hukum, teologi, dll. Selagi melahapnya, kita pun harus berpikir kritis mengenainya serta jeli menangkap, mengembangkan, menerapkan ide darinya dalam konteks hidup kita.
Lawan dari bacaan serius adalah bacaan ringan. Era digital juga menyediakan banyak sekali bacaan ringan di dunia maya yang bisa tersebar luas secara gampang dan cepat. Efek buruknya adalah banjir bacaan ringan yang menyeret kita dari latihan berpikir kritis dan mendalam. Walau bacaan ringan dapat bermanfaat untuk merangsang minat baca awal, manfaatnya tentu saja tetap tidak sebesar bacaan serius.
Para pendahulu kita tidaklah mendirikan dan membangun bangsa Indonesia dengan bacaan-bacaan ringan. Jadi, sepasti bangsa kita masih menuntut banyak pembangunan di segala bidang, kita pun akan mengikuti jejak mereka dalam melahap dan membuat bacaan-bacaan serius pembangun bangsa.
Febroni adalah seorang karyawan swasta perusahaan pertanian bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 Dalam pembelaannya, Bung Karno mengutip karya-karya Jean Jaurès (aktivis buruh dari Perancis), Pieter Jelles Troelstra (politikus dan aktivis buruh asal Belanda), Tan Malaka, dll.
2 Mohammad Hatta. Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (Jilid 2). Kompas: Jakarta, 2011, hal. 15-16, 146.
3 Lihat “Rendahnya Minat Baca, Buat Masyarakat Indonesia Lemah Dalam Memecahkan Masalah” dalam situs Tribun News. <http://www.tribunnews.com/nasional/2016/11/02/rendahnya-minat-baca-buat-masyarakat-indonesia-lemah-dalam-memecahkan-masalah>. PIAAC (Programme for International Assessment of Adult Competencies) adalah suatu program internasional yang menilai kecakapan (kompetensi) orang dewasa.